BAB 15 - Aborsi yang Menyenangkan

50 2 0
                                    

Aku tidak yakin si Musang hanya kebetulan melewati tempatku. Ia sudah menyiapkan helm untukku di motornya: ia pasti sudah bersiap untuk menjemputku lebih awal. Atau, ia terbiasa membawa dua helm ke mana pun—atau entahlah.

Motornya Honda Goldwing merah dan aku ingin menendangnya ke selokan. Adam memakai motor ini juga, warnanya pun persis sama. Terakhir kali aku duduk di boncengan Adam, di motor yang seperti ini juga, adalah ketika aku setengah mabuk, dan dari bar bajingan itu Adam tak mengantarku ke rumah—dan semuanya jadi berantakan setelah itu.

Lucu juga kupikir-pikir: Setelah dibonceng motor ini hidupku jadi berantakan, dan dengan dibonceng motor ini pula aku pergi untuk merapikan hidupku kembali—dengan menghancurkan hidup janinku. Itu pun kalau semua jenis keberantakan memang bisa dirapikan.

Aku menjaga jarak dari punggung si Musang sepanjang kami membelah jalanan. Sungguh beruntung si Musang sebab bentuk tubuhnya berbeda jauh dengan Adam, atau aku akan mencekiknya dari belakang.

Kami melewati McDonald's tempat kami pertama bertemu. Dari sana, kurang dari sepuluh menit kemudian—dan kurang dari sepuluh menit sungguhlah lama, sebab aku mual melihat belakang baju si Musang yang berkeringat dan menempel pada kulitnya—motor berbelok ke sebuah gang kecil. Bocah-bocah yang berlarian harus menempelkan diri ke dinding saat kami lewat, seakan mereka hendak menyatu dengan dinding. Si Musang harus beradu mulut ketika berpapasan dengan motor dari arah berlawanan, sebelum kami mengalah dan memundurkan motor keluar dari gang, lalu kami kembali masuk dan sekali lagi bocah-bocah harus menyatu ke dinding.

Motor berbelok beberapa kali di gang ini, dan sekali lututku menyenggol seorang gadis kecil hingga ia jatuh dan wajahnya mencumbu tanah. Si Musang berhenti sebentar untuk beradu caci-maki dengan ibu sang gadis, sebelum perjalanan berlanjut dan beberapa menit kemudian motor berbelok ke halaman sebuah rumah, masih di gang yang sama. Halaman rumahnya tampak terlalu penuh untuk Honda Goldwing ini; halaman seperti akan meremukkan motor di dalamnya.

"Selamat datang di surga," kata si Musang, menurunkan standar motor dan melepas helm. "Setidaknya, surga bagi banyak wanita. Tapi neraka untuk banyak ... kau tahu." Dan ia terbahak-bahak.

Aku membayangkan akan ada hal tak biasa begitu memasuki rumahnya. Tapi semua tampaknya normal di ruang depan: hanya ada jendela yang menghadap ke halaman serta gorden hijau yang menutupinya, dan sofa panjang di hadapan televisi yang langsung si Musang nyalakan dengan volume tinggi. Ia tak duduk untuk menonton. Ia mengajakku ke sebuah ruangan di balik pintu dekat televisi tersebut—dan rasanya mulai ada yang aneh: rasanya aku tahu untuk apa televisi dinyalakan tanpa ada yang menonton.

Dan tibalah kami di ruangan kedua: lampu redup, dan dua orang duduk di satu bangku panjang, dan dinding berlapis spons hitam seperti studio bioskop. Ruangan ini menelan sepenuhnya kesan normal yang kutangkap di ruang depan.

"Eh, jadwalmu hari ini?" tanya si Musang pada seorang wanita berdaster dan berkerudung dan bermasker. Wanita itu mengangkat wajah dan pada si Musang ia menggeleng. Tatapannya: seseorang yang minta dikasihani. "Ah, jadwalmu besok, bukan ...? Tapi, baiklah ... terserah. Kau boleh menunggu."

Si Musang melangkah ke pintu ruang lain di seberang bangku panjang tersebut, dan aku mengikutinya. Aku mencuri pandang ke pria berjaket merah yang duduk di samping si Wanita; kerudung jaket menutup rambutnya, masker dan kaca mata hitam menutup wajahnya. Aku mencuri pandang padanya sebab rasanya ia mencuri pandang padaku—ia segera menunduk begitu pandangan kami tak sengaja beradu. Ia mesti suami si Wanita. Mungkin juga tidak—mereka terpisah lebih dari tiga jengkal di bangku itu.

Si Musang membuka pintu ruangan: aroma khas rumah sakit serta dingin ruangan segera menyergapku, dan lampu terlalu terang hingga aku sedikit menyipit. Mungkin seperti inilah suhu dan aroma dan pencahayaan di surga—surga para wanita, neraka para janin. (Surga? Aku ingin tertawa dan menarik kumis si Musang.) Di sini dinding berlapis spons hijau dan ranjang khas ruang bidan teronggok di sudut. Si Musang menutup pintu dan mengisyaratkanku untuk berbaring; kulit kasur pecah di sejumlah bagian dan menusukkan dingin menembus punggung bajuku. Si Musang mengambil sesuatu dari rak dan melemparnya ke pahaku: baju operasi. Ia menyuruhku melepas celana dan mengenakan baju tersebut.

Icy Molly & ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang