Ibu Adam menangis setelah sampai pada bagian mulutnya berbusa. Sang suami tidak berbuat apa pun padanya: tidak memeluknya pun merangkulnya pun mengeluarkan kalimat untuk menghiburnya. Ia hanya duduk di meja belajar, menunduk, tangan kanan menggaruk-garuk tengkuk, tangan kiri menekan tempurung lutut kiri, dan kedua matanya terpejam. Ibuku sama saja: ia tak berbuat apa pun, kecuali menatap gagang pintu di mana tangan kirinya membeku. Aku hanya bisa menatap langit-langit. Semua hal terlalu membuat canggung untuk ditatap; langit-langit kamar adalah pilihan yang tepat.
Satu menit pertama, aku membayangkan arwah Adam melayang di langit-langit. Dan pada menit berikutnya, aku teringat pada sebuah ikon, tergambar di kalender di kamar indekos Molly, tepatnya di tanggal dua puluh satu: seseorang menggantung diri.
Tanggal berapa sekarang?
Aku mengingat-ingat lebih jauh. Pada tanggal lima belas di kalender itu, tergambar ikon seseorang bermain layangan di atap gedung. Pada tanggal itu aku dan Molly bermain layangan di atap gedung terlantar-lalu ia menghilang, dan kembali pada malamnya dalam keadaan kacau, sebelum kami secara ajaib plus celaka bercinta. Esoknya-atau sehari lalu dari sekarang-Molly menjadi gila dan menyerangku di kafe Hotel Paramonia dan si Sweter Kuning menghajarnya. Di hari itu juga aku kabur ke rumah si Musang dan ....
Berarti, sekarang tanggal tujuh belas.
Empat hari tersisa-terhitung dari sekarang ....
***
Setelah sepuluh menit menangis, Ibu Adam mengajak sang suami pergi. Ibuku mengantar mereka ke luar; mereka tak mengabari apa pun soal prosesi pemakaman Adam untuk aku hadiri: mungkin mereka tak ingin melihatku di sana; mungkin mereka sekadar lupa; mungkin mereka tak ingin melihatku sebab akulah penyebab kematian putra mereka.
Di mana ponselku?
Di meja belajar. Tidak sulit untuk mengambilnya-seharusnya begitu. Aku hanya perlu menggerakkan kaki tiga langkah, mengambil ponselku, dan menggerakkan kaki tiga langkah lagi sebelum kembali berbaring di kasur. Namun pada langkah pertama blender berputar kencang di bawah perutku. Aku terjatuh. Pipiku menampar lantai yang dingin. Sehelai rambut tergeletak di depan mataku, mungkin itu rambutku.
Aku menyeret diri ke meja belajar-kuabaikan putaran blender yang semakin mematikan di bawah perutku-kolong meja penuh sarang laba-laba-kujulurkan tangan tinggi-tinggi untuk menggapai ponselku-aku harus menghubungi Pak Thomas sekarang, bertanya apakah Molly kembali ke sana (meski rasanya tak mungkin; ia pernah membuat pria itu pingsan), lalu aku akan menghubungi Hotel Paramonia, untuk membuat siapa pun di sana mencegah segala hal buruk di tanggal dua puluh satu-jika Molly masih di sana-tetapi baterai ponselku habis. Kabel pengisi daya tak kulihat di mana pun dari posisiku sekarang. Setan alas. Aku benci kembali menyeret diri ke kasur, kembali merasakan putaran blender itu-aku merebahkan diri di lantai.
Dingin. Sekujur tubuh bagian belakangku dingin. Kecuali bokongku. Di sana ada sesuatu yang tebal, yang empuk, yang membuat bokongku tak merasakan dinginnya lantai. Aku menarik sedikit pinggang celanaku: ternyata aku mengenakan popok dewasa. Luar biasa. Aku tak perlu membelikan popok untuk bayiku, dan aku jadi perlu membelikan popok untuk diri sendiri.
Tiba-tiba masuklah Vianna. Aku masih tergeletak di lantai, memerhatikan popok di balik pinggang celana yang kutarik. Ini mesti bukan hal yang ia pikir akan ia lihat. Tatapannya berkata: aborsi membuat pelakunya gila. Atau: aborsi membuat pelakunya ingin masturbasi di lantai.
***
Vianna menyuapiku makan, setelah merangkulku kembali ke kasur. Ia tak ada mengucapkan apa pun selain, "Astaga," dan, "Ayo kubantu," setelah melihatku seperti hendak masturbasi di lantai, juga, "Kau lapar?" setelah membaringkanku di kasur. Ia tak bicara apa pun selama menyuapiku tempe goreng yang agak keasinan-pasti masakan ibuku-dan ekspresinya sangat akrab bagiku: ekspresi Vianna saat menunggu momen yang tepat untuk mengucapkan hal berat. Aku tahu apa yang hendak ia ucapkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Icy Molly & I
ChickLitDavina hamil di luar pernikahan, dan kabur dari rumah setelah sang ayah menghajarnya. Ia ingin melakukan aborsi secepat-cepatnya, selagi usia kandungannya muda. Di rumah indekos tempat tinggal barunya, Davina bertemu Molly yang membuatnya jatuh cint...