Kemarin putranya mengatakan akan terbang ke Jerman subuh, lalu ditunda lagi dan akan berangkat jam 10.00 siang, sekarang Aisha mendapatkan kabar dari suaminya bahwa Bima akan terbang lusa. Bukan keberatan anaknya berlama-lama di tanah air, ibu tiga anak tersebut malah senang tapi kenapa plin-plan rencana Bima?
"Sekarang dia ke mana?" Aisha baru tiba di perusahaan dan tidak melihat putranya.
"Di rumah nggak ada?"
Aisha menggeleng.
"Mungkin ketemuan sama Salima."
Ouh, Aisha tidak tahu. Mungkin saja.
"Aku tahu kamu tidak menyukai Salima, tapi Bima sudah memilihnya jadi kita support dan tetap mendoakan yang terbaik untuknya, ya?"
"Iya." Aisha tidak akan egois terhadap anak-anaknya. Bahkan sampai sekarang dia tidak pernah menyinggung sama sekali keengganannya pada Salima.
Selama ini hubungannya dengan ibu almarhum suami baik-baik saja Aisha tidak mau kalau ikut campur akan membuat hubungan mereka renggang.
"Mama cuma punya Bima, Aisha. Jadi biar dia sekolah di sana, kelak Bima yang akan memimpin perusahaan almarhum papanya."
Begitu kata ibu almarhum suaminya, dan kala itu dengan berat hati Aisha melepaskan putranya menuntut ilmu ke luar negeri. Ia terpaksa mengubur rasa keberatannya dan mengirimkan doa ketika rindu pada sang buah hati. Ia memaklumi dengan sangat karena almarhum Nolan anak semata wayang Mama.
Sekarang setelah Bima dewasa beliau juga merencanakan perjodohan dan pernikahan untuknya, Aisha terpaksa diam lagi namun tetap berdoa semoga Bima bahagia dengan pilihan neneknya.
Sementara Aisha di kantor, Bima sudah tiba di rumah, Bima hanya mengikuti kata hatinya. Selesai urusan di kantor Naka dia langsung pulang. Bukan menjadi kesempatan selama orang tua tidak ada di rumah, tapi karena Uli mengatakan hari ini tidak ke kampus artinya dia bisa berbicara atau menghabiskan waktu dengan adiknya.
Di kamar Uli tidur setelah minum obat pereda nyeri, sejak pagi tadi moodnya tidak bagus dan tidak ada yang ingin dilakukannya.
Dari bibi Bima mengetahui bahwa Uli berada di kamar, bibi juga mengatakan adiknya sedang datang bulan. Bima sudah mengetuk pintu kamar adiknya namun tidak ada jawaban. Tanpa pikir panjang Bima membukanya dan langsung masuk.
Ia melihat Uli membungkus seluruh tubuhnya dengan selimut bahkan kepalanya saja tidak kelihatan, mendekat Bima duduk di sisi ranjang.
Akhirnya dia tahu kenapa hari ini Uli tidak ke kampus. Bima tidak tega membangunkan adiknya, perlahan ia tidur di samping Uli dengan posisi miring menghadap ke arah gadis itu.
Ini kedua kalinya pria itu tidur di ranjang sang adik, Bima ikut memejamkan mata. Tidak apa-apa kalau mereka tidak bicara, seperti ini saja sudah cukup.
Lelap tidur Uli karena reaksi obat sedangkan Bima karena merasa nyaman berada di samping adiknya. Sementara jarum jam terus bergerak, kedua adik kakak tersebut lena dalam mimpi siang masing-masing.
Berbeda seperti tadi malam hari ini Uli yang bangun lebih dulu dan cukup terkejut mendapati Bima tidur di sampingnya. Kapan laki-laki ini masuk dan kenapa tidur di sini? Itu pertanyaan Uli.
"Mas...." Uli memanggil pria tersebut dengan suara pelan, karena tidak ada jawaban Uli menyentuh lengan kakaknya.
Dan...."Tidur lagi ya?" suara itu parau dan matanya belum terbuka tapi tangan Bima sudah menggenggam tangan Uli.
"Kenapa tidur di sini?"
Bima tidak menjawab. Ia masih ingin tidur, lalu menarik Uli hingga lengannya merasakan surai panjang gadis itu.
Tentu Uli terkejut. Mereka tidak bisa begini karena keduanya bukan lagi anak-anak, usia mereka sudah sama-sama dewasa dan ini salah.
"Perutmu masih sakit?"
"Tidak." Uli tidak penasaran kenapa Bima bertanya tentang itu. "Mas, bangun."
Bima tidak bergerak dan tubuh Uli ada di pelukannya.
"Aku masih kangen," gumam Bima sambil menghidu harum rambut Uli. "Jangan bergerak lagi."
Posisi mereka sangat dekat dan saling bersentuhan, Uli sadar ini salah dan kembali menegur kakaknya.
"Tidak baik begini Mas."
"Aku hanya tidur dengan adikku, tidak melakukan yang lain. Bagian mana yang tidak baik?"
Sepertinya Bima tidak ingin membuka mata.
"Tetaplah seperti ini untuk beberapa saat saja." Bima mencium kening Uli.
Andai pun Bima saudara kandungnya Uli juga tidak akan mau seperti ini apalagi sekarang mereka hanya saudara angkat, bukan hanya dosa akan terjadi fitnah kalau sampai ada yang melihatnya
"Mas...." panggil Uli dengan memohon.
"Mama nggak ada di rumah, bibi juga lagi sibuk. Tenang saja, aku sudah mengunci pintu."
Uli tidak percaya dengan keberanian Bima.
"Aku takut kalau seperti ini."
Barulah Bima membuka mata dan benar dia melihatnya di wajah Uli.
"Apa yang kamu takutkan?"
"Dekat seperti ini," jawab Uli.
Berbeda dengan Bima yang hanyut dengan tatapan Uli, gadis itu tidak merasa apa-apa dan saat ini dia sedang ketakutan.
"Ini tidak benar...."
"Dulu kita juga tidur di lapangan, kamu juga pernah tidur di kamarku."
"Itu dulu....saat kita masih kecil dan tidak tahu apa-apa dan saat itu tidak salah. Sementara sekarang kita sudah sama-sama dewasa, tidak wajar lagi."
Begitu tenang dan tertata kata-kata Uli, enak di dengar, Bima suka.
"Harusnya karena sudah dewasa menjadi wajar, kan?" Bima ingin tahu bagaimana respons Uli.
"Mas kakakku....dan ini tidak wajar."
"Kenapa aku merasa wajar, apa karena kita tidak sedarah?"
Pahit memang tapi itulah kenyataannya. "Iya."
"Tapi aku mau seperti ini."
Uli bisa merasakan hangatnya napas sang kakak yang menerpa wajahnya, ia tidak memejamkan mata karena memang tidak menikmati apa-apa. Berbeda dengan Bima, ada sebuah gelombang yang disebut gelora namun bisa diabaikan.
"Tidak bisa." Uli berusaha bangun sayangnya Bima juga menekannya semakin kuat. "Sekali ini saja."
Ada air di sudut mata Bima dan Uli tertegun ketika melihat hidung pria itu memerah.
Kira-kira kenapa Bima menangis? Uli bertanya pada diri sendiri. Kini mata pria itu kembali terpejam dan Uli dengan berat hati mengabulkan tiga kata terakhir dari kalimat Bima...."Sekali ini saja."
Walaupun tidak nyaman setidaknya ia tidak egois dengan menelantarkan permintaan kakaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hasrat Yang Tertunda
Romance(cerita lengkap di PDF. Harga 70k) "Kita tidak bisa melanjutkan hubungan ini." Empat tahun pacaran akhirnya mereka harus putus dengan alasan yang terpaksa diterima Aisha. Yang lebih sadis adalah pria itu memutuskannya tepat satu hari sebelum hari ul...