Bait rindu itu berbaris ganda, mengukir perasaan pada seorang wanita padahal hati sudah berpaling karena takut pada kata tak wajar. Tapi syair rindu semakin syahdu kala malam menghempaskan sepi menikam lubuk hati yang yang semakin nyata nama siapa yang disebut setiap malam menyapa.
Subuh itu harusnya Bima sudah terbang kembali ke Jerman untuk menyelesaikan beberapa hal lagi sebelum melakukan sebuah niat baik demi masa depannya. Tapi pria itu sekarang berada di kamar seorang gadis, di sampingnya ia tidur menggunakan selimut yang sama tapi tidak melakukan apa-apa sepanjang sepertiga malam.
Apa yang dilakukannya empat jam menjelang pagi? Ia berbaring berhadapan dengan Uli, memandang wajah yang sudah lama tidak ditatap.
Selain kening yang bertemu dengan kecupan bibirnya tidak ada sentuhan yang lain, ini bukan perkara cinta tapi kerinduan yang masih enggan ditafsir.
Bima baru keluar dari kamar ketika mendengar adzan subuh sebelum Uli bangun, ia memutuskan terbang pukul 10.00 nanti.
"Panggilkan Mas-mu."
Bukan pada Uli tapi Fadia perintah itu ditujukan Aisha tapi si adik meminta tolong pada kakaknya karena ia akan menerima panggilan dari senior.
Uli tidak keberatan, membuka sarung tangannya ia menuju ke kamar Bima.
Tok-tok.
"Masuk."
Uli cukup memberitahunya dari sini dia mah pasti mendengarnya. "Sarapan dulu."
Bukan jawaban yang diterima tapi pintu yang dibuka oleh Bima. "Masuk."
"Sar---"
"Masuk dulu."
Tidak ada sentuhan ataupun tarikan tangan, Uli masuk sebentar.
"Aku akan terbang jam 10.00 nanti, sekarang mau ke kantor pusat sebentar." Bima mengambil dasi dan menyodorkan ke hadapan Uli. "Mama pasti sedang sibuk, tolong pakaikan."
Uli tidak tahu kenapa Bima menyuruhnya memasangkan dasi pria itu, tapi tidak masalah ia akan memasang benda itu. Uli tahu caranya karena dulu pernah beberapa kali memasang dasi papanya.
Dengan hati-hati dan bersahaja Uli menyimpul benda pipih yang terbuat dari kain tersebut, saking fokus gadis itu tidak menyadari tatapan Bima.
Cukup Bima yang tahu bagaimana suasana hatinya ketika memandang wajah cantik gadis itu, tidak perlu penjabaran kalimat panjang lebar untuk memberitahu orang lain karena banyak yang akan salah paham atau bahkan menolak.
Karena Uli berdiri membelakangi cermin tegak jadi postur tubuhnya terlihat jelas apalagi dengan tangan terangkat, Bima menahan pandangannya agar tidak melihat ke arah cermin. Dia laki-laki dewasa, yang sedang bersamanya bukan bayangan tapi seorang wanita jadi dia hanya cukup menyapu wajah si adik.
"Sudah."
Karena ingin melihat sudah rapi atau belum Bima terpaksa melihat ke cermin sementara Uli sudah berdiri di sampingnya.
"Bagus, tapi tolong rapikan yang bagian ini." Bima menunjuk kerah kemejanya.
Uli menurut, ia kembali mendekat dan merapikan bagian kerah tersebut.
"Sudah rapi, coba Mas lihat."
Bima kembali melihat pantulan dirinya di cermin, iya ini sudah rapi.
"Aku keluar dulu, Mama pasti sudah menunggu."
"Eum." lalu Bima mengucapkan terimakasih.
Uli mengangguk dan bergegas keluar.
Apa yang ada di pikiran Bima sekarang? Uli bukan jenis wanita yang mudah baper, padahal Bima juga mencium kening gadis itu semalam. Sejenak Bima mempertanyakan maksud dari pikirannya. Mereka adik-kakak sudah semestinya sikap Uli, apa aku yang berlebihan?
Kini di meja makan keluarga Naka formasinya lengkap, mereka duduk bersama menikmati sarapan dengan obrolan kecil yang jelas tidak ada suara Uli di sana kecuali anggukan pelan sesekali yang ditangkap manik Bima.
Bima memperhatikan dengan hati-hati karena tidak ingin orang tuanya salah paham, sikap yang sangat dikendalikan karena sedang berada di tengah-tengah keluarga.
"Biar bibi saja Uli."
"Sambilan Ma." Uli lebih duluan selesai, ia membawa piringnya wastafel tapi tidak langsung mencucinya.
"Aku berangkat sekarang Ma, Pa." Fadia mencium tangan kedua orang tua dan kedua kakaknya.
"Hati-hati nyetir!"
Fadia mengangguk.
"Papa pikir kamu sudah berangkat subuh tadi."
"Jam sepuluh nanti Pa, sekarang mau ke kantor dulu."
"Kantor pusat?"
Bima mengangguk dan Naka tersenyum senang karena Bima mau mampir ke sana sebelum kembali ke Jerman, setidaknya saat pulang nanti ada terobosan baru untuk proyek yang sedang dikerjakan.
"Saat pulang bulan depan nanti setidaknya aku tidak diam di rumah saja." Bima melirik Uli yang mulai memindahkan piring kotor dari meja.
"Papa jadi tidak enak, padahal kamu pulang karena mau bertunangan seharusnya tidak disebutkan dengan pekerjaan."
"Tidak apa-apa, Pa."
"Kamu sudah memberitahu Salima kalau minggu ini akan ada pertemuan keluarga dari pihak kita?"
"Sudah."
Aisha menarik napas dalam. Ia tidak bisa menentang keinginan ibu almarhum suami pertamanya apalagi Bima juga menyukai gadis itu.
Sementara pembicaraan itu terus berlanjut Bima tetap memperhatikan Uli yang sedang mencuci piring tidak jauh dari mereka.
"Aku akan membeli cincin di sana."
"Bagaimana dengan ukuran jari?"
"Aku sudah tahu," jawab Bima.
"Baiklah."
Tidak ada yang menyadari lirikan penuh arti Bima pada seorang gadis yang sibuk dengan busa dan piring kotor, terlebih Aisha. Bukan tidak menyukai Salima, tapi masih ada hubungan keluarga dengan gadis itu menurutnya lebih baik mencari wanita lain tapi keinginannya itu terpendam di hati, tidak apa asalkan putranya bahagia.
"Papa akan siap-siap dulu, kita akan berangkat bareng."
Karena mood Aisha juga sedang tidak bagus ia menyusul suaminya ke kamar meninggalkan adik dan kakak tersebut di ruang makan.
Berbeda dengan Bima yang terus memperhatikannya Uli malah sibuk dengan piring, ia sudah selesai mencucinya dan akan dikirimkan sebelum dimasukkan ke lemari.
"Kamu tidak ke kampus?"
"Tidak."
"Libur?"
Uli menggeleng. Ini hari pertama di bulan ini Uli kedatangan tamu bulanan, biasanya tidak apa-apa tapi kali ini perutnya sakit. Karena takut uring-uringan dan mood jelek saat di kampus nanti Uli sudah menghubungi asistennya untuk mengisi kelas.
Bima tidak pernah kepo dengan urusan orang lain bisa dikatakan ini pengecualian atau pertama kalinya dia ingin tahu.
"Kata Mama kamu tidak pernah absen ngajar."
"Kadang-kadang ada juga."
Uli menjawab tanpa menoleh ke arah kakaknya, hal ini membuat Bima sedikit kesal. Apa salahnya gadis itu berhenti sebentar dan menoleh padanya.
"Jadi seharian ini tidak ada kegiatan?"
Uli menggeleng. "Di rumah aja."
Singkat padat tanpa penjelasan.
Bima tampak berpikir, apa baliknya besok saja?
KAMU SEDANG MEMBACA
Hasrat Yang Tertunda
Romance(cerita lengkap di PDF. Harga 70k) "Kita tidak bisa melanjutkan hubungan ini." Empat tahun pacaran akhirnya mereka harus putus dengan alasan yang terpaksa diterima Aisha. Yang lebih sadis adalah pria itu memutuskannya tepat satu hari sebelum hari ul...