Bima sempat berkenalan dengan laki-laki yang datang bersama Uli ke cafe tersebut, pria itu mengaku sebagai rekan adiknya itu. Tapi Bima melupakan rekannya yang masih berada di lantai dua ketika pergi dari sana.
Menurut mereka ini kebetulan, karena sudah lama tidak saling kontak keduanya memilih pergi dari sana dan mencari tempat baru, tapi Bima punya alasan ketika mengutarakan bahwa dia ingin mengetahui tempat tinggal Uli dan gadis itu tidak keberatan membawanya ke apartemen.
Uli sekarang jauh berbeda seperti dulu, adiknya sudah menjelma bak wanita dewasa dengan pesona yang luar biasa. Entah seperti apa pergaulannya yang jelas ia bukan lagi Uli yang dulu.
Wajar jika Bima curiga seperti apa tempat tinggal adiknya setelah melihat penampilan Uli, sepertinya tak sama lagi seperti dulu.
"Kunjungan Mas ke sini dalam rangka bisnis?" Uli meletakkan dua kaleng minuman soda, tidak ada Snack karena ia tidak menyukainya.
"Eum."
Bima menjaga pandangannya.
"Kamu tidak pernah menghubungi mama?" tanya Bima setelah mereka diam beberapa saat.
"Jarang, Mama atau Papa yang sering menghubungiku." Uli memberikan jawaban jujur. "Dua hari yang lalu papa telepon, papa juga memintaku pulang untuk menghadiri pernikahan Mas."
Oh, ternyata gadis itu sudah tahu.
"Tapi aku tidak bisa pulang karena terikat kontrak." Uli tidak segan membalas tatapan laki-laki itu. "Karena Mas ada di sini, aku ucapin selamat."
Uli tahu pria itu akan menikah dengan Salima, papa yang memberitahunya.
Sementara Bima diam, Uli bertanya. "Nenek, apa kabar?"
"Baik."
Sepertinya Bima tidak perlu bertanya banyak, begini saja dia bisa meraba seperti apa kehidupan Uli sekarang.
"Mungkin benar kalau mama merasa sudah jauh denganmu."
Uli tersenyum amat tipis dan itu cukup mengejutkan Bima.
"Sebagai anak yang sudah dibesarkan dan diberikan kasih sayang yang tulus aku masih belum tahu diri, tapi aku tidak lupa kebaikan mama juga papa."
Uli tidak menyinggung perasaan sebagai anak angkat di sini, cara pandangnya sudah berubah namun ia masih memiliki prinsip yang sama seperti dulu.
"Saat bicara dengan mama, beliau tidak pernah menyinggung Mas. Aku juga tidak bertanya mengetahui mama dan papa sehat sudah sangat bersyukur."
Keduanya sama-sama tahu kenapa Aisha tidak pernah menyinggung lagi nama Uli saat bersama Bima ataupun sebaliknya. Canggung, mungkin itu perasaan mama dan Uli menghargai.
Jika Bima menilai dengan seksama perubahan sang adik maka Uli tidak begitu memperhatikan. Maniknya hanya menyorot mata Bima dan hanya sebatas itu, tidak ada keinginan untuk bertanya hal yang sama sekali tidak menjadi urusannya.
"Aku dengar kuliahmu sudah selesai, kenapa tidak pulang?"
"Aku ingin tinggal di sini." Uli tersenyum lagi. "Di sini aku lebih bisa mengekspresikan diri, cuma tinggal izin papa. Semoga dimudahkan."
Bima tidak tahu pekerjaan apa yang dilakukan Uli di sini. "Perusahaan apa yang menaungimu?"
Uli menyebut salah satu stasiun televisi terbesar di Amerika. "Aku juga baru memulai bisnis kecil dengan rekan-rekan."
"Papa tahu?"
"Tidak semua."
"Alasanmu?"
"Papa tidak ingin aku bekerja keras." Uli mengulang kata-kata papa untuknya. "Beliau sudah menyiapkan posisi untukku, masa depanku sudah dirancang." bukan tidak bersyukur tapi Uli hanya merasa tidak berhak untuk itu semua.
Bima menarik napas cukup dalam. "Apa yang kamu harapkan di negeri orang, di sini kamu sendiri. Di tanah air kamu juga bisa berkarya."
Jika mengenai finansial papa Naka sudah menyiapkan semuanya untuk Uli, ia sudah tahu dan baru saja Uli juga mengatakannya. Kira-kira dalam segi apa kata mengekspresikan diri yang dimaksud Uli?
Uli menenggak minuman yang sudah dibuka, dengan memalingkan wajah dari Bima.
Kata Bima di sini dia sendiri, Bima lupa kalau di dunia ini Uli juga sendiri. Orang tuanya mampir ke dunia hanya untuk melahirkannya. Ia tidak tahu adakah seseorang yang memiliki hubungan nasab dengannya? Ia pernah mengunjungi yayasan panti, di sana ia hanya mengetahui informasi tentang ibu kandung bukan identitas lengkap hanya sebuah nama.
"Apakah butuh alasan untuk sebuah kenyamanan?"
Dan Bima terdiam. Ia tidak tahu tujuan Uli.
"Mas belum minum." Uli menunjuk ke arah kaleng minuman milik Bima yang belum disentuh.
"Tempat atau seseorang yang membuatmu nyaman?"
"Tempat dan orang-orang."
Bima salah menangkap maksud dari sebutan orang-orang. "Aku tidak ingin penasaran tapi kamu bukan wanita seperti itu kan?"
Jujur Uli terkejut dengan pertanyaan Bima tapi rautnya terkesan biasa, karena tinggal di luar negeri ditambah dengan penampilannya sekarang wajar Bima berpikir seperti itu.
"Selama aku menikmatinya tidak salah kan?"
Bima mengepal tangannya. Mudah sekali dia terpancing, mungkin karena hatinya pernah tertarik pada wanita ini.
"Melajang bukan berarti aku tidak menikmati hidup."
Di telinga Bima wanita itu seperti sedang menegaskan statusnya sekarang, ah tidak, yang tepat gaya hidupnya.
"Mama dan papa pasti kecewa."
"Akhirnya mereka menyadari tidak mengalir darah mama dan papa, mungkin mereka hanya bisa diam."
Kini bukan dengan kata-kata tapi sikap, bukan menjatuhkan diri dalam pelukan Bima melainkan melepaskan Coat dan meletakkan di sisinya.
Bima melihat sesuatu yang indah tapi sudah terjemah. Tidak lama, karena tatapannya kembali ke manik Uli, dan bertanya lagi.
"Sejauh itu?"
Uli tidak ingin membahasnya karena itu keluar dari topik yang dirasa terlalu pribadi.
"Mas mengatakan ada kunjungan bisnis----"
"Aku kecewa."
Uli mengerjap dengan sikap tenang.
"Ini pertemuan pertama kita setelah empat tahun berlalu, ternyata ini alasan yang kamu maksud. Di sini lebih bebas mengekspresikan diri, begitu?"
Uli tidak mengecohkan suasana. Sedari tadi dia menjawab semua soalan yang ditujukan Bima untuknya.
Bima benar-benar kecewa. Selama empat tahun ini dia berjuang memantaskan diri untuk menjadi seorang suami untuk wanita lain sementara di sini Uli menikmati gaya hidup yang jauh di luar jangkauannya, kira-kira siapa yang salah?
Bima sadar ketika kakinya berdiri tegak bangun dari sofa, tanpa basa-basi meninggalkan wanita yang pernah menjadi permaisuri di hatinya.
Uli tidak menahan. Sebagai adik dia sudah beramah-tamah, ia berbicara tidak menyinggung perasaan kakaknya dan Uli juga tidak marah ketika Bima pergi begitu saja tanpa bicara sepatah katapun lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hasrat Yang Tertunda
Romance(cerita lengkap di PDF. Harga 70k) "Kita tidak bisa melanjutkan hubungan ini." Empat tahun pacaran akhirnya mereka harus putus dengan alasan yang terpaksa diterima Aisha. Yang lebih sadis adalah pria itu memutuskannya tepat satu hari sebelum hari ul...