Diamnya Uli tidak menggerakkan langkah Bima dari apartemen gadis itu. Bahasan yang dibahas ternyata cukup berat bagi Uli, sebuah rasa yang tak pernah diduga akan bermuara di hati Bima.
Jika pagi tadi Uli yang menyiapkan sarapan maka sekarang Bima lah memesan makanan untuk makan siang mereka.
Sementara Uli mendiamkannya Bima tidak sungkan keluar masuk ke kamar gadis itu, walaupun tanpa berkata apa-apa lagi setelah menyampaikan sebaris kalimat sebelum menyelimuti Uli pagi tadi, "Silahkan anggap perasaanku omong kosong nanti kamu juga tahu."
Jelas ada makna tersembunyi dalam kalimat itu yang sampai detik ini masih menjadi pertanyaan si gadis kenapa harus dia?
"Kamu tidak mau makan?"
"Aku tidak lapar."
"Nanti kena magh, pagi tadi kamu juga makan sedikit."
Uli tidak menjawab lagi, ia berbaring membelakangi posisi Bima. Tidak ataupun berbalik untuk menanggapi pria itu.
Saat denting bel berbunyi Uli menyadari sesuatu, lantas menutup wajahnya dengan kedua tangan. Uli sudah membuat janji kemarin dengan Raksa juga teman-temannya itu pasti mereka.
Bima memperhatikan gelagat Uli lalu keluar untuk melihat siapa yang datang, tidak lama laki-laki itu kembali masuk dan memberitahu Uli.
"Teman-temanmu dan pria itu."
Uli bangun.
"Kamu langsung bersemangat?" sindir Bima.
Uli mengacuhkannya, dari mana Bima melihat bahwa dia bersemangat? orang dia sendiri lebih tahu perasaannya sekarang.
Di belakang Bima mengintil, ia kurang suka dengan kehadiran tiga orang itu terlebih pada pria bernama Raksa.
"Kok lama?" Berta yang pertama kali bersuara karena belum menyadari keberadaan Bima sementara Raksa dan Prisca lebih dulu terkejut.
"Wow!" Berta menutup mulutnya, lalu menoleh ke belakang pada kedua temannya dan memelankan nada suaranya. "Kakak Uli kan?"
"Eum."
"Maaf, aku ketiduran. Masuk."
Ketiga orang itu masuk setelah dipersilakan Uli.
Bukan hanya Raksa, Prisca ikut bingung melihat keberadaan Bima di apartemen temannya lalu raut Uli, apakah terjadi sesuatu di antara mereka?
Ada satu hal lagi yang menarik perhatian mereka adalah tanda merah di rahang kanan. Mereka sudah sama-sama dewasa dan tahu tanda apa itu.
"Kami salah waktu ya?"
Uli menggeleng. "Kita sudah janjian kemarin aku saja yang lupa."
Raksa, Berta dan Prisca saling memandang. Apa ini? Kata sebut yang digunakan Uli berbeda.
"Lo sakit?" Raksa yang bertanya. Pria itu juga bangun dari duduknya dan meraba kening Uli. "Hangat, mau gue belikan obat?"
Bima tidak suka dengan sikap Raksa yang dinilai terlalu berani karena asal menyentuh kening Uli.
Priska menatap baik-baik temannya itu. "Kalau sakit kenapa nggak pulang?"
"Nggak, karena baru bangun tidur makanya begini." Uli tidak bisa tersenyum bukan karena ada Bima di antara mereka tapi karena lagi nggak mood saja.
"Ini mas Bima ya?" Berta tersenyum lebar hingga gigi gingsul nya kelihatan.
"Oh, iya." tapi Uli tidak memperkenalkan secara resmi, ia bahkan tidak ingin melihat wajah laki-laki itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hasrat Yang Tertunda
Romance(cerita lengkap di PDF. Harga 70k) "Kita tidak bisa melanjutkan hubungan ini." Empat tahun pacaran akhirnya mereka harus putus dengan alasan yang terpaksa diterima Aisha. Yang lebih sadis adalah pria itu memutuskannya tepat satu hari sebelum hari ul...