50. Jeda Waktu

25 5 24
                                    

(Nero Pov)

Dari sini, dapat kulihat dewa matahari mengepakkan sayap apinya, terbang tinggi di atas puncak piramida. Angin panas berembus kencang menerpaku. Kusipitkan mata karena hawa panasnya membuat mataku sedikit pedih. Dapat kulihat ia mengangkat tongkat besarnya tinggi-tinggi, mengarahkan ujungnya ke langit.

Seketika, langit pun berlubang dengan ukuran sangat besar. Membran kegelapan yang meliputi langit di atasnya menyingkir. Dari lubang itu, sinar matahari merangsek masuk, menerangi tempat ini.

Setelah sekian lama, dunia pun mendapat cahaya matahari, meski hanya sebentar dan tidak menyeluruh. Untuk pertama kalinya, aku merasakan hangatnya cahaya matahari secara langsung.

Kudongakkan kepalaku menatap langsung ke arah matahari. Sayangnya, karena sinarnya yang terlalu kuat, aku tidak sanggup melihatnya. Segera kualihkan pandanganku, lalu kukucek mataku yang mengalami kebutaan sesaat sampai penglihatanku kembali normal.

Aku kembali menyaksikan apa yang akan dewa lakukan di atas sana. Dapat kulihat sebuah sinar kuat dari matahari meluncur amat cepat menghantam ujung tongkatnya yang diangkat tinggi-tinggi. Bersamaan dengan itu, aku merasakan sejumlah energi kegelapan di sekitar sini sirna. Aku menoleh ke belakang sebentar untuk memastikan. Benar saja, pasir yang tadinya berwarna hitam legam perlahan berubah menjadi kekuningan layaknya pasir gurun pada umumnya. Dengan cepat, perubahan itu meluas ke segala penjuru.

Setelah beberapa saat, langit yang sebelumnya berlubang kembali tertutup oleh kegelapan. Cahaya matahari kembali terhalang, dunia kembali gelap.

Sementara itu, dewa matahari yang sebelumnya terbang terbang di atas piramida, kini tubuhnya berubah menjadi bola api besar. Bola api itu meluncur cepat ke bawah menghantam puncak piramida, menimbulkan gelombang panas singkat menerjangku. Ia meresap masuk ke dalam piramida, menyebabkan bongkahan batu bata raksasa penyusunnya memanas. Saking panasnya, aku pun melompat turun dari sisi piramida itu ke pasir yang kini tidak lagi mampu mengisap. Napasku tersengal dan suhu tubuhku naik akibat gelombang panas barusan.

Setelahnya, aku memindai sekeliling dan tidak mendapati adanya kelabang raksasa dan mumi di sepanjang mata memandang. Hanya hamparan pasir rata yang terlihat di segala penjuru. Tidak ada apapun, selain sebuah siluet seorang gadis yang sedang terbang mengambang mendekat ke arahku.

Kusipitkan mataku untuk melihatnya lebih jelas. Rambut ungu seleher, belasan belati yang terbang mengitarinya, juga sejumlah cahaya keunguan yang terpancar dari kulitnya. Tidak salah lagi, itu Medenia. Esper terakhir di dunia ini.

Dalam sudut pandangku, Medenia ini adalah gadis yang sangat kuat. Selain kuat, dia juga cukup cantik. Namun, di balik itu semua, dia suka melihat musuh-musuhnya menderita dengan menyiksa mereka. Sifatnya yang terlampau sadis membuatku kurang menyukainya. Sifatnya itu mengingatkanku pada apa yang dilakukan para iblis terhadap tahanan manusia. Tidak terbayang oleh nalar tentang bagaimana cara iblis menyiksa manusia yang sudah tidak berdaya hanya untuk bersenang-senang.

Jarak antara kami kian terpangkas kala Medenia terbang mendekat. Ia menundukkan kepala saat aku menatap langsung kedua matanya. Setelah cukup dekat, ia pun berhenti sekitar satu meter di depanku. Belati-belatinya yang sebelumnya terbang mengitarinya satu-persatu menggantung di sekeliling jubahnya. Dengan masih menunduk, ia mulai berbicara padaku.

"Nero, kau ada di sini? Ap.. Apa yang kau lakukan di sini?" ia sedikit gugup saat berbicara padaku.

"Aku mencari tablet. Kau?"

"Aku juga mencari hal yang sama," jelasnya singkat.

Medenia terlihat gugup dan agak gemetar berdiri di hadapanku. Itu membuatnya terdiam. Namun, dari raut wajahnya, dia tampak sedang berpikir dan mau menyampaikan sesuatu.

Nightwalker (tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang