Tisya sedikit kesal dengan sikap Patru yang langsung menariknya untuk beranjak dari meja makan. Pasalnya, dia belum selesai makan steak itu, mubazir sekali rasanya.
Tanpa pertanda, tahu-tahu Patru membawa kunci mobil dan mengendarainya sendiri dengan Tisya yang duduk di kursi samping kemudi.
Tak heran, Patru pernah mengatakan bahwa dia aslinya dua tahun lebih tua daripada Tisya.
"Nggak usah hiraukan omongan orang tua aku," kata cowok itu, membuka percakapan mereka berdua di dalam mobil. "Yang mereka bahas itu bukan orang yang terlalu penting."
Tisya merasakan suatu pertanda di dalam hatinya. "Memangnya kenapa? Mantan kamu emangnya gimana?"
"Kita nggak usah bahas dia."
Tisya memutar bola mata. "Nggak usah takut kali. Kamu pernah bawa orang lain berarti ya ke orang tua, selain aku."
"Enggak." Tisya tahu, cowok di sampingnya ini tengah berbohong.
Menghela napas kasar, Tisya membuang pandangan ke jendela. Hampir saja dia lupa beberapa trik mengetahui mana cowok yang tulus dan mana cowok yang hanya menjadikannya pasangan dalam bersenang-senang.
Tisya hampir selesai membaca Patru dan dapat menyimpulkan bahwa cowok ini berada dalam kategori tengah antara serius dan mainan saja. Jika Tisya dapat menemukan informasi bahwa Patru dan mantannya baru saja putus, ada kemungkinan dirinya yang sekarang adalah pelampiasan saja. Namun, jika Tisya menemukan informasi berbeda bahwa Patru sudah lama putus, ada kemungkinan cowok itu memang serius dengannya.
Cuman, orang tuanya, kan, nyebut mantan Patru pake sebutan 'yang kemarin', berarti ini jarak waktu pertemuan mantan dia ke ortu nggak beda jauh sama jarak waktu pertemuan gue yang ini, batin Tisya.
"Mantan aku itu bukan apa-apa Tisya," kata Patru lagi. "Dia itu cewek yang nggak bisa dipercaya."
Lah, apa kabar gue? Tisya nyaris tertawa, andai saja Patru tahu.
Tisya mendapat satu hal lagi yang bisa dia baca dari Patru. "Cewek yang nggak bisa dipercaya gimana?"
"Banyak cadangannya."
Tisya nyaris tertawa lagi, tetapi dia berusaha untuk menahannya. Dia memilih diam daripada salah dalam merespons.
Kalau emang dasarnya lo mau serius sama gue Pat, gue bakal coba dikit-dikit berubah jadi cewek yang bisa dipercaya alias nggak ada cadangannya, pikir Tisya, yah walau tembok kita tinggi, seenggaknya lo nyaris berhasil memunculkan niat itu di dalam diri gue.
"Dia itu... terlalu obsesi sama aku," tambah Patru lagi, "kalau kamu ketemu dia, abaikan aja. Aku udah selesai sama dia."
"Kapan selesainya, baru aja?"
"Eng-enggak, udah lama."
Hm, kebaca lagi. Tisya meneguk salivanya dan mengoceh dalam hati, Yah... kayaknya gue nggak jadi berubah, deh, kalau begitu. Patru bohong kali ini. Berarti gue cuman pelampiasan aja, fix. Shinka bener, harusnya sebelum jadian gue udah menjauh.
"Tisya, kamu sayang nggak, sih, sama aku?" tanya Patru tiba-tiba.
"Enggak." Tisya menjawab spontan juga.
Rahang Patru mengeras. "Ah, ternyata bener ya, yang aku pikirin. Kenapa bisa nggak sayang?"
"Tembok kita tinggi. Kamu mau pindah agama? Enggak juga, kan, jadi sebisa mungkin aku nahan diri untuk nggak taruh harapan lebih, apalagi sampai sayang. Sorry kalau aku jawab jujur, tapi emang itu harus diperjelas aja sekarang, sebelum terlalu jauh. Makasih Pat, kamu baik banget," jelas Tisya langsung ke inti, malas berpura-pura tidak enakan lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tisya dan Tisyu
Novela JuvenilSemua orang tahu bahwa Tisya suka memainkan perasaan laki-laki dengan memanfaatkan kecantikannya. Tisya selalu membuat mereka merasa diangkat tinggi-tinggi lalu dijatuhkan hingga tak berarti. Yang ganteng dia patahkan, yang baik dia buang, yang kaya...