*Catatan Penulis:
Waaah, kamu sudah sampai di bab 2! Terima kasih atas waktunya untuk membaca ya! Oke, selamat melanjutkan membaca cerita; jangan lupa VOTE serta FOLLOW, lalu tambahkan novel ini ke DAFTAR BACAAN kamu ya~
Refleks pertamaku setelah kembali ke kamar adalah membuka laptop di pangkuan, dan mencari informasi tentang rumah indekos lain, dengan harga yang lebih kurang setara dengan indekos ini. Dalam situasi begini, aku tak butuh lelaki tampan di dekatku, di balik dinding partisi kamarku. Jika aku menemukan indekos baru yang tepat, aku akan segera pergi dari sini, masa bodoh dengan uang indekos sebulan yang telah kucekokkan ke rekening Pak Thomas. Aku hanya butuh tempat yang tenang, sampai aku menemukan klinik aborsi yang tepat, atau sampai aku mati di tengah tidurku yang nyenyak.
Atau mungkin aku tak benar-benar butuh klinik aborsi. Mungkin aku hanya perlu potongan-potongan nanas muda, yang membuat rahimku berkontraksi sedemikian rupa, dan membuat janinku mengucapkan selamat tinggal sedini mungkin. Atau mungkin aku benar-benar butuh klinik aborsi: aku tak bisa membayangkan bagaimana mampusnya aku jika rahim berkontraksi—tamu bulanan pun kerap membuatku mampus—dan aku tak bisa membayangkan: sepotong daging meluncur dari selangkanganku.
Oke, cukup dengan bayangan bajingan itu. Kembali ke Molly:
Entah apa yang membuatku merasa terganggu dengan lelaki tampan. Barangkali semacam inilah yang dirasakan penderita obesitas, ketika suatu hari dirinya mendadak terjun ke sebuah ruangan yang penuh permen dan es krim dan makanan menyenangkan apa pun: kesenangan sekaligus sumber penyakit memeluknya dari segala sisi. Atau entahlah—yang jelas indekos ini bukan tempatku. Terlebih, sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk tertarik pada lawan jenis, setelah aku tertarik terlalu jauh sampai seonggok daging mungil muncul dalam rahimku, seonggok daging yang ingin kuberi acungan jari tengah terus-menerus.
Oh, atau mungkin aku tak perlu mencari rumah indekos baru. Mungkin aku hanya perlu menunggu Molly membuat keributan lagi—dan rasanya momen itu tak lama tibanya—lalu Pak Thomas akan menendangnya keluar dari jendela.
Tumben-tumbennya aku berharap seseorang membuat keributan.
Kemudian terdengar Molly membuka-menutup pintu kamarnya. Ia keluar dari kamarnya. Mungkin ini saat yang tepat untuk mencoba bicara dengannya, dan semoga saja akan muncul tingkah berengseknya, yang layak kuadukan pada Pak Thomas. Aku memusatkan konsentrasi ke telinga. Suara latar belakang seolah menghilang—hanya ada Molly yang bergerak. Bergerak. Bergerak dalam slow motion. Bergerak semakin jauh dari pintu kamarnya. Dan aku membuka pintu kamarku: Molly baru saja lewat.
"Molly!" panggilku.
Lelaki itu langsung berhenti di tempat.
Ia tidak refleks menoleh, sebagaimana umumnya seseorang yang dipanggil dari belakang. Malah ia mengambil posisi kayang, sehingga kepalanya yang terbalik—sebagaimana otaknya—terarah padaku. "Mau mencari sarapan bersamaku?"
"Hah?"
Tetap dalam posisi kayang, tahu-tahu ia melangkah dengan kedua tangan dan kakinya mendekatiku mirip setan-setan di film—aku refleks memekik dan mundur dan membanting pintu. Bajingan.
"Baik, aku bisa sarapan sendiri," ucap Molly dari balik pintu, dan terdengar ia melangkah menjauh.
Setelah langkahnya tak lagi terdengar, aku kembali duduk di kasur dan memangku laptop. Untuk apa aku menghadap laptop? Setan alas—tingkahnya kembali terbayang nyata di depan mataku. Dan aku jadi tak tahu harus berbuat apa—selain duduk menghadap laptop. Setan alas .... Apakah bertingkah seperti setan dapat membuatnya ditendang Pak Thomas?!
Perutku serta-merta keroncongan. Bukan waktu yang tepat untuk merasa lapar. Bagaimanapun aku tetap keluar dari kamar untuk mencari sarapan. Dan demi setan atau apa pun, kuharap aku tak bertemu Molly di luar. Ternyata ada yang lebih buruk dari lelaki tampan dan berengsek: lelaki tampan dan berengsek dan berjalan sembari kayang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Icy Molly & I
ChickLitDavina hamil di luar pernikahan, dan kabur dari rumah setelah sang ayah menghajarnya. Ia ingin melakukan aborsi secepat-cepatnya, selagi usia kandungannya muda. Di rumah indekos tempat tinggal barunya, Davina bertemu Molly yang membuatnya jatuh cint...