Aku berlari dengan kencang ke arah pintu. Membukanya dengan kasar dan mendapati Nero sedang berdiri di luar. Aku membatu seketika.
"Sepertinya kau tidak sabaran, ya?"
Jubah dan rambutnya terlihat berdebu, dan raut wajahnya menunjukkan kelelahan. Dia juga terlihat membawa sejumlah buah-buahan.
"Nero! Selena sedang dalam bahaya. Ayo kita tolong dia!" ajakku yang masih panik saat itu.
Dia tampak melirik ke atas, seolah sedang berpikir sebelum menjawabku. Untuk beberapa saat, dia berpikir sebelum kembali memandangku, menepuk pundakku, dan meresponku.
"Dia sudah tiada," jawabnya.
"Ka-kau tidak serius, kan?"
"Maaf. Aku sudah berusaha maksimal, tapi aku gagal."
Aku langsung menghambur ke arahnya, memeluknya erat dan menangis sedih. Ia membalas pelukanku dengan hangat untuk beberapa saat, sebelum melepaskanku dan mengajakku ke kamarku.
Belasan pasang mata memandangi kami. Namun, mereka kembali ke kegiatan masing-masing kala Nero balik memelototi mereka. Rasanya agak memalukan mendapati orang "asing" melihatku menangis. Namun, kenapa aku bisa dengan lega menangis dalam dekapan Nero barusan? Bukankah aku selama ini menganggapnya "asing"?
Kami berjalan beriringan melewati lorong-lorong untuk sampai di kamarku. Setelah sampai, Nero menutup pintu dan segera berbaring di lantai - meregangkan badan dan meletakkan buah-buahan yang dibawanya menggunakan kantong besar. Dia juga mengajakku berbaring di lantai. Apakah ini kebiasaanya? Tanpa banyak berpikir, aku ikut berbaring di sampingnya.
"Sudah tidak ada siapa-siapa lagi. Sekarang kau boleh menangis sepuasmu," ucapnya santai.
Ia melihatku dengan mata yang masih berkaca-kaca karena sedih. Karena aku tidak sanggup menahannya, akhirnya aku menangis lagi atas kepergian Selena.
●●●
"Sepertinya kau sudah berhenti menangis. Sudah merasa lebih baik?" tanyanya menyelidik.
Dia menengok ke arahku, menanti jawaban. Aku mengukir sedikit senyum.
"Sudah lebih baik," jawabku singkat, "Oh.. iya, Nero, apa kau marah padaku karena aku mencoba keluar?"
"Sangat marah," jawabnya.
Dia tidak menunjukkan ekpresi apapun - mengalihkan pandangannya dariku ke langit-langit. Aku merasa bersalah karena itu.
"Ma.. maaf soal itu," jawabku terbata.
"Apa kau tidak mengenal sifatku?!" tanyanya penuh penekanan.
Sial! Aku lupa jika Nero tidak menerima kata "maaf". Jika seseorang melakukan kesalahan padanya, maka orang itu harus menebusnya atau memperbaiki kesalahan.
Aku segera duduk dan menghadap kepadanya. Dengan was-was, aku menarik napas dalam-dalam dan bertanya padanya.
"Lalu, apa yang harus kulakukan supaya kau memaafkanku?"
"Bawakan aku tablet terkutuk dari piramida terlarang!" perintahnya.
"Baik, akan kulakukan!" sahutku.
Aku segera bangkit dan hendak pergi keluar ruangan. Namun, secara tiba-tiba Nero memegang tanganku dan menghentikanku.
"Siapa yang menyuruhmu untuk pergi sekarang? Dan siapa yang menyuruhmu pergi sendirian?" tanyanya menginterupsi, "Kita berangkat besok pagi," imbuhnya.
Aku tersentak - segera berbalik untuk kembali menemaninya berbaring. Suasana menjadi hening untuk beberapa saat, hingga akhirnya aku memutuskan untuk memulai pembicaraan. Kebetulan, ada banyak hal yang ingin kutanyakan padanya juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nightwalker (tamat)
FantasyCerita pertama, teaser. Banyak kesalahan eja, typo, alur kurang pas, dan banyak lagi. Sengaja tidak direvisi soalnya fokus membuat cerita lain. Status: tamat GENRE: fantasy (dark fantasy), action, adventure 18+ Dahulu kala, dunia adalah tempat yang...