Hasrat Yang Tertunda - 16

3.8K 578 75
                                    

Bima nekat pulang biar sekalian orang tuanya tahu jadi lebih mudah tidak bertele-tele lagi. Sementara Uli tidak punya pikiran yang sama dengan kakak angkatnya itu. Takutnya bukan surprise, jejak merah di rahangnya bisa jadi membuat mama jantungan dan papa murka, ujungnya dia mengecewakan orang tua.

Tapi tinggal di sini cuma berdua dengan laki-laki yang sudah menyatakan perasaannya lebih berbahaya, buktinya sudah ada. Uli memikirkan cara, bagaimana menyembunyikan tanda merah di rahangnya.

Menutupnya dengan plester bukan pilihan yang tepat karena mama aku lebih khawatir dan lebih percaya pada perawatannya sendiri, dan mama akan mengetahui ketika membuka plester tersebut. Yang kedua foundation berwarna senada dengan kulitnya, caranya harus konsisten karena sekali saja lupa maka sama saja mempermalukan diri sendiri.

Buntu, Uli tidak mendapatkan jalan keluar.

"Semakin kamu menghindar langkahku lebih kuat mengejar."

Ketimbang bertanya pada laki-laki itu Uli lebih banyak bertanya pada dirinya sendiri. Kenapa Bima harus jatuh cinta padanya, sejak kapan laki-laki itu menaruh rasa untuknya, lalu untuk apa mengenalkan Salima pada keluarga besar?

Pertanyaan terakhir di cut, itu bukan urusannya.

"Dari tadi aku bicara sendiri."

Iya. Bukannya tidak sopan tapi Uli tidak mau menanggapi setiap ucapan Bima apalagi menyambungnya karena topik yang dibahas mengenai dirinya juga perasaan laki-laki itu.

"Uli." Bima dibuat gemas, maunya mengurung lagi gadis itu di kamar.

"Eum."

"Aku bicara nggak ditanggepin?"

Uli diam lagi.

"Mau kuhamilin dulu, biar kamu percaya?"

"Nggak lucu Mas," tegur Uli.

Bima juga tidak sedang melawak, dia serius mengajak Uli. Tidak apa-apa kalau dengan cara seperti ini gadis itu percaya pada keseriusannya.

"Aku serius Uli."

Lagi, Uli diam.

Entah kenapa dia merasa ada satu hal yang memicu sikap Bima seperti ini, sayangnya mereka tidak tumbuh bersama hingga usia dewasa jadi ia tidak mengenal laki-laki itu.

Karena tidak ingin dikungkung oleh laki-laki itu Uli enggan masuk ke kamar, ia memilih duduk di ruang tamu sedari tadi. Seandainya malam ini Bima juga tidak pergi dari apartemennya ia akan tidur di luar.

"Katakan sesuatu."

"Aku mau Mas pergi dari sini."

Bima menarik nafas lalu membuangnya. "Kamu sudah meminta itu dari semalam, artinya permintaanmu tidak berkualitas. Ganti dengan yang lain."

Pertama kali mereka bertemu setelah sekian lama, pagi itu di pintu dapur Uli masih ingat bagaimana tatapan Bima terhadapnya. Lalu beberapa hari setelahnya, tepat ketika Bima masuk ke kamar dan mengajaknya bicara, tatapan itu juga masih sama.

Ciuman kening dan pipi tidak pernah diartikan berlebihan oleh gadis itu.

Namun sudah sejauh ini bukankah tidak normal kalau Uli tidak menegur tindakan pria itu?

Saking sibuk dengan isi kepalanya Uli tidak sadar bahwa sudah duduk di sampingnya.

"Apa yang kamu pikirkan."

Suara itu terdengar sangat dekat, Uli terkesiap saat menoleh hampir saja hidung keduanya.

"Apa ini menjadi beban untukmu?"

Uli mengangguk. "Apa karena statusku sebagai anak pungut Mas memperlakukan aku seperti ini?"

Apa?

"Karena aku bukan anak kandung mama atau papa, jadi pantas diperlakukan begini?"

"Apa maksudmu?"

Wajah Uli menghangat. Sejauh manapun langkahnya ia tidak bisa mengubah statusnya sebagai anak pungut.

Kini air hangat itu kembali jatuh. "Dulu... di tahun pertama di Jerman, Mas selalu menyempatkan diri menghubungiku." Uli tidak terisak dan sebisa mungkin menjaga tangannya agar sigap menghalau air matanya.

"Setelah itu tidak pernah lagi ada pesan masuk dari Mas, aku pernah mencoba menghubungi nomor Mas tapi tidak aktif lagi."

Bima mengingatnya.

"Lalu bulan berikutnya aku sering mendengar dari Fadi bahwa Mas sering meneleponnya." Uli mengatup bibirnya, ia selalu sedih mengingat hal itu.

"Mulai saat itu aku bingung dan mengajak papa bicara." yang diketahui Uli kala itu adalah dia anak kandung papa. "Karena Mas tidak meneleponku lagi, aku bertanya pada Papa antara aku dan Fadia siapa yang lebih disayang, saat itu papa menjawab aku yang paling disayang di antara kita bertiga. Lalu aku tersenyum dan bergembira dengan jawaban papa."

Uli menepis lembut tangan Bima ketika pria itu ingin menggenggam tangannya.

"Selang beberapa hari tanpa sengaja aku mendengar orang tua kita bicara, dan saat itu papa menangis." Uli tidak akan melupakan hal itu. "Mas tahu apa yang dikatakan papa?"

"Apa?"

"Seandainya negeri ini dilanda banjir besar dan kita terhanyut maka yang pertama kali ditolong oleh papa adalah aku. Tidak peduli Mas anak dari wanita yang mencintainya, dan Fadia anak mama dan papa sekalipun aku anak angkat, akulah yang akan ditolong."

Dengan kata lain sampai sekarang Uli tidak pernah bertanya statusnya pada orang tua, saat itu ia sudah besar dan sudah bisa memahami kata-kata papanya.

"Aku sadar selama ini dicintai oleh Mama Mas juga papa, begitu juga Fadia dia menghormatiku sebagai kakak."

Uli menyeka air matanya. "Aku tidak meminta takdir ini untukku, aku juga tidak pernah berharap diadopsi oleh papa, tapi aku menghargai cinta kasih mereka untukku."

Bima ikut tersentuh mendengarnya.

"Sejak saat itu aku tidak pernah bertanya lagi, kenapa Mas tidak pernah menelponku atau setidaknya mengirimkan pesan." dalam tangisnya Uli tertawa. "Ketika itu aku masih SMP, wajar kalau aku bodoh karena membandingkan diriku dengan Fadia yang jelas berbeda."

Uli menarik napas dalam.

"Akhirnya aku menyadari posisiku di keluarga." Uli meremat kedua tangannya. "Mulai saat itu, aku membatasi diri saat ada acara keluarga, syukurnya saat itu aku mengenal Raksa. Kami berteman sampai sekarang, dan dia satu-satunya orang yang memahamiku."

Ouh, Bima mengerti dan bisa memahami arti tatapan pria itu sekarang.

"Aku tidak tertarik dengan dengan apa yang dimiliki mama dan papa, karena itu aku memilih bekerja sebagai dosen. Saat Mas pulang aku merasa tidak nyaman karena itu aku membeli apartemen ini dengan uang tabunganku."

Apa?

"Ini kedua kalinya Mas membuatku tahu diri bahwa anak pungut bisa diperlakukan sesuka hati, tak peduli bagaimana perasaannya."

Bima mengepalkan tangan.

"Mas bebas tidur di kamarku, mencium dan memelukku. Lalu...." tanda merah di rahang, Uli tidak sanggup melanjutkan.

"Mas menyuruhku mengartikan tanda ini, lalu dalam waktu yang sama Mas mengatakan jatuh cinta padaku." Uli sedikitpun tidak merasa dirinya istimewa. "Mas juga memberitahu mama, lalu apa yang harus kulakukan?"

Kalimat Uli tertata dengan nada datar, tak sedikitpun menyudutkan Bima malah sebaliknya ia menyalahkan diri sendiri atas keadaan ini. Terutama takdir hidupnya sebagai anak pungut.

"Terima aku, terima lamaranku." dua kata itu memiliki arti sempurna yang akan dipertanggungjawabkan oleh Bima

"Mudah ya Mas, apa karena aku anak pungut?"

Tatapan keduanya bertemu. Tidak ada kebohongan dalam kalimat Uli, Bima melihat sendiri bagaima redup sorot gadis itu. Tidak ada binar dalam maniknya, artinya sampai detik ini tidak ada kesan apapun atas kebersamaan juga perjuangan yang baru dimulai Bima.

.
.
.

Hasrat Yang TertundaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang