Hasrat Yang Tertunda - 5

3.2K 586 104
                                    

  Sejak pulang dari puncak cukup sulit bertemu dengan Uli dan Bima memutuskan untuk menunggu adiknya di kamar. Mungkin terlihat tidak sopan tapi besok subuh dia harus melakukan penerbangan kembali ke Jerman.

Sejak dia pulang mereka belum pernah berbicara dan Bima enggan menanyakan tentang gadis itu pada orang tuanya.

Sementara Uli baru tiba di rumah dan berpapasan dengan ayahnya di ruang tamu.

"Sering pulang malam Uli, sibuk sekali di kampus?"

Uli tersenyum pada papanya.

"Lumayan Pa."

"Kamu mengikuti kegiatan selain mengajar?"

Uli mengangguk. "Uli dengan mahasiswa dekat, jadi ikut saja untuk nyemangatin mereka."

Naka tidak terlalu senang mendengarnya. Dengan pekerjaannya sebagai dosen Uli  sudah cukup sibuk sekarang ditambah dengan kegiatan mahasiswa.

"Papa takut kalau kamu terlalu capek."

"Uli jaga kesehatan kok Pa, masih rajin minum vitamin C setiap pagi juga olahraga."

Tetap saja Naka khawatir.

"Mau ambil cuti kapan?" 

"Belum kepikiran, beberapa bulan lagi anak-anak mau ujian sekarang masih sibuk dengan seminar."

"Kamu sengaja menyibukkan diri agar tidak sering di rumah atau gimana Uli?"

Apa?

"Papa tidak bersemangat akhir-akhir ini, kadang sebelum sarapan kamu sudah berangkat. Saat pulang kamu langsung tidur. Kita sudah lama tidak mengobrol."

"Maaf."

"Boleh kalau Papa minta kamu resign saja? Kamu bisa bekerja di perusahaan mama atau Papa."

Tentu Uli tidak mau. "Uli senang dengan pekerjaan ini, Pa. Setelah ujian anak-anak nanti Uli ambil cuti, kita jalan-jalan ya."

Naka menatap putrinya. Semua orang tua pasti merasakan bahwa waktunya bersama anak-anak tidaklah lama. Sepertinya baru kemarin Naka menggendong Uli, sekarang anaknya sudah besar dan sibuk dengan teman-teman dan kesibukannya begitu juga dengan Fadia cuma bedanya putri bungsunya sering ada di rumah jadi dia bisa melihatnya terus.

"Maaf kalau akhir-akhir ini Uli sibuk sendiri."

Uli tidak mengatakan perasaannya belakangan ini, cukup Raksa yang mengetahuinya dan Uli akan memberitahu papanya bahwa dia sudah memiliki apartemen ketika waktunya tepat. 

"Papa juga minta maaf karena terlalu mengkhawatirkanmu." karena Uli baru pulang,  putrinya pasti lelah, Naka menyuruhnya beristirahat.

Papa dan mamanya adalah orang-orang baik Uli merasa bersalah tapi ia tetap akan mengikuti kata hatinya tanpa lupa menghormati kedua orang tuanya.

Tiba di kamar Uli terkejut melihat kakaknya. Ia masih di ambang pintu ketika matanya bertemu dengan manik Bima.

"Aku terpaksa menunggumu di sini." Bima melihat dengan tatapan menilai namun tidak disadari Uli.

Uli masih di posisinya hingga mendengar ultimatum sang kakak.

"Tutup pintu karena kita harus bicara."

Jika tadi isi kepalanya penuh dengan sosok sang ayah kini lenyap begitu saja ketika melihat Bima.

Uli menutup pintu. "Mas bisa menungguku di bawah."

"Beberapa malam yang lalu aku juga menunggu tapi tidak pernah bertemu denganmu."

Ouh.... Uli tidak tahu.

Canggung? Bukan Uli tapi Bima yang paling merasakannya walaupun dia yang paling banyak bicara.

"Sudah lama sekali ya?"

Uli mengangguk pelan, maksudnya mereka sudah lama tidak bertemu kan? Apakah Bima menunggunya untuk membicarakan kebersamaan mereka di masa lalu? Sepertinya tidak mungkin, karena bukanlah nama laki-laki itu di sana komunikasi mereka benar-benar putus.

"Kamu tidak se-ramah dulu."

Hah? Tidak ramah bagaimana, pagi pertama melihat Bima ia menyapa laki-laki itu.

"Ini pertama kali aku pulang setelah sekian lama, tapi kamu biasa saja."

"Aku senang," kata Uli dengan pelan. Jujur, dia senang Bima pulang karena mereka bisa berkumpul bersama walaupun Uli harus diam-diam menjaga jarak pada kebersamaan itu.

"Kamu mengatakan senang dengan muka seperti itu?"

Uli tidak tahu ada apa dengan wajahnya, apa terlihat lelah setelah seharian beraktifitas dan tidak pantas menyebut kata itu?

"Aku akan melamar seorang wanita." itu bukan pancingan tapi memang kabar yang ingin diberitahukan Bima pada Uli.

"Syukurlah." Uli terkejut dan senang mendengarnya.

Dan ekspresi wanita itu masih sama seperti tadi, dia mengatakan sesuatu yang tidak sesuai dengan ekspresi. Bima asyik menilai Uli sementara dirinya sama saja, sejak tadi berbicara mimiknya sama sekali tidak ramah.

Awalnya banyak hal yang ingin dibicarakan Bima dengan wanita itu tapi melihat cara Uli merespon dia ragu, apakah sudah tepat mengajak Uli bicara?

"Tapi nanti setelah aku pulang, karena besok subuh aku akan terbang ke Jerman."

Uli mengangguk sekali. 

"Ada apa denganmu?" Bima dibuat gusar oleh wanita itu, tapi kemudian dia sadar bahwa sudah cukup lama mereka tidak bertemu tentu saja banyak perubahan yang sudah terjadi.

"Maaf." Uli tidak mengerti. 

Bima sadar bawa perubahan bisa terjadi pada siapapun apalagi mereka yang sudah lama tidak bertemu tapi pria itu tidak menyadari bahwa dia sendiri yang membuat Uli berubah hingga gadis itu seringkali berkaca tentang statusnya di keluarga tersebut.

Di mata Bima Uli terlalu tenang dan tidak punya beban pikiran, sementara Uli melihat Bima tidak sama seperti dulu lagi dan gadis itu menganggapnya wajar. 

"Terimakasih sudah memberitahuku, aku akan mengambil cuti saat mendekati hari H nanti."

Jadi gadis itu berpikir Bima menunggunya untuk menyampaikan informasi tersebut? Sebenarnya informasi tersebut akan dikatakan setelah mereka bicara tapi karena Uli terlalu datar Bima langsung mengatakan kabar tersebut.

Uli sudah berterimakasih harusnya Bima keluar, bukan tetap duduk di sisi ranjang sementara telapak kaki Uli kesemutan karena terlalu lama berdiri.

"Ada yang ingin Mas katakan lagi?"

Ruang seperti apa yang selama ini ditempati Uli lalu orang-orang seperti apa yang ditemui gadis itu setiap hari, sebagai wanita dengan sikap seperti ini dia terlihat tidak menarik. Dalam hati Bima menggurutu, harusnya dengan kepribadian Uli di masa kecilnya sekarang dia menjadi sosok wanita smart bukan datar bak papan seperti ini.

"Ekspresimu juga seperti ini dengan pacarmu?"

"Apa?" kenapa tiba-tiba menyinggung pacar? 

Sepertinya Bima akan gila menghadapi gadis ini. Baiklah, tidak akan diperpanjang lagi karena percuma. Sebelum keluar dari kamar gadis itu Bima mengatakan satu hal.

"Aku pernah bilang kan, aku akan pulang ketika rinduku tak tertahan lagi."

Benar saja, tidak perlu menunggu waktu lama sekarang Bima sudah gila karena adiknya, bukan hanya mengatakan kalimat sarat makna tersebut Bima juga mencium kening gadis itu lalu keluar meninggalkan Uli.


Hasrat Yang TertundaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang