46. Sang Legenda: Pejuang Tangguh

40 5 41
                                    

Aku telah kehilangan semua, kecuali setitik cahaya dalam hatiku yang masih tersisa. Cahaya redup yang harus melawan kegelapan pekat tanpa daya. Aku kepayahan melindunginya, sampai suatu ketika aku mendapatkan kekuatan yang cukup besar untuk menjaganya. Kekuatan dari sang penjaga cahaya.

.
.
.

Luka di punggungku sudah kuobati dengan seadanya. Persediaan air minumku kuisi ulang saat melihat adanya sebuah kolam air begitu memasuki gua lebih dalam. Tidak lupa, aku menyimpan beberapa ikan bakar yang ditinggalkan kakak untukku.

Kutata batinku supaya emosi negatif yang kemarin menghancurkanku tidak muncul dan merusak petualanganku. Kumantabkan langkahku untuk maju ke depan. Sudah tidak bisa mundur lagi.

Saat kudapati cahaya merah dari langit sudah lenyap, kuputuskan untuk melanjutkan petualangan. Tidak lupa memeriksa peta dan melihat kompas untuk menentukan arah yang akan kutuju. Setelah dirasa tidak ada yang tertinggal, aku bergegas keluar dan melanjutkan petualangan.

Aku berjalan kembali mengitari gugusan Pegunungan Avein. Melewati hutan seperti sebelumnya, namun kali ini tidak ada gangguan. Sendirian, juga kesepian. Itu cukup menyakitkan mengingat aku tidak lagi berjuang demi orang-orang tersayang, tapi aku sudah bisa sedikit merelakan.

Tidak apa-apa, setidaknya aku masih punya sedikit harapan untuk mendapatkan cahaya itu. Jika aku sudah berhasil, dunia tidak lagi gelap, dan orang-orang bisa hidup damai seperti dahulu lagi. Aku tidak akan menyerah meski telah kehilangan semuanya.

Aku berjalan menyusuri hutan. Kunikmati embusan angin dingin yang datang dari puncak menerpa kulit. Menikmati suaranya yang bagai musik saat bergesekan dengan ranting-ranting di sini. Itu memberikan ketenangan batin bagiku yang merasa gusar.

Aku sempat khawatir, bagaimana kalau aku gagal? Bagaimana kalau aku mati? Dan seterusnya. Namun, kekhawatiran itu sirna. Bagiku yang sudah tidak punya apa-apa, kegagalan dan kematian saat mengejar mimpi jauh lebih baik daripada mati karena kesepian. Jadi, apa gunanya aku berbalik? Sekalian saja mati.

Perjalanan mengitari pegunungan terasa cukup lama, apalagi jika selama itu muncul pikiran-pikiran tidak berguna. Aku terlalu banyak menghayal yang bukan-bukan. Apa mungkin khayalan ini yang membuatku kehilangan semuanya.

"Hahahaha... Bodohnya aku! Mana mungkin aku bisa mendapatkan cahaya itu? Itu terlalu sulit dan mustahil!" gumamku.

Aku sempat berpikir apa yang kakak katakan dahulu benar. Aku juga sempat berpikir apa yang orang-orang pikirkan masuk akal. Mana mungkin seorang manusia biasa sepertiku mampu menjalankan tugas seorang utusan? Apa bisa aku mengakhiri semua ini? Mustahil!

Pikiran-pikiran itu perlahan membuat rasa penyesalan muncul di hatiku. Andai saja aku tidak bodoh dan mau mengerti untuk menyerah, maka aku masih memiliki semuanya. Impian bodohku telah menghancurkanku.

Pernah suatu ketika muncul pikiran untuk mengakhiri hidup ini. Akan tetapi, aku tidak jadi melakukannya begitu mengingat orang tua dan kakakku saat (kami) masih di Bermuda. Niatku juga menghilang begitu aku sadar pikiran negatif telah mengambil alih jiwaku.

"Bodoh! Kau bodoh, Nero! Kau hanya sedang depresi dan sedih! Lupakan saja mereka dan fokuslah pada tujuanmu!" rancauku saat aku sadar mulai mencekik leherku sendiri.

Aku segera menggeleng kencang dan berhenti mencekik diri sendiri setelahnya.

"Hosh... Hosh.. Tenanglah Nero, jangan takut. Sabar ...." Aku berusaha melawan emosi negatif dalam diriku menggunakan akal sehatku.

Nightwalker (tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang