Si Sweter Kuning mengetuk pintu kamarku untuk ketiga kalinya. Aku belum menjawab. Aku belum menunjukkan tanda-tanda kehidupan dari dalam kamarku. Lalu hening, dalam waktu yang lebih lama.
Aku tetap duduk di tepi kasur dan belum bergeser sejengkal pun. Sedikit saja bergeser, kasurku akan berderit-mungkin memekik. Aku belum mendengar suara si Sweter Kuning melangkah menjauh dari depan pintu kamarku. Ia hanya berhenti mengetuk; ia belum berhenti menunggu.
Aku melepas udara dari dadaku. Nyeri di dadaku dengan cepat mereda; aku dari tadi terus menahan napas, seakan aku lupa untuk bernapas, seakan pria itu dapat mendengar napasku dari luar sana.
Dan menyusullah ketukan keempat.
Tidak mungkin ia tahu bahwa aku di dalam sini: aku tak menunjukkan tanda-tanda kehidupan sama sekali padanya. Tidak mungkin juga ia mampu mencium keberadaanku.
Dan ketukan kelima.
Rasanya ia lebih gigih mengetuk pintu kamarku ketimbang pintu kamar Molly. Mungkin ia yakin Molly ada di kamarku? Mungkin aku hanya perlu membuka pintu, sedikiiit saja, dan mengatakan Molly tak ada di sini. Mungkin aku hanya perlu pura-pura mati, hingga mati sungguhan di sini, sebab mungkin aku akan mati lebih menyakitkan jika membuka pintu untuknya.
Ia pasti bukan orang biasa, si Sweter Kuning. Siapa pun yang mencari Molly-yang-tak-biasa pastilah bukan orang biasa. Dan Molly tak mungkin menyuruhku menghindarinya jika si Sweter Kuning memang orang biasa. Terlebih, Molly mendadak bersikap serius ketika aku berhadapan dengan pria semiraksasa tersebut.
Aku ingin menghubungi Pak Thomas dan menyuruhnya ke depan pintu kamarku. Tetapi baterai ponselku habis dan kabel pengisi daya tertinggal di koperku, di bagasi mobil ayahku.
Dan ketukan keenam.
Entah kenapa, mendadak aku berpikir beginilah rasanya menjadi janinku: dipaksa keluar ketika ia tak ingin keluar sama sekali.
Dan ketukan ketujuh.
Dan ketukan kedelapan.
Dan ketukan kesembilan.
Ketiga ketukan itu semakin cepat, semakin keras-mungkin pada ketukan kesepuluh ia akan merobohkan pintu kamarku.
Dan ketukan kesepuluh. Aku langsung membuka pintu. Bayangan si Sweter Kuning menimpa wajahku. Aku berpura-pura menguap. Aku ingin mengesankan diriku tak kunjung membuka pintu karena tertidur. "Kau ...?"
Tatapannya melewati kepalaku, tatapannya berlari mengitari seisi kamarku.
"Kau lihat ... hmm ... Molly?" tanyanya. Ada penekanan khusus ketika ia menyebut nama lelaki itu.
"Eee ... kenapa kau bertanya padaku? Aku tidak seberapa mengenalnya ...."
"Kurasa kau lebih dari sekadar mengenalnya. Setidaknya firasatku berkata begitu."
"Firasatmu mungkin salah ...?"
"Belum pernah salah sejak sepuluh tahun terakhir."
"Sekarang masa kejayaan firasatmu berakhir, barangkali," kataku. Lalu aku keluar dari kamarku, dan kukunci pintu, dan kuucapkan selamat tinggal padanya dengan dalih mencari makan siang.
Pria itu tetap berdiri di sana, ia bersandar pada dinding koridor. Ketika aku menuruni tangga, ia membuka jendela koridor dan membakar sebatang rokok. Aroma asapnya terus membuntutiku sampai ke lantai bawah.
Pak Thomas memanggilku seraya mengaduk isi panci di dapur, dan aku tak punya alasan untuk menolak ajakan makan siang darinya. Panci itu tak lain kari ayam yang kumakan saat sarapan tadi. Ia menyiapkan semangkuk kari dan sepiring nasi untukku, dan ada tambahan lauk udah goreng tepung yang aromanya membuat janinku meronta dan menganga lebar saking laparnya-itupun kalau ia masih hidup-padahal aku sedang tak ingin makan di sini: sepasang mata si Sweter Kuning seolah mencuat dari langit-langit ruangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Icy Molly & I
ChickLitDavina hamil di luar pernikahan, dan kabur dari rumah setelah sang ayah menghajarnya. Ia ingin melakukan aborsi secepat-cepatnya, selagi usia kandungannya muda. Di rumah indekos tempat tinggal barunya, Davina bertemu Molly yang membuatnya jatuh cint...