Aku berbaring miring di kasur Molly, menghadap dinding, dan Molly duduk di depan laptop, memainkan komposisi klasik entah apa. Aku ketiduran tanpa diriku duga—kemudian aku terbangun dengan suara terengah-engah dan erangan lemah dari belakangku. Sungguh, kukira Molly sedang masturbasi di lantai. Rupanya ia sedang kayang, entah sudah berapa lama ia seperti itu, keringatnya membentuk genangan selebar telapak tangan di lantai, tepat di bawah ubun-ubunnya.
Saat menyadari aku berbalik ke arahnya, ia segera menjatuhkan diri ke lantai dengan suara yang membuatku curiga tulang punggungnya hancur, napasnya semakin terengah-engah.
"Itu cara orang Mesir Kuno mengusir kesedihan orang lain," bisiknya.
"Aku hampir memukulmu, sungguh!"
Tahu-tahu terdengar pintu kamarku dibuka, dan Ayah berkata, "Davina?"
Molly meletakkan telunjuk di depan bibir dan mendesis padaku.
Aku baru ingat ada Ayah di kamarku. Mesti aku tidur belum lebih dari delapan jam, atau Ayah sudah keburu lelah menunggu dan pergi. Lantas terdengar Ayah menutup pintu kamarku, menjatuhkan tubuh di kasur, dan mengembuskan napas penuh kekecewaan. Ia mesti berpikir dirinya berhalusinasi barusan. Mampus.
"Pukul berapa sekarang?" tanyaku, lirih.
Molly merangkak menuju meja belajar, dan bertumpu pada kedua lututnya, dan menekan satu tombol di papan tuts sehingga layar laptop menyala. Ia pun menjawab, "Pukul enam. Enam pagi."
Aku tersedak ludah sendiri. Berarti, aku sudah tidur lebih dari delapan jam—dan Ayah selama itu masih menunggu di kamarku!
"Mau bubur ayam? Keturunan kedua puluh sembilan Adam dan Hawa bilang itu bagus untuk kesehatan mental dan kuku-kuku kita."
Aku tak menjawab.
"Baik. Aku pergi sebentar."
Molly keluar dan mengunci pintu dari luar. Oke, tingkahnya cukup menegangkan. Semoga ia melakukan itu demi bertingkah seolah tak ada siapa pun di kamarnya, bukan untuk menculikku.
Lalu ia melakukan hal berengsek: ia mengetuk pintu kamarku—pendengaranku refleks menajam. Apa maunya, demi setan?
"Eee ... penghuni baru?" tanya Molly.
"Kau kenal Davina?" tanya Ayah.
"Aku juga kenal Markus dan Jack dan Budi dan Amelia. Tapi di antara mereka, Davina yang paling menyebalkan. Kau kenal Davina juga?"
Hening sejenak ....
"Kau kenal Davina?" tanya Ayah lagi.
"Perempuan itu—di mana ia? Aku mau bukuku dikembalikan. Nah, itu—yang di meja itu. Omong-omong, kau bisa khayang atau berjalan mundur?"
Setelah itu tak ada jawaban dari Ayah. Aku hanya mendengar pergerakan-pergerakan samar, sebelum Ayah menutup pintu dan tahu-tahu Molly kembali kemari: ia menyerahkan Le Petit Prince padaku.
"Baik, aku akan benar-benar pergi sekarang. Setidaknya kau punya bacaan jika bosan menunggu." Dan ia pun berjalan mundur meninggalkan kamar.
***
Membaca buku dengan orang-yang-mengejarmu berada di kamar sebelah sama sekali bukan hal mudah. Mahasetan dunia ini bagi perempuan yang hamil di luar pernikahan. Aku jadi tergelitik untuk membuka ponsel dan membuka blokir kontak Ayah, barangkali ia mengirimiku pesan-pesan menarik.
Dan yang pertama kudapati setelah menyentuh ponselku adalah pesan dari Pak Thomas, yang ia kirim semalam: Davina, kau sungguh-sungguh sedang tak di kamar? Aku hanya melihatmu saat pulang tadi. Oh ya, pesan ini tidak perlu kau balas—anggap saja aku tak pernah mengirim pesan apa pun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Icy Molly & I
ChickLitDavina hamil di luar pernikahan, dan kabur dari rumah setelah sang ayah menghajarnya. Ia ingin melakukan aborsi secepat-cepatnya, selagi usia kandungannya muda. Di rumah indekos tempat tinggal barunya, Davina bertemu Molly yang membuatnya jatuh cint...