Sekarang tanggal dua puluh satu. Entah Molly di mana. Entah ia menghadap tiang gantungan atau mundur jauh-jauh darinya—aku berusaha tak memikirkannya.
Dan sekarang, tepat tanggal dua puluh satu, aku berada di krematorium. Tungku pembakaran jenazah di hadapanku menggeram seperti mengurung hewan buas di dalamnya; panas dari balik pintunya mencengkram wajahku. Sedari tadi, Ibu Adam memeluk erat lengan kananku, membenamkan wajahnya pada pundakku, air matanya merembes ke kulitku. Sang suami duduk di kursi sudut ruangan, memisahkan diri dari tamu-tamu anaknya; ia menunduk dan memain-mainkan korek gas di tangan. Sedangkan ibuku, ia baru saja keluar ke halaman, sebab mendadak mendapat panggilan dari Ayah di penjara. (Omong-omong, Ayah akan pulang besok.)
Kabar soal kremasi ini Vianna dapatkan—melalui pesan WhatsApp dari Ayah Adam—setelah mengantarku pulang dari Hotel Paramonia, setelah si Musang pergi sehabis mengantarkan abu janinku, dalam vas yang kebesaran dan hanya terisi tak lebih dari seperdelapan bagian—bahkan abu itu rasanya bisa kubawa dalam genggaman tanganku. Awalnya aku tak berminat datang kemari. Hanya Vianna yang menerima pesan undangan, sedangkan aku tidak. Jadi, kupikir aku tak diundang: tak ada yang ingin melihatku di acara kremasi, sebab akulah penyebab Adam berada di dalam tungku.
"Kurasa mereka akan menyesal tak mengundangmu," komentar Vianna. "Entahlah, aku berfirasat kuat soal itu. Dan, kau bisa berbaik hati dengan mencegah penyesalan mereka."
Mungkin Vianna benar: aku tak bisa menyia-nyiakan kesempatan berbuat baik—semisal firasatnya benar.
Omong-omong, aku sudah bisa berjalan. Tidak seberapa lancar—dan selangkanganku masih sakit—setidaknya aku sudah bisa berjalan pelan tanpa bantuan. Ini semua berkat dorongan Vianna: ia memaksaku berkeliling kamar dengan langkah-langkah pelan, langkah-langkah yang membuatku merasa potongan-potongan daging berlepasan dari selangkanganku, dan dalam kira-kira satu setengah hari aku bisa memastikan: aku tak akan tumbang jika berjalan sendiri.
"Kau baik-baik saja?" bisik Vianna di telinga kiriku.
Entah pertanyaan itu ditujukan untuk apa: emosiku dalam menghadapi kremasi Adam, atau kondisi lengan dan pundak kananku yang tak kunjung dilepaskan oleh Ibu Adam. Keduanya tak baik-baik saja, sungguh. Tapi aku cukup baik-baik saja dalam keadaan yang tidak baik-baik saja ini: toh, sekarang aku tidak perlu melakukan hal apa pun lagi, aku hanya perlu membiarkan diriku dibawa oleh segala hal yang tidak baik-baik saja ini. Bagian terburuk sudah kulewati—setan alas dengan sisa-sisanya.
***
Ibu dan Ayah tak tahu kalau aku menyimpan abu janinku. Aku menyimpan vas itu di lemari pakaianku, di bagian bawah dan sudut, terhalang oleh tumpukan pakaian dalamku—dan orang lain yang tahu hanyalah Vianna. Entah seberapa tepat keputusanku untuk menyembunyikan vas itu dari Ibu dan Ayah; aku hanya merasa tak terlalu etis untuk menyimpan abu dari janin yang tak diinginkan, tapi tak etis juga untuk tidak menyimpannya. Mungkin aku hanya perlu memberi tahu Ibu dan Ayah belakangan.
Sungguh janin yang malang: ia tak sempat melihat dunia: ia hanya melihat tumpukan pakaian dalam yang menyudutkannya.
***
Sepulangnya aku dan Ibu dari krematorium, dua orang polisi telah menunggu di depan gerbang rumah bersama seorang tetanggaku, wanita paruh baya dengan lensa kaca mata yang retak sebelah. Kupikir ini ada hubungannya dengan Ayah. Ibu dengan panik bertanya ada apa dengan suaminya, lalu para polisi menjelaskan bahwa ini adalah masalah yang lain: si Wanita Paruh Baya melihat seseorang memanjat keluar dari gerbang rumahku beberapa menit yang lalu, seorang bertopeng dan berkerudung dan berjaket tebal—tak jelas apakah ia lelaki atau perempuan. Dan tetanggaku itu rasanya tak berbohong: gerbang rumahku masih terkunci, tapi pintu berandanya terbuka.
Aku dan Ibu cepat-cepat memasuki ruang dalam dan memeriksa setiap hal di dalam rumah: tak ada yang hilang. Kedua polisi menyuruh kami memeriksa lebih teliti lagi, sebab si Wanita Paruh Baya berkata maling itu tak terlihat membawa apa pun, yang artinya: kemungkinan ia mencuri benda kecil yang muat dimasukkan ke saku. Namun perhiasan-perhiasan Ibu masih aman di laci lemari pakaiannya, kunci laci pun masih benar-benar utuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Icy Molly & I
ChickLitDavina hamil di luar pernikahan, dan kabur dari rumah setelah sang ayah menghajarnya. Ia ingin melakukan aborsi secepat-cepatnya, selagi usia kandungannya muda. Di rumah indekos tempat tinggal barunya, Davina bertemu Molly yang membuatnya jatuh cint...