Tak lagi sama seperti ketika mereka masih SD, sering menghabiskan waktu bersama mulai dari membuat tugas hingga bermain sepertinya masa bahagia itu tidak akan pernah terulang lagi.
Walaupun tidak menciptakan jarak tetap saja dua orang yang sudah beranjak dewasa itu merasa asing satu sama lain.
Setelah pertemuan pertama setelah sekian lama di pagi itu mereka kembali sibuk dengan urusan masing-masing. Terutama Uli, pekerjaannya sebagai dosen membuatnya jarang berada di rumah sementara Bima yang baru pulang tidak pergi kemana-mana karena ingin menghabiskan waktu bersama keluarganya.
"Lo sempat bilang mas Bima pulang."
Uli mengangguk, dia memang memberitahu Raksa bahwa Bima ada di sini untuk satu atau dua minggu ke depan yang pastinya dia tidak tahu akan berapa lama pria itu di Jakarta.
"Nggak mau kenalin ke gue?"
"Kapan-kapan aja ya." Uli tidak tahu harus memulai dari mana untuk berbicara dengan kakaknya itu apalagi mengajak berkenalan dengan teman-teman.
"Kan janjinya dulu gitu."
Iya, pas komunikasinya dengan Bima masih terjalin, sekarang sosoknya seperti sudah berbeda. Dia dingin dan irit bicara.
"Gue ajak, tapi tunggu nanti dulu."
"Oke."
Tidak ada Berta dan Prisca di pertemuan kali ini, hanya Raksa dan Uli mereka baru selesai makan siang dan menghabiskan sore di cafe biasa.
"Reuni kalian kemarin pasti enak ya, rame nggak? Pasti cuman gue yang nggak datang."
Raksa mengangguk. "Seru, ada party juga."
Tepat di hari teman-temannya reuni Uli melihat keberadaan Bima di rumah, lalu selama tiga hari rekannya berada di Bali Uli menghabiskan waktu sendiri. Ngajar, pustaka dan Cafe dia akan pulang Maghrib saat keadaan rumah sepi.
"Lo melamun?"
Hah? Uli menggeleng. "Nggak."
"Muka lo kayak orang susah."
Uli tersenyum. "Sa."
"Eum."
"Menurut lo gimana kalau gue beli apartemen?"
Raksa tertawa. "Ya baguslah, itu sama juga dengan investasi."
"Maksudnya gue tinggal di sana."
"Lo lagi ada masalah di rumah?"
Uli menggeleng. "Gue ngerasa aneh aja."
Raksa tidak setuju dengan cara pikir Uli. "Sekalipun lo anak angkat yang harus lo ingat adalah bokap dan nyokap sayang banget sama lo."
"Gue nggak mikir ke situ, cuma aneh aja kalau lagi ngumpul. Mereka saudara, sedangkan gue bukan."
"Nyokap lo pasti marah kalau dengar ini."
Mungkin. Tapi Uli tidak bermaksud membuat perasaan kedua orang tuanya tersinggung, ini hanya perasaannya dan hanya dikatakan pada Raksa.
"Apa karena mas Bima?"
"Bukan."
"Terus?"
"Gue merasa asing dengan kebersamaan mereka." Uli juga memberitahu Raksa. "Sebenarnya hari ini mama dan papa ngajak ke puncak, tapi gue bilang nggak bisa. Gue ngajar."
Raksa terkejut. Kasian sekali, seenggaknya saat Uli tidak bisa ikut reuni kembali nggak di situ bisa menjadi alasan untuk berkumpul dengan keluarganya sesekali.
"Berarti sekarang nggak ada orang di rumah?"
"Ada, bibik."
"Maksud gue bokap nyokap lo, Fadia dan mas Bima, mereka semua liburan ke puncak?"
Uli mengangguk.
"Uli-uli!" Raksa berdecak dengan sikap temannya. "Lo bilang nggak ada masalah di rumah, terus lo ngerasa aneh dan asing, hello!" Raksa cukup kesal. "Lo udah tinggal bersama mereka sejak lo kelas 1 SD, sekarang umur lo berapa?"
"Kemarin-kemarin cuma ada Fadia, sekarang mas Bima pulang. Jadinya kan lengkap. Kenapa harus ada gue?"
"Baper banget, apa karena mas Bima nggak ngajak lo ngobrol?"
Uli tidak menjawab. Bukan Bima, tapi perasannya yang aneh, walaupun sikap orang tuanya masih sama hangat seperti dulu ia tetap merasa asing.
Bima anak mama dari pernikahannya dulu, Fadia anak mama dan papa sedangkan dia anak yang dibawa dalam pernikahan mereka.
"Uli." Raksa cemas melihat Uli yang tiba-tiba menangis.
"Kayanya gue mau halangan deh Sa. Soalnya gue baperan...." Uli menelungkupkan wajahnya kemeja.
Raksa tersenyum. "Iya ya, kenapa gue nggak kepikiran ke situ?" pria itu meneguk habis kopinya.
"Gue juga salah langsung ngjudge lo, padahal gue kenal lo udah lama."
Walaupun sikap Uli sore ini aneh Raksa yang paling mengerti posisi dan hati gadis itu.
"Udah jangan nangis lagi." Raksa mengambil kotak tisu dan menghentakkan dengan pelan. "Belum malam nih, lap dulu. Untung belum magrib kita cari apartemen yuk."
Uli mengangguk. Tidak salah membeli apartemen walaupun tidak ditempati setidaknya kalau keadaan seperti ini terulang Uli tahu harus pulang ke mana.
"Jangan kasih tahu Berta, Prisca juga." karena kalau mereka tahu kemungkinan besar kedua gadis itu mencari tahu sampai ke akar-akarnya dan tidak sungkan menemui kedua orang tuanya.
"Iya."
Sementara di puncak Aisha tidak begitu menikmati liburan ini walaupun begitu dia tetap terlihat santai dengan raut bahagia di depan anak-anaknya.
Bukan usulannya tapi Bima, anaknya yang mengajak liburan ke sini Aisha dan Naka tidak mungkin menolak permintaan putra mereka.
Alasan pertama yang membuatnya tidak menikmati liburan ini adalah Uli yang tidak bisa datang dan kedua Bima mengajak serta Salima memberitahunya. Walaupun tidak membenci gadis itu tetap saja risih, karena ini adalah liburan keluarga.
"Mau ke kamar dulu Mas, mau telepon Uli."
Naka mengangguk, pria itu sedang menikmati langit sore dari villa ditemani segelas kopi.
Bima yang duduk tidak jauh dari papanya mendengar mamanya mengatakan ingin menghubungi Uli.
"Tunggu sebentar ya," pamitnya pada Salima dan memanggil Fadia untuk menemani gadis itu, sementara dia menyusul mama.
Karena pintu kamar tidak tertutup Bima mendengar obrolan mama dengan Uli, ia menunggu beberapa saat hingga mama mengakhiri panggilan tersebut lalu mengetuk pintu.
"Bima?"
Bima melihat mama menangis.
"Dia yang tidak mau ikut, kenapa Mama sedih?"
Aisha menggeleng.
"Uli disiplin, kemarin-kemarin juga ada acara reuni di Bali tapi dia juga tidak ikut karena jadwal mengajar sekarang kita liburan keluarga tapi Uli juga tidak ikut."
Bima mengerti perasaan mama. "Di sini ada aku, Fadia dan aku juga mengajak Sa---"
"Nanti kalau kamu sudah berkeluarga dan memiliki anak juga paham gimana perasaan Mama." Aisha menyeka air matanya, ia tersenyum pada Bima.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hasrat Yang Tertunda
Romance(cerita lengkap di PDF. Harga 70k) "Kita tidak bisa melanjutkan hubungan ini." Empat tahun pacaran akhirnya mereka harus putus dengan alasan yang terpaksa diterima Aisha. Yang lebih sadis adalah pria itu memutuskannya tepat satu hari sebelum hari ul...