Rencana Bima menghubungi adiknya ingin menanyakan kedatangan Salima, tapi melihat wajah Uli Bima melupakan niatnya. Berbicara dengan sang adik sepanjang malam hingga keduanya tertidur sementara panggilan masih terhubung. Jadi bangun pagi ini lebih terasa segar dibandingkan beberapa pagi yang lalu, Bima senang karena Uli mematuhinya.
Sedangkan Uli kucar-kacir karena belum menyelesaikan tugasnya dan dia baru terjaga ketika pagi sudah sangat cerah.
"Mama nggak bangunin aku?" Uli masuk ke dapur dengan terburu-buru, ia tidak sempat sarapan karena setengah jam lagi kelas akan dimulai jadi cukup segelas susu.
"Eh, kirain udah berangkat." Aisha melihat putrinya, biasanya Uli bangun paling awal kadang dari situ juga tidak sempat bantu-bantu di dapur dan langsung berangkat. "Mama siapin sarapannya ya."
Uli mengangkat gelas di tangan. "Ini aja Ma, nanti aku makan bubur di kantin." Uli teringat kunci kamarnya. "Ma, kunci kamarku tinggal dua, Mama nyimpan?"
Aisha menggeleng. "Lupa mungkin, kamu nyimpan sendiri." karena Uli buru-buru Aisha mengatakan akan menyiapkan bekal untuk dibawa ke kampus tapi anak gadisnya langsung menolak.
"Aku pulang siang." Uli sudah selesai, setelah mencium tangan Aisha gadis itu segera berlari ke luar. "Nanti makan di rumah saja." lantas gadis itu mencium pipi mamanya.
Aisha tersenyum mengantar kepergian putrinya.
Ini pertama kalinya sang putri bangun terlambat. Dia pasti bekerja semalaman, begitu pikir Aisha.
******
"Lo nyuruh gue ke sini buat ini?" Raksa tidak ingin menghitung dengan melihatnya saja bisa diperkirakan seribet apa memeriksa jawaban para mahasiswa itu.
Lembaran HVS berikut sebuah buku besar untuk referensi, kuliahnya sudah selesai ia tidak ingin lagi berurusan dengan buku-buku tebal itu.
"Gue belum ada asisten, Sa."
"Duit lo banyak, apartemen saja kebeli masa asisten nggak ada."
"Belum kepikiran."
"Karena merasa bisa sendiri, padahal butuh."
"Lo nggak mau?"
"Mau, tapi lo yang cari jawaban gue yang centang."
Uli menunjuk buku setebal 500 halaman yang sudah diletakkan di meja. "Di sini ada semua."
Dengan cepat Raksa menggeleng. "Mata gue minus."
"Amiin."
"Uli!" Raksa menegur temannya.
Uli tertawa. "Oh ya, Sa. Gue mau nanya nih."
"Apa?" ketus Raksa.
"Lo sama Sarah, udah jadian kan?"
Raksa menggeleng, pria itu mulai membuka satu persatu halaman buku dan mencocokkan dan jawaban di lembar HVS.
"Tapi kata Prisca----"
"Gue nggak bisa pacaran kalau dia nggak bisa nerima lo."
Alasan itu selalu membuat Uli serba salah. Sebagai teman gadis itu merasa egois, karena setiap ada laki-laki yang mendekatinya ia tidak mempermasalahkan walaupun ujungnya tetap ditolak namun alasannya bukan karena Raksa. Berbeda dengan pria itu, akan menolak wanita karena tidak suka dengan Uli.
"Andainya posisiku ada di Sarah tetap sama. Gue nggak rela lah kalau cowok gue masih dekat sama perempuan lain sekalipun itu teman."
"Kan guenya nggak suka, gue juga bakal ngajak dia kalau ketemu sama lo."
Ini bukan bahasan sensitif tapi akan memercik emosi.
"Kita temenan, apa salahnya kalau dia juga berteman sama lo."
"Oke, kalau dia setuju lo mau nggak jaga jarak dari gue?"
Raksa mengangkat wajahnya dari buku tebal dan menatap temannya.
"Lo sendiri gimana, yakin gue setiap hari yang lo telepon sama gue."
Uli tersenyum. "Karena kita udah temenan lama dan gue cuma punya lo. Tapi gue nggak masalah kalau Sarah keberatan."
"Nggak percaya gue."
Uli tahu semua hal tentang Raksa begitu juga sebaliknya, dan selama ini hubungan pertemanan mereka baik keduanya sama-sama tidak memiliki rasa yang mengarah ke hubungan spesial.
"Dari pada ngelantur mending beliin gue makan."
"Katanya tadi udah makan."
"Beda, gue ninggalin studio ke sini buat bantuin lo. Jadi kasih makan gue."
Setiap bertemu dengan teman-teman di jam-jam sore begini perut Uli selalu penuh alhasil dia jarang makan malam di rumah, janjinya pulang siang tidak ditepati tapi Uli sudah menghubungi mama.
Yang tersedia di cafe aneka macam minuman dan kue kecil jadi Uli harus pesan makanan lain.
Lagi di mana?
Pesan masuk dari kakaknya, Uli melewatkannya karena ingin memesan makanan untuk temannya dulu selagi ada yang bantuin.
Uli.
Notice chat kedua juga dilewatkan, rencana akan dibalas nanti.
******
"Sepertinya belum nyampe seminggu..., kok sudah pulang?"
"Mama enggak senang aku pulang?"
Aisha menggeleng cepat. Bima pulang tanpa mengabarinya terlebih dulu, padahal masih ada beberapa hari lagi.
"Fadia sudah berangkat?"
"Sudah."
"Jam tujuh malam, Uli?"
"Di kamar kayanya." Aisha bertanya alasan putranya pulang lebih cepat dari jadwal. "Salima memberitahumu tentang pertemuan dua hari yang lalu?"
Bima mengangguk.
"Sepertinya orang tua Salima tidak ingin buru-buru menikahkan putrinya."
"Lalu?"
"Kamu tidak masalah?"
Bima tersenyum pada ibunya. "Kami masih harus saling mengenal, nenek yang mau buru-buru karena mau lihat cicit katanya."
Aisha terbatuk mendengar jawaban putranya. Sepertinya memang begitu, nenek Bima yang menjodohkan mereka pasti beliau juga yang ingin pernikahan itu segera dilaksanakan.
"Berarti kamu tidak apa-apa, bagaimana kalau nenek tetap meminta kalian menikah dulu?"
"Lihat nanti."
Aisha tidak bertanya lagi. Ia setuju kalau mereka berkenalan lebih dulu, daripada malu nanti, niatnya baik malah kacau ujung.
"Aku istirahat dulu Ma."
"Iya."
Aisha tidak yakin dengan hubungan yang akan dibina sang putra dengan Salima, baik dari Bima maupun gadis itu ia tidak melihat tanda-tanda bahwa mereka seperti pasangan padahal pertemuan keluarga sudah dilaksanakan. Lalu respon orang tua Salima juga biasa saja, mungkin sama halnya dengan Aisha mereka mengikuti kemauan nenek Salima.
Karena Bima mengatakan ingin beristirahat Aisha tidak memperhatikan kemana putranya berbelok.
"Chat centang dua dan nomormu juga aktif, kenapa tidak dibalas?"
Uli yang berbaring telungkup di ranjangnya seketika bangun saat mendengar suara kakaknya.
Dilihat dari peta jarak Jerman dengan Indonesia itu cukup jauh tapi kenapa kakaknya bisa pulang pergi secepat ini?
Bima menutup pintu tanpa lupa menguncinya. Sementara Uli diam pria itu langsung duduk di sisi ranjang.
"Aku istirahat dulu, lanjut saja nontonnya."
Uli dibuat tak berkutik oleh kakaknya saat pria itu menciumnya di pipi. Bolehkah Uli bertanya alasan kakaknya melakukan ini?
"Jangan mikir macam-macam, jangan berisik juga ya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hasrat Yang Tertunda
Romance(cerita lengkap di PDF. Harga 70k) "Kita tidak bisa melanjutkan hubungan ini." Empat tahun pacaran akhirnya mereka harus putus dengan alasan yang terpaksa diterima Aisha. Yang lebih sadis adalah pria itu memutuskannya tepat satu hari sebelum hari ul...