[27]

1.5K 134 8
                                    

Malam itu, hujan turun begitu deras. Di sebuah pedesaan kecil di pesisir sungai, semua pintu rumah tampak tertutup rapat. semua anggota keluarga berkumpul di suatu tempat, duduk saling berdeketan dengan mulut berkomat kamit merapalkan doa. Mereka hanya berharap, malam ini dapat mereka lalui dengan damai.

Namun salah satu rumah di pedesaan itu, tampak lebih gelap dari rumah lainnya.

Seorang gadis kecil tersentak begitu mendengar petir yang begitu keras dan terus menyambar, bahkan sesekali memantulkan cahaya kilat ke kamar nya.

Begitu membuka mata yang ia lihat hanya kegelapan, dengan perlahan ia beranjak turun dari ranjang nya, ia mulai melangkah sambil meraba raba dinding di sebelah nya, berusaha menemukan stop kontak guna menyalakan lampu.

"Listrik nya mati" Ucap gadis kecil itu saat lampu tetap tak menyala begitu ia menekan stop kontak.

Gadis itu kembali melangkah ke arah ranjang nya dan berjongkok di depan meja nakas yang bersebelahan dengan ranjang nya.

Tangan nya kembali meraba raba mencari sesuatu, cukup lama ia meraba hingga sebuah cahaya muncul di depan nya, ia berhasil menyalakan sebatang lilin.

Kini ia berjalan keluar dari kamar nya,  melangkah menyusuri lorong gelap rumah nya.

"Ayah.."

"Ibu.."

Panggil gadis itu beberapa kali, namun tidak ada satupun orang yang di panggil nya itu menyahut.

Tiba tiba gadis kecil itu berhenti melangkah, lilin di tangan nya ia pegang kuat kuat hingga hampir patah. Mata nya melihat dengan jelas apa yang sedang terjadi di depan nya.

Seseorang bersetelan jas berwarna hitam dengan pola sulaman tangkai lavender di kedua sisi bahu itu berdiri sambil menginjak punggung ibu nya yang terbaring di lantai dingin itu.

Gadis itu menatap mata sang ibu yang terlihat memandang nya sayu. Wanita itu berujar tanpa suara, tak ada lagi suara yang dapat ia keluarkan.

Namun yang pasti, kalimat yang diucapkan nya adalah Lari, putriku

Seolah paham maksud ucapan tanpa suara sang ibu, gadis kecil itu mulai berlari bak kesetanan.

Kaki telanjang nya ia bawa berlari secepat mungkin. Bahkan lilin yang tadi di pegang nya sudah jatuh entah di mana, sekarang ia hanya dapat mengandalkan ingatan dan cahaya kilat yang sesekali menyambar sebagai pemandu jalan.

Tidak, tidak!

Gadis itu menggeleng gelengkan kepala nya berkali kali, kini ia berada di halaman rumah nya,  rintik hujan mulai membasahi tubuh nya, kaki telanjang nya yang sedari tadi tergesek bebatuan mulai terasa perih saat menyentuh rerumputan basah.

Namun ia tak peduli, yang ia tahu sekarang hanya melarikan diri dari rumah itu, dari orang berjas tadi dan mungkin dari desa ini.


































"Hoooam"

Jisung membuka mata nya perlahan, mencoba menetralisir cahaya yang masuk dari sela sela ventilasi kamar nya.

Ia kemudian menoleh ke arah pintu kamar nya, di sana berdiri Chenle yang tampak menyandang ransel nya sambil menatap Jisung jengkel.

"Cepetan bangun, nanti terlambat" Ucap nya seraya menarik lengan Jisung agar segera bergerak.

"Memang kita mau kemana?"

"Sekolah"

"Le, ini sabtu kalo Lo lupa"

Chenle semakin jengkel menatap Jisung, kini ia benar benar kesal.

"Lo baru gak masuk sekolah dua hari masa udah lupa? Hari ini kita ada acara camping"

Jisung mengetuk ngetukkan jari telunjuk nya di dagu, mencoba mengingat dengan jelas. Namun ia tetap tak dapat mengingat nya.

"Gue siap siap dulu" Ucap Jisung saat melihat Chenle yang tampak makin kesal.

Usai berkemas, Jisung dan Chenle melangkah menuju ruang tengah mansion Lee, tempat yang selalu digunakan Lee bersaudara setiap pagi akhir pekan.

"Mau kemana?" Suara Taeyong menginterupsi Jisung dan Chenle yang baru saja melangkahkan sebelah kaki mereka ke dalam ruangan itu.

"Camping bang, boleh kan?" Jisung tersenyum riang.

"Gak boleh, situasi luar bisa aja masih berbahaya" Yuta yang menjawab.

"Gak ada angin gak ada hujan, tiba tiba camping?" Renjun berujar sambil menaikkan sebelah alisnya heran.

"Iya bang, sebenarnya ini udah di rencanain dari beberapa minggu yang lalu. Mungkin Jisung lupa ngasih surat izin nya ke abang" Chenle yang menjawab.

"Betul begitu, Cung?" Taeyong kini menatap si bungsu lekat.

Jisung mengernyit, ia sedang mencoba mengingat ingat. Tapi hasil nya tetap nihil. Ia tak merasa pernah mendapat surat izin camping.

"Mungkin begitu bang, akhir akhir ini Icung jadi pelupa" Jawab nya.

Lucas tampak bergeser ke arah tempat duduk Taeyong dan membisikkan sesuatu. Setelah nya Taeyong mengangguk paham lalu tersenyum menatap Jisung dan Chenle.

"Iya boleh, ngumpul nya di mana?" Ucap Taeyong.

"Di sekolah, terus berangkat ke camping area nya pake bus!" Jisung berujar senang.

"Kalau gitu, mau di antar ke sekolah nya?"

Haechan berdiri dari duduk nya, merapikan sarung yang saat ini di pakai nya, berharap Jisung menjawab ya lalu ia akan mengajukan diri untuk mengantar sang adik.

Namun jawaban si bungsu membuat Haechan kembali duduk di kursinya sambil tersenyum kecut.

"Di depan ada supir Chenle kok" begitu kira kira jawaban si bungsu Jisung, Lee bersaudara kompak menghela napas berat kecuali Taeyong yang tersenyum semakin lebar, lalu mengangguk setuju.

Akhirnya hari itu Jisung dan Chenle pergi bersama supir Chenle menuju sekolah.

Ruangan itu mendadak sepi kembali.

"Kenapa di biarin, Bang?" Jeno berujar lirih.

Siapapun tahu, ucapan Jeno barusan di tujukan pada si sulung Taeyong.

"Bukannya kita udah sepakat buat ngikutin rencana dia?"

TBC

hai hai, author back😎btw udah sebulanan++ ya author gak update🤧maafin author ya, setelah full day lagi author jadi gak bisa fokus nulis😔 kalian ada yang full day juga? Kalau ada semangat ya🤩buat kedepan nya doain biar author bisa manage waktu lebih baik dan punya waktu luang buat nulis ya, oke?

yang mau follow followan, kiw nanti author follback. Dm aja ya😉oke see you next chapter(bakal di up cepet kalau vote dan coment kalian mencapai target author)😀💓

MAFIA LAVENDER;NCTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang