Bima menyuruhnya mengartikan tanda merah di rahang sebelah kanan. Warna itu memang terlihat cantik di kulit putihnya tapi sayang itu bukan tanda yang baik.
Mereka tidak melakukan apa-apa, tapi cara Bima memeluk Uli juga gerakan pria itu membuat Uli sangsi. Sepanjang malam tubuhnya dipeluk Uli tidak bisa melepaskan diri dari laki-laki itu, walaupun bisa menjaga bibirnya tetap saja mereka saling bersentuhan walaupun dengan tubuh masih terbungkus pakaian.
Alhasil pagi ini begitu dia terjaga dan berhasil melepaskan diri Uli langsung mandi junub. Dia akan menunggu Bima bangun dan mengajak laki-laki itu bicara.
Bukan dia yang meminta laki-laki itu membuat tanda merah di rahangnya jadi kalau ada yang perlu mengertikan bukan dirinya tapi Bima.
Dari kaca Uli melihat betapa nyenyaknya tidur sang kakak, Uli marah tapi tidak tega membangunkannya. Ada apa dengan laki-laki itu sebenarnya, kenapa dia memperlakukannya seperti ini? Bukankah dia akan menikah dengan Salima? Masih ada rentetan pertanyaan lain sementara menunggu arti tanda merah di rahangnya.
Keluar dari kamar Uli ingin menyiapkan sarapan. Semoga saja tidak ada yang datang, harap gadis itu dalam hati.
Uli memandang iba pada kotak makanan terbuka yang tidak jadi dimakan oleh Bima semalam. Aromanya tidak bagus lagi, kasian.
Setelah selesai berkutat dengan masakan lebih dari setengah jam Uli kembali ke kamar, ia akan membangunkan Bima.
Kali ini tidak memanggil nama tapi menggoyangkan lengan pria itu.
"Cara membangunkan seseorang itu dengan mengucapkan selamat pagi," gumam Bima setelah menangkap lengan Uli.
"Selamat pagi," ucap Uli menuruti perintah kakaknya. "Sudah waktunya bangun, bangun sekarang atau tunggu Mama datang?"
"Jangan mengancamku Uli." Bima membuka matanya.
Wajah itu masih sama cantik seperti semalam, rautnya juga tidak berbeda, masih datar tapi selalu membuatnya tertarik.
"Mas harus pulang, bangun dan sarapan dulu."
"Aku sudah memberitahu Mama kalau sekarang aku lagi di Jogja."
Uli berdeham. "Maaf sudah berbohong."
"Eum."
"Kalau begitu bangun sekarang ya, Mas harus pergi."
"Aku cuma mau kamu, kalau kamu di sini berarti aku di sini juga."
"Bangun dulu kita harus bicara."
"Tentang?"
"Satu hal yang salah."
"Aku tidak merasa melakukan kesalahan." Bima menarik wanita itu andai saja Uli tidak memegang headbord pasti ia jatuh ke tubuh pria itu.
"Karena itu kita harus bicara."
Uli tidak salah tingkah ditatap seperti itu oleh Bima, baginya laki-laki itu masih tetap kakaknya walaupun dulu pernah mengacuhkannya.
Bima heran, tidak mungkin adiknya itu tidak normal. Sikap yang sudah terang benderang, Uli tidak peka atau sengaja?
"Bagaimana perasaanmu saat bangun tadi?"
"Sesak."
"Apa?"
"Semalam dikungkung, jadinya pengap."
Dikungkung itu kata lain dari peluk?
"Bangun dulu." Uli berusaha menarik lengannya dari Bima.
"Mau kemana buru-buru, nanti aku juga bangun. Lebih baik tidur lagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hasrat Yang Tertunda
Romance(cerita lengkap di PDF. Harga 70k) "Kita tidak bisa melanjutkan hubungan ini." Empat tahun pacaran akhirnya mereka harus putus dengan alasan yang terpaksa diterima Aisha. Yang lebih sadis adalah pria itu memutuskannya tepat satu hari sebelum hari ul...