04 - Sahabat Tajir dan Remahan

307 76 22
                                    

"Nggak bisa gitu dong Tisya, kita jadi ditinggal sama Baja, kan!" protes Haryan selama mereka dalam perjalanan menuju gerbang utama.

"Kan, gue cuman kenalan sama Kakang, elah, Yan!"

"Ya, tapi, nggak di depan Baja juga!"

"Lah, mau gimana? Si Kakang main ngajak kenalan aja. Dia juga nggak tau, kan, kalau gue sama Baza itu mantanan," bela Tisya pada dirinya sendiri.

Haryan berdecak sebal. "Bisa-bisanya kalian putus, malah gue yang ribet. Makanya, jangan jadian sama sahabat sendiri."

"Cinta itu nggak dipaksakan, udahlah Yan, nggak usah bahas itu."

Cowok berambut ikal itu menghela napas kasar. "Kalau emang cinta, teros kenapa lo selingkuhin Baja, Tis? Parah, sih, omong kosong banget. Lo selingkuhin dia pas kita masih SMP, loh, masih SMP. Ngeri."

"Yah... siapa suruh Baja diamin gue," elak Tisya santai. "Dia, sih, diamin gue sebulan. Ya gue bales sama selingkuh, daripada putusin duluan."

Haryan mengaga lebar. "Nggak paham, gue nggak paham sama orang kayak kalian. Sahabat sendiri diembat pas masih SMP lagi."

Tisya mulai sebal dengan ceramah siang Haryan. Sudah hatinya panas bertemu mantan, panas karena cuaca, ini lagi si Haryan malah protes. "Emang lo mau gue embat juga Yan?"

Yang ditanya kontan melotot. "Dih, ogahhh, ogahhh. Gue nggak mau habis-habisan beliin lo banyak barang mahal kayak Baja."

"Eh iya, ya, kalau dipikir-pikir pas gue pacaran sama Baja gue malah makmur. Sekarang malah begini, miskin. Yan, ayo Yan!"

"Ogah!" sergah Haryan, sambil berhenti melangkah. "Ya Allah, semoga hamba dilindungi dari cewek-cewek matre, Aamiin."

"Lo ngatain gue matre?!"

"Loh, kalau emang faktanya gimana? Baja habis jadian sama lo malah miskin, Tis." Haryan kontan berlari menuju gerbang utama sebelum Tisya menoyor kepalanya.

Tisya geram sambil melipat tangan di depan dada. "Capek banget, deh, punya temen cowok yang mulutnya kayak cewek." Dia menoleh ke arah sekumpulan siswi Jurusan Akuntansi. "Yah, tapi yang didik mulut Haryan jadi selemes itu, kan, gue juga."

"Hai Tisya!" sapa Kiran saat melihat Tisya diam di tengah jalan menuju gerbang utama. "Kenapa diam?"

Tisya menggaruk tengkuk yang tidak gatal. "Itu tadi temen gue, nggak jelas, ngajak debat baru kabur."

Kiran melirik ke arah Haryan yang berlari menuju sebuah mobil yang terparkir di ujung jalan. "Wow, bau duitnya kecium sampai sini. Mobilnya silau banget. Itu temen lo Tis?"

"Bukan, sahabat," jawab Tisya dengan bangga.

"Wih, sahabat tajir."

"Iya, dong, iya, dong." Tisya menaikturunkan alis lalu tersenyum jail. "Eh, Kiran, gue duluan kalau gitu, sebelum ditinggal mobilnya dia."

Namun, sebelum melangkah jauh, Tisya kembali. "Eh, eh, Kiran! Pokoknya kalau ada yang tanya seputar tentang temen kribo gue, jangan bilang kalau dia anak orang kaya ya. Please, please, diam aja. Ini rahasia lo sama gue, oke?"

"Rahasia, tapi dia dijemput pake mobil. Bukannya udah ketahuan?"

Tisya mendadak bingung. "Emmm, bener juga, sih, ya. Pokoknya jangan sampe kesebar kalau dia anak orkay dulu, deh. Nanti gue bicarain lagi. Makasihhh, gue pergi dulu." Setelah itu, dia bergegas masuk ke dalam mobil Haryan secepat kilat.

Di kursi samping kemudi, terlihat Haryan yang bersedekap dengan wajah tertekuk sembilan. "Pak Sapri, besok bawa motor aja kalau mau jemput. Cewek temen Tisya tadi kayaknya mulai curiga."

"Bukan curiga lagi, dia udah sadar," celetuk Tisya dari kursi belakang.

"Ya sudah, besok kita jalan kaki aja ke sekolah."

Sontak Pak Sapri menyergah, "Lah, jangan, toh, Mas Harry. Nggak bisa begitu. Besok saya antar kalian pakai motor saja."

"Nggak mau cabe-cabean sama Haryan Pak, besok mending saya jalan kaki aja," balas Tisya dari belakang.

"Oh gue tau Tis, besok kita nebeng mobilnya Baja aja."

"KOK GITU?"

"Dia, kan, nggak ada istilah sembunyiin identitas. Dia kalau mau kelihatan kaya ya kaya aja," jawab Haryan. "Aman Pak Sapri, besok kami nebeng Baja aja pokoknya."

"Siap Mas Harry."

Tisya menghela napas lelah. Haryan itu idenya ada-ada saja, pasti tidak jauh dari Baza. Sudah seperti magnet, tak mau lepas, apa-apa Baza dan Baza, kayak bapaknya sendiri.

Inilah nasib Tisya menjadi yang paling miskin di antara dua sahabat tajir, hanya bisa mengikut saja apa perkataan mereka.

Gue harus move on, kayaknya, batin Tisya sambil mengeluarkan ponsel dari saku, melihat deretan permintaan pertemanan di Facebook.

Kaisar Nando Gibrata mengirim permintaan pertemanan pada anda.

Tisya yang penasaran kontan membuka profil Kaisar yang meminta pertemanan itu. Sebuah nama panggilan tidak asing muncul di sebelah nama panjang.

"Kakang ternyata," gumam Tisya, "gercep banget dia."

Tisya melirik ke Haryan dan Pak Sapri yang masih heboh membincangkan pengalaman pertama belajar di SMK. "Hm, bakal asik, nih."

Pandangan Tisya kembali ke ponsel. Kalau dipikir-pikir, dirinya hanya remahan rengginang di antara dua sahabatnya yang super tajir. Satunya punya percetakan, satunya punya perusahaan manufaktur. Tisya? Hanyalah anak dari karyawan swasta yang jarang diperhatikan. Prestasi juga sedikit, hanya juara tiga lomba dance, itu pun tingkat kota saja.

Yang bisa Tisya banggakan hanyalah kecantikannya. Dia bisa menggunakan kesempatan itu untuk mendapatkan pacar atau teman yang bisa menyokong kebutuhan dan keinginan di hidupnya.

Istilah lain muncul di kepala Tisya. Dia bukanlah remahan rengginang, melainkan....

"Remahan kue lebaran," gumam cewek itu, "sisa-sisa tapi tetep manis dan cantik. Haha."

Tisya menerima permintaan pertemanan dari Kakang. "Ayo move on, Tisya! Yang kaya sama ganteng nggak cuma Baja," katanya lirih pada diri sendiri lalu cekikikan.

Haryan menoleh ke belakang, mendeteksi tawa yang tidak asing. "Dapat mangsa baru lagi dia Pak, biasa. Udah Pak, nggak papa Tisya itu, bukan kesurupan, kok."

"Mangsa baru apa, Mas Harry?"

"Itu nah, Pak, mainan cewek."

"Barbie, Mas?"

"Versi laki Pak, Kent, namanya."

"Woalah, ndak paham saya."

Haryan menoleh lagi ke arah Tisya dengan mata melotot. Bibirnya bergerak mengucapkan kata tanpa suara. "Siapa lagi kali ini?"

Tisya kontan menunjukkan foto Kakang, temen baru Haryan. "Ganteng, kan? Kaya nggak dia?" tanyanya, juga ikut tanpa suara.

Haryan melotot lagi. "Dah, ah, terserah Tis!" Dia berbalik dan menghela napas kasar, punya sahabat seperti Tisya membuat dia harus memilah cewek dengan baik dan benar.

Semoga hamba terhindar dari cewek-cewek matre Ya Allah, batin Haryan frustrasi.

Tisya cekikikan lagi di belakang, Pak Sapri yang menyetir sampai terheran-heran.

~ Tisya dan Tisyu ~

Tisya dan TisyuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang