BAB 9 - Kamar Molly dan Ikon yang Ganjil pada Kalender

20 2 0
                                    

Tak ada siapa-siapa di sekitar bekas kamarku; kalau ada maka tamatlah Molly.

Aku memasuki bekas kamarku dan menutup pintu dan berjongkok di hadapan mulut gua itu. Udara dingin tertiup dari kamar Molly, plus aroma keringat dari pakaian-pakaian kotornya yang tercecer di sekitaran mulut gua tersebut—pasti dari sisi kamarnya ia menutup lubang ini dengan tumpukan pakaian kotor, dan tumpukan itu barusan buyar setelah ia terobos. Mulut gua itu tak rata, penuh taring yang tumbuh acak-acakan, punggungku akan penuh garis luka jika merayap melewatinya secara sembrono. Melaluinya tampak Molly berjongkok sembari mengacak-acak isi lemari pakaian; tak lama ia menemukan selembar handuk, dan menjulurkan tangan melewati lubang untuk menyodorkan handuknya padaku.

"Pak Thomas bakal menyerudukmu kalau ia menemukan lubang ini," kataku seraya menyambar handuk.

"Makanya aku menutupinya dengan ranjangmu."

"Cepat atau lambat, penyewa baru kamar ini akan menyadarinya. Misalkan, aku."

"Aku sudah menyewa bekas kamarmu begitu kau keluar."

Setan alas.

"Lagi pula," lanjutnya, "kamarku semakin lama semakin sempit. Atau aku yang semakin lama semakin besar. Aku benar-benar butuh dua kamar. Tapi, setelah kau kembali, kupikir satu kamar masih cukup."

Bodoh amat.

Aku meminta penjepit pakaian. Setelah ia menyodorkannya dari mulut gua, aku mengambilnya dan berkata, "Aku titip ponselku di sini. Jangan kau sentuh!" Ponselku kuletakkan di samping bantal, dan aku keluar dari kamar, dan aku mengganti pakaian di kamar mandi.

Molly mengambilkanku daster cokelat muda dengan motif kamboja-kamboja kuning, ujungnya menyentuh lantai kamar mandi. Aku serupa gantungan baju saking lebarnya daster ini, dan di cermin wajahku menua sepuluh tahun. Molly juga mengambilkan celana dalam biru muda dan ia sungguh bajingan. Tetapi aku tak mungkin bertahan dengan celana dalam yang basah, dan tak mungkin juga aku tak memakai celana dalam—siapa tahu sewaktu-waktu ada darah menetes lagi. Jadi, masa bodoh dengan celana dalam biru muda yang karetnya sedikit kendor, dan membuatku merasa udara terus berlewatan di antara kedua pahaku.

Lalu aku menjemur pakaian basahku di halaman indekos, di jemuran milik bersama yang telah selesai diguyur hujan. Tangkai-tangkai besinya masih meneteskan air, sebagaimana tiga lembar baju di sana, ketiganya bergambar Tom & Jerry. Tak mungkin jika ketiganya bukan milik Molly. Aku menjemur pakaian basahku dan handuk dengan jarak minimal tiga jengkal dari baju-baju lelaki itu, dan hampir saja aku melupakan pil aborsiku di saku celana yang basah. Namun, karena daster ini tanpa saku, aku menyembunyikannya dalam genggaman ketika kembali ke kamarku yang kini menjadi kamar Molly.

Ketika aku membuka pintu, Molly sedang membungkuk di atas ponselku yang berdering. Aku cepat-cepat menyambar ponselku. Vianna memanggilku, dan aku menolak panggilan. Aku kembali memblokir kontaknya.

"Kau tampak seperti seorang ibu, sungguh," kata Molly. Ia mesti mengomentari penampilanku dengan daster ini dan aku ingin menyikut lehernya. Namun ia mengucapkannya tidak dengan tatapan maupun nada mencemooh. Tidak ada tatapan dan nada kekanak-kanakan saat ia bicara begitu .... Sesaat ia seperti menjadi dewasa, saat mengucapkan kalimat itu ....

"Kau mau mencari makan malam?" tanyanya, dan kanak-kanak dengan cepat kembali pada wajahnya, aku jadi ingin menyikut lehernya lagi.

Aku menggeleng. Aku tak ingin keluar dengan daster dan celana dalam yang longgar, meskipun aku mulai lapar. Aku juga tak mau menitip makanan padanya, aku tak mau ia merasa menjadi pahlawan bagiku; maka aku hanya menggeleng. Dan ia keluar dari kamarku. Saat terdengar ia menuruni tangga, aku mengunci pintu kamar dan menyalakan pendingin ruangan. Aroma ruangan ini begitu asing—terlalu asing bahkan: seolah-olah tubuh Molly menyublim dan menyebar-memenuhi ruangan dan menyusup lewat hidungku: aku tak bisa lari dari jebakan keberadaannya. Dan, aku menghubungi si Musang.

Icy Molly & ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang