02 - Pendaftaran SMK

371 75 18
                                    

Benar firasat Tisya, seorang Erbaza Damagara akhirnya termakan bujukan Haryan. Ini Baza loh! Sekali lagi, ini Baza yang kompeten di bidang akademik dari mereka bertiga. Bisa-bisanya terbujuk rayuan orang tidak jelas seperti Haryan untuk masuk ke sekolah baru yang akreditasinya masih rendah, sudah begitu, isi sekolahnya pasti orang yang asing buat mereka.

Sabar, Tisya harus sabar. Selagi bisa makan enak di rumah Haryan, tidak apa sudah dia harus bertemu mantan dalam keadaan pendaftaran ini.

Saat pertama kali menginjakkan kaki di SMK Wardhana Adibasra, Tisya menarik napas panjang bagai menghirup segala kesempatan di sekolah itu. Kesempatan untuk move on dari Baza maksudnya.

Dengan senyuman semringah, dia menerima arahan anggota OSIS untuk meraih nomor antrian. Tahu nomor berapa? Ya, satu, sebab Tisya sedang amat-amat bersemangat.

Dia malas kalau menunggu dua laki-laki kaya itu, apalagi si Haryan, jangan ditanya, paling ribet. Bangun harus disiapkan sarapan super bergizi lah, harus disiapkan baju yang bener-bener rapi dan berkualitas lah, belum lagi pengecekan tas sama pelayan-pelayan rumah untuk memastikan tidak ada barang yang Haryan lupakan. Pokoknya ribet, pelayan rumah yang terlalu banyak untuk mengurusnya.

Tisya muak kalau berangkat sama Haryan pagi-pagi, kayak seorang putri yang dipersiapkan untuk pergi ke pesta dansa, Cinderella bahkan kalah. Tisya langsung mencap Haryan sebagai anak super manja.

Sambil menunggu, Tisya berkenalan dengan beberapa cewek, anak baru juga, dengan rambut badai nan bergelombang. Kelihatannya, sih, mereka bakal pilih Jurusan Akuntansi.

"Hai!" Tisya yang lupa punya malu dan gengsi biasanya langsung menghampiri orang yang dia mau kenal.

Para cewek berseragam putih biru itu tersenyum ke arah Tisya. "Hai!"

"Kalian dari sekolah apa?"

Mereka saling menoleh satu sama lain. "SMP Wardhana Adibasra," jawabnya.

"Lo bukan anak SMP Adibasra juga ya?"

Tisya menggeleng. "SMP Cipta Karsa."

"Wih, tajir!"

Sebentar-sebentar, bukankah rambut gelombang berkualitas mereka itu juga menunjukkan bahwa mereka orang kaya?

"Enggak, gue miskin," kata Tisya bablas gitu aja. "Dulu sekolah di sana karena nyokap punya relasi temen CEO, kalau enggak bisa bayar ya ngutang ke sana."

Kalau ada Haryan di sini, pasti Tisya sudah diajak debat. Pasalnya, perkataan Tisya itu sudah merujuk pada identitas asli seorang Haryandio Baratama yang merupakan anak tunggal kaya raya.

Andai saja Haryan tidak menyebalkan dan tampan melebihi Baza, sudah Tisya jadikan pacar utama sampai seumur hidup. Hei, siapa yang tidak mau memanfaatkan kesempatan punya teman anak tunggal kaya raya bukan? Tisya gitu.

Para cewek dengan rambut badai itu tertawa menanggapinya. Mereka pun berkenalan dan bercerita banyak hal. Tisya menikmati waktu menunggu OSIS memanggil nomor urut antriannya.

"Kalian masuk jurusan apa?"

Salah satu dari mereka ada yang memperlihatkan map pendaftaran berwarna kuning, berbeda dengan map Tisya yang berwarna biru.

"Kami ambil Multimedia."

"Lo Jurusan Akuntansi?"

Tisya manggut-manggut. "Yah, beda jurusan dong."

Tahu-tahu dari gerbang, sudah muncul Haryan dan Baza dengan diantar masing-masing supir rumah mereka menaiki motor. Mungkin hari ini sengaja tidak pakai mobil, agar tidak terlalu mencolok.

Tisya dan TisyuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang