Aku tidak melihat secara langsung Ayah meninju si Tetangga; adegan itu terhalang dinding halaman rumahku dan aku tak bisa bergerak ke mana pun. Setelah terdengar bunyi tinju plus tubuh yang tumbang, sekali lagi aku memekik dan keluarlah Ibu serta Vianna. Mereka bertanya apa yang terjadi—sekaligus tatapan mereka mencari-cari di manakah Ayah—dan aku yang tak bisa bicara saking syoknya menunjuk ke luar. Mereka langsung paham: mereka berlari keluar.
Ibu meraung, persis ketika Ayah hampir memukulku di tengah jalan, di bawah hujan. Tiga orang tetangga melintasi gerbang rumah; mereka menoleh ke arahku seraya tetap berjalan ke pusat kejadian—mereka menemukan dua kejadian menarik secara beruntun, dan tubuh mereka tak siap untuk mencerna keduanya sekaligus: gerak tubuh mereka jadi tampak aneh: kaki melangkah ke Ayah; tatapan melayang padaku. Dan sayup-sayup kudengar sedu-sedan yang tak pernah kudengar sebelumnya. Tapi aku langsung tahu itu suara siapa: Ayah. Ayah menangis, dan aku tak pernah melihatnya menangis. Aku tak ingin melihatnya menangis; untung saja tubuhnya terhalang dinding halaman rumahku.
Untuk apa Ayah menangis? Untuk perasaan berdosanya karena telah memukul si Tetangga? Atau untuk ... aku?
Tak lama Vianna tergesa kembali padaku. Ia merangkulku, berbisik bahwa semuanya baik-baik saja—dan itu jelas bisikan yang tolol—lalu merangkulku kembali ke kamar, membantuku merebahkan diri di kasur.
"Semuanya tidak akan baik-baik saja, bukan begitu?" kataku.
"Jangan terlalu negatif, Davina ...."
"Jangan terlalu positif, Vianna. Aku tak terbiasa dengan hal-hal positif belakangan ini."
Tatapan Vianna membeku padaku. Selaput air mata mengurung bola matanya; air matanya menggumpal di bulu mata persis embun menggantung di tepi daun.
"Tapi," lanjutku, "kau tahu, yang tadi itu cukup positif bagiku: Ayah memukul tetangga demi membelaku. Luar biasa." Aku tertawa kecil. "Tapi, tentu ayahku yang memukul, bukan? Bukan sebaliknya ...?"
"Bukan sebaliknya. Dan beberapa biji gigi terlempar ke aspal."
Aku tersenyum. Aku tersenyum dan seharusnya aku tak tersenyum sekarang. Seorang tetangga tergeletak di aspal dengan gigi-gigi terserak: aku tak pantas tersenyum: mataku hangat—aku tersenyum dan terus tersenyum dan pipiku basah.
***
Ayah memasuki kamar hanya untuk memelukku, hampir semenit. Sesingkat itu. Ia tak mengucapkan apa pun. Aku hanya mendengar isak tangis tertahan selama ia memelukku—ia bahkan tak meminta maaf padaku tapi aku tak peduli: aku telah memaafkannya: aku hanya ingin memeluknya lebih lama dan tak berkata apa pun. Setelah melepas pelukan, aku baru sadar pada kerah kaus putihnya terdapat bercak darah. Pasti bercak darah dari mulut si Tetangga—dan bagaimanapun Ayah tetap ayahku. Ayah pun melangkah ke pintu di mana dua polisi menunggu; Ayah menyerahkan tangannya untuk diborgol, seakan tak ada yang ia khawatirkan di penjara kelak, asalkan aku telah pulang dengan selamat. Ayah dan kedua polisi pergi. Ibu mengantarkan mereka keluar dengan isak tangisnya. Sementara Vianna, ia menatapku, seolah bertanya apa ia perlu mengantar Ayah keluar atau menemaniku di sini, dan aku membalas dengan tatapan, Tolong antarkan ayahku.
***
Kabar kematian Adam dan dipenjaranya Ayah membuatku mengantuk terlalu berat. Aku tertidur dan cahaya dari jendela kamar sudah meredup ketika aku terbangun. Selama aku tidur, Vianna telah mengisi penuh daya baterai ponselku dan merapikan isi-isian koperku: pakaian-pakaianku di dalam lemari, dan Pippi Longstocking di meja belajar.
"Aku tidak tahu kau membaca Pippi Longstocking," kata Vianna.
Aku langsung kembali teringat pada Molly. Molly, tanggal dua puluh satu, ikon seseorang menggantung diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Icy Molly & I
ChickLitDavina hamil di luar pernikahan, dan kabur dari rumah setelah sang ayah menghajarnya. Ia ingin melakukan aborsi secepat-cepatnya, selagi usia kandungannya muda. Di rumah indekos tempat tinggal barunya, Davina bertemu Molly yang membuatnya jatuh cint...