BAB 12 - Tamu Molly: Kumpulan Malaikat Maut dari Ketiak Orang-Orang

25 2 0
                                    

Musik dari kamar Molly berganti ke Queen of the Night Mozart. Aku menggeser kasurku sepelan-pelannya, hampir tanpa suara, dan aku menyibak sedikit tumpukan pakaian Molly yang menutupi lubang rahasia dengan ujung jariku. Lelaki itu sedang duduk di depan laptop, ia tampak serius sekali. Apa aku mesti meminta kembali pilku secara baik-baik? Atau aku harus mengambilnya diam-diam, meski aku tak tahu di mana ia menyimpannya?

Opsi kedua, mungkin. Sebab, aku ingat jelas, di kalender Molly, di tanggal hari ini, tergambar suatu ikon, kalau tak salah perosotan di tengah kolam: mestinya berarti ia akan melakukan suatu agenda di luar indekos. Barangkali di tempat yang sungguhan ada kolam dan perosotannya, atau ikon itu hanyalah semacam metafora—yang jelas aku yakin ia akan keluar dari kamarnya hari ini, cepat atau lambat.

Sial, bagaimana kalau Molly membawa pilku keluar? Bagaimana kalau ia sengaja memegang aibku untuk mengendalikanku?

Entahlah. Apa pun yang terjadi pada aibku, aku harus memprioritaskan aborsi. Kalau kelak aku tak bisa menemukan pilku di kamar Molly, aku akan membelinya lagi dari si Musang—meski rekeningku akan memekik dan mencaci-maki tepat ke kupingku.

Apa yang bisa kulakukan sekarang adalah duduk, membaca The Little Prince, dan menunggu perginya Molly.

***

Sesampainya aku di halaman kesepuluh The Little Prince, kesepuluh halaman yang kubaca tanpa memunculkan gambar apa pun dalam kepala, terdengar langkah seseorang melewati koridor depan kamarku, dan pintu kamar Molly diketuk. Molly pun membuka pintu dan ia berkata, "Kita sudah selesai."

"Kau sudah tak punya alasan untuk selesai, Molly," seorang pria menjawab. "Kau bisa memulainya kembali."

Aku segera berjongkok di hadapan lubang rahasia dan sekali lagi menyibak sedikit tumpukan pakaian Molly dengan ujung jariku. Molly menutup pintu di hadapan pria yang tak sempat kutangkap jelas wujudnya. Lalu lelaki itu duduk di depan laptop, tidak melakukan apa pun di sana selama beberapa jenak—ia benar-benar mematung—dan pintu kamarnya kembali diketuk. Molly tak menjawab ketukan; ia menaikkan volume musik dari laptopnya.

Siapa tamunya itu?

Aku keluar dari kamarku, berdiri di depan jendela koridor, berpura-pura memandang keluar. Sesekali tatapanku terarah ke pria di depan pintu kamar Molly. Ubun-ubunnya hampir menyentuh batas atas pintu, dan sweter kuningnya tampak terlalu kecil bagi tubuhnya yang sekekar banteng, dan ia terus memandangi stiker di pintu kamar Molly, seakan tatapannya dapat menumbangkan pintu tersebut. Ia mengeluarkan suatu aura aneh, aura yang akan membuat siapa pun merasa remuk jika didekatinya. Lalu aku berbalik hendak kembali ke kamarku, ketika tiba-tiba si Sweter Kuning berkata, "Permisi, Nona."

Di ujung kanan bibirnya terdapat bekas sobekan sampai ke pipi. Ia hanya mendekatiku sedikit, tetapi bayangannya langsung menelan tubuhku, dan sepertinya ingin menelan sekujur koridor. Dari tubuhnya menyebar aroma kumpulan manusia yang berkeringat dan dijejalkan dalam angkutan umum dengan tangan terangkat: jelas malaikat maut bersembunyi dalam ketiak orang-orang: aku ingin mencekik diri sendiri agar tak perlu bernapas.

"Kau kenal tetanggamu?" tanyanya, menunjuk pintu kamar Molly dengan ujung jempolnya.

"Ya ... hanya sekadar kenal .... Maksudku, aku tahu namanya. Aku hanya tahu namanya Molly—selain itu aku tak tahu apa pun."

"Maaf, Nona, maksudku tetanggamu yang itu." Kali ini ia menunjuk pintu kamar Molly dengan ujung jempol plus ujung dagunya, seakan yang tinggal di kamar itu harusnya bukan Molly, dan aku hanya berhalusinasi mengenal tetangga bernama Molly.

Aku tak mengerti nama apa yang ia harap terdengar dari mulutku. Volume musik dari kamar Molly mengecil. Aku ingin berkata, "Maaf, aku sibuk," dan segera mengunci diri dalam kamarku. Tetapi aku berfirasat ia dapat melompat ke arahku dengan cepat, dan menghancurkan wajahku hanya dengan sekali gigitan. Aku tahu bahwa mati mestinya tak buruk-buruk amat, tetapi aku tak ingin mati dengan wajah yang hancur, dengan meninggalkan memori berupa wajahku yang tak terlalu cantik.

"Maaf, tadi kau bilang, 'Molly?'" kata si Sweter Kuning.

Aku mengangguk pelan seakan takut kepalaku menggelinding ke lantai. "Tapi aku hanya tahu namanya. Selain itu tidak ...."

"Molly ya ...." ia bergumam pada diri sendiri. "Kasihan."

Mendadak pintu kamarku dibuka dari dalam, seseorang menarik tanganku, seseorang yang sama menutup pintu kamarku ketika aku sudah di dalam; entah sejak kapan Molly di sini!

"Abaikan ia," bisiknya, memutar kunci pintu kamarku.

Lalu ia mengisyaratkanku untuk diam ketika aku akan bicara. Tatapannya seolah berkata seekor monster akan menemukanku jika aku bersuara. Terdengar lagu iklan dari kamar Molly; ia pasti memutar musik dari YouTube dan lagu iklan yang terdengar sepertinya semacam produk perlengkapan bayi. Dan pintu kamar Molly diketuk lagi oleh si Sweter Kuning.

"Siapa orang itu?" bisikku.

"Bukan orang yang ingin kau kenal," Molly balas berbisik. "Bukan juga orang yang ingin aku kenal."

Entah perasaanku saja atau memang sungguhan: Molly tampak kehilangan sifat bocahnya di momen ini, dan ia seperti seorang dewasa yang dikutuk menjadi tikus dan disudutkan oleh kucing raksasa bertaring berbisa. Pasti si Sweter Kuning adalah orang yang berbahaya baginya. Mungkin juga berbahaya bagiku jika aku terlalu mengenal Molly.

Atau entahlah.

Lagu iklan selesai dan musik instrumental kembali berputar dari kamar Molly. Kemudian terdengar si Sweter Kuning melangkah ke tangga, dan Molly mengisyaratkanku untuk mengintip dari balik pintu. Aku menurutinya: pria asing itu benar-benar pergi, ubun-ubunnya tampak seperti tenggelam di tangga, sedang Molly telah berjongkok di dekat lubang rahasia. Aku memberinya isyarat bahwa situasi aman. Tetapi isyarat itu tak cukup baginya; ia membisikiku untuk memantau si Sweter Kuning lewat jendela koridor.

"Apa sekarang aku terlibat dalam semacam sindikat kriminal, eh?" kataku mencemooh.

"Nanti akan kujelaskan, Davina ...."

Aku melengos dan melangkah ke depan jendela koridor. Si Sweter Kuning duduk di motornya yang terparkir di depan gerbang. Ia mengeluarkan ponsel dan menelepon seseorang, gerak-geriknya seperti seorang yang menemukan kecelakaan di jalan dan menghubungi ambulans. Pria itu hanya berbicara sebentar di telepon. Lantas ia mengenakan helm full face kuningnya, dan motornya dengan cepat menghilang di satu belokan jalan.

Aku kembali ke kamarku. Tahu-tahu Molly sudah berdiri dengan sikap lilin di lantai, dan ia tersenyum jahil padaku dengan senyum kekanak-kanakan. Aku mendadak ingin menyepak perutnya. Bagaimana bisa ia berubah drastis secepat itu?!

"Ini tren rakyat Venezia sekarang," kata Molly. "Mereka mengambil sikap lilin agar emosi-emosi negatif bertumpahan dari kepala."

"Apa kepribadian ganda juga tren rakyat Venezia sekarang?"

Molly menjatuhkan kakinya hingga ia telungkup di lantai. Sejenak ia berkelejotan di lantai seperti belatung, lantas ia berdiri dan berkata, "Aku mau berenang hari ini. Kau akan berterima kasih kalau aku membiarkanmu ikut."

Nah, berarti ikon-ikon di kalender Molly bukanlah omong kosong. Aku menolak ajakannya dan mengatakan hari ini aku hanya ingin membaca The Little Prince. Lelaki itu langsung merengut. Ia menelungkup lagi di lantai dan merayap mundur melewati lubang menuju kamarnya.

"Omong-omong, kau pasti mengintipiku dari tadi," kata Molly, ketika ia sudah tenggelam dalam tumpukan pakaiannya hingga sebahu. "Ranjangmu sudah bergeser saat aku kemari."

Setan alas.

"Omong-omong lagi, aku tak melihat Pippi-ku di mana pun ...."

***

Kalau ikon-ikon di kalender Molly bukanlah omong kosong, berarti ikon orang yang menggantung diri itu, di tanggal dua puluh satu, juga bukan omong kosong. Molly akan menggantung diri tujuh hari dari sekarang .... Atau ia akan bermainan ayunan tujuh hari dari sekarang.

Tidak. Ujung tali benar-benar tersambung ke leher di gambar tersebut. Tidak ada ayunan yang tersambung ke leher seseorang.

Tapi bodoh amat. Itu bukan urusanku.

Terdengar Molly keluar dari kamarnya, sebentar kemudian ia menuruni tangga. Dari jendela koridor, kulihat ia berjalan mundur di tepi jalan, dengan pakaian renang—sinting!— dan menghilang di satu tikungan.

Tiba waktuku untuk menggeledah seisi kamarnya.

Icy Molly & ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang