BAB 10 - Satu Kesempatan untuk Molly Menjadi Pahlawan

28 2 0
                                    

*Catatan Penulis:

Whoah! Kamu sudah sampai di bab 10--dan perjalanan ini sudah cukup jauh, bukan? Terima kasih atas waktunya untuk membaca, dan selama lanjut membaca! Jangan lupa VOTE serta FOLLOW, lalu tambahkan novel ini ke DAFTAR BACAAN kamu ya~


Langkah kaki itu terdengar begitu cepat mendekat—sialan, kenapa ia berlari?!—dan aku cepat-cepat telungkup, hampir seperti menjatuhkan diri sendiri, dan merayap melewati lubang. Namun, baru separuh tubuh sampai di kamarku, ketika pinggangku tepat di bawah taring-taring di mulut lubang, pintu kamar Molly sudah keburu dibuka.

Mampus.

"Aku tidak tahu kau secabul itu," kata Molly.

"Demi setan, aku hanya meminjam bukumu!" jawabku. Lalu aku mempercepat gerak merayap—dan krek!—aku lupa membiarkan tubuhku menapak sepenuhnya ke lantai. Bokongku tercakar taring-taring di mulut gua. Sepertinya kain yang menutupi bokongku robek ....

"Aku tidak melihat apa pun, sungguh," kata Molly. "Aku mendadak buta!"

Tubuhku sepenuhnya tiba di kamarku. Aku meraba bokongku dan ... sialan.

"Sungguh, Davina—aku buta."

"Bagus. Berarti aku tak perlu mencongkel matamu."

Tiba-tiba dua bungkus kresek hitam meluncur ke kamarku lewat mulut lubang. Aku membukanya: satu berisi makanan dalam kotak, satu lagi berisi dua pasang pakaian—dan lengkap dengan pakaian dalam. Aku hampir refleks mengucapkan terima kasih, dan aku segera menggigit lidahku. Apa maunya lelaki itu?! Menjadi pahlawan bagiku?

Molly menongolkan kepalanya dari mulut lubang. Ia bertanya buku apa yang kupinjam, dan kutunjukkan ia sampul bukunya.

"Keren! Itu buku favoritku setelah Pippi Longstocking," katanya. "Kau sudah selesai dengan Pippi Longstocking?"

"Eee ... belum. Aku suka membaca dua novel secara pararel."

"Keren! Kupikir kau menghilangkan Pippi-ku. Sebab kau tampak tak membawa apa pun pas kembali ke sini."

"Jangan menghinaku!" Aku tertawa. "Aku tidak seceroboh itu, kau tahu?"

"Tidak tahu."

"Baik ... sekarang kau tahu ...."

Hening. Aku diam, Molly pun diam. Tapi ia tak kunjung menarik kepalanya kembali ke kamar. Pendingin ruangan di kamarku berderak sejenak. Molly diam dalam posisi itu dan tiba-tiba tersenyum dan aku ingin menginjak kepalanya.

Aku langsung menggeser tempat tidurku untuk menutupi lubang, dan Molly segera menarik kepala. "Aku akan mengganti uangmu nanti," ucapku ketika lubang sudah tertutup sempurna.

"Omong-omong, Davina, kau boleh tidur di kamarku kalau mau."

"Tidak, Bodoh. Aku bisa tidur di kamarku sendiri."

"Tapi kau tak punya kamar di sini."

Sial. Benar juga.

***

Molly memutar komposisi klasik yang kebetulan kukenal, Wedding March dari Mendelssohn, ketika aku menyantap nasi rendang yang ia belikan untukku, yang samar-samar pahitnya membuatku tergoda untuk muntah. Entah rendang ini dimasak secara bodoh, atau rasa pahit adalah efek kehamilanku, aku tak tahu—aku tetap menghabiskannya secara mati-matian.

Lalu aku mengganti pakaian istri Pak Thomas dengan piyama merah muda bermotif wajah Pink Panther, dan piyama ini senada dengan warna pakaian dalam yang juga Molly belikan. Aku tak tahu harus berbuat apa pada pakaian istri Pak Thomas: membuangnya dan memastikan ia tak sadar ada pakaian yang hilang; atau menjahit dan mengembalikan dan membuatnya sadar ada pakaian yang hilang.

Icy Molly & ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang