42 - Rumah Hancur dan Rumah Bersyukur

166 38 13
                                    

Sepulang dari sekolah, Tisya mendapati kedua orang tuanya bertengkar hebat. Entah apa yang diperdebatkan, hanya masalah sepele, tetapi volume suara mereka bisa terdengar sampai halaman rumah. Bahkan, ayah Tisya sampai memukul tembok untuk melampiaskan emosinya, lalu keluar rumah dengan membanting pintu.

Tisya yang menyadari itu segera sembunyi di halaman samping rumah, takut ikut campur dan takut menjadi samsak juga. Pernah sekali, dulu, dia ikut campur di antara mereka, menengahi perdebatan, tetapi di hari itu juga dia mendapatkan lebam di pipi. Cukup membuatnya takut terlibat lagi.

Dengan keadaan lapar, tak mungkin Tisya masuk ke dalam rumah yang auranya sudah gelap itu. Dia pun pergi ke rumah Haryan dengan alasan menumpang makan. Namun, di sana ternyata sudah ada dua motor yang terparkir di halaman. Tidak mau ambil pusing, Tisya jalan saja masuk ke dalam seperti tuan rumah.

Begitu mendapati Haryan dan teman-teman jurusannya sedang duduk di ruang tengah, Tisya hanya berkata, "Yan, numpang makan!"

Pemilik rumah hanya mengangguk santai, sementara teman-temannya, termasuk Kakakng si cowok yang pernah mendekati Tisya dulu langsung ribut bukan main.

Tisya mengabaikan mereka, masuk ke dalam dapur dan bertemu dengan para pembantu yang sudah dia kenal. Dia makan dengan tenang. Samar-samar suara cowok-cowok itu terdengar dari dalam ruang makan. Tisya fokus mendengarkan mereka.

"Lo nggak pernah kejebak friendzone gitu sama Tisya?" Itu suara Kakang, nyaring sekali.

"Enggak. Biasa aja. Soalnya emang udah kerasa kayak saudara. Dia udah kayak kakak gue, selisih sebulan." Samar-samar jawaban Haryan sampai ke dapur.

Tisya manggut-manggut. "Bagus-bagus."

Sahutan serempak terdengar lagi. "Masa?"

"Iyaaa."

"Masa?" Teman-teman Haryan memastikan, suara mereka memang seperti penghuni rimba. Jarak antara ruang tengah dan dapur seperti lapangan basket sekolah, tetapi suara mereka mampu mencapainya. Anak-anak Jurusan Otomotif memang terkenal dengan keributan dan suara nyaring.

"Haryan kayaknya ada yang disembunyiin, nih." Satu teman Haryan semakin menggoda, sengaja.

Tisya tiba-tiba kepikiran. Sebenarnya kalau dia mau hidup tenang dan nyaman, tinggal taklukkan saja hati Haryan. Dia sudah sering ke rumahnya sejak SMP, dia juga sudah berteman dengan cowok itu sangat lama, lalu dia juga sudah kenal baik dengan orang tua Haryan. Cowok itu hampir memiliki segalanya. Mulai dari aset, keluarga harmonis, dan masa depan yang terjamin cerah. Berbanding terbalik dengan kehidupan Tisya yang serba abu-abu.

Bersama Haryan akan membuat Tisya memiliki keluarga yang memperhatikannya baik-baik. Dia tidak akan diabaikan. Dia tidak akan bergantung lagi pada tali-tali yang hampir putus di keluarganya. Dia juga akan aman dari para cowok-cowok gila, seperti Patru. Berteman dengan Haryan saja rasanya sangat aman dari Patru, apa kabar menjadi pasangan? Mungkin jauh lebih aman.

Seketika Tisya teringat dengan omongan Rilda tempo hari. "Selingkuh itu sudah kayak penyakit soalnya, sekali pernah coba, ke depannya mungkin bakal dilakuin lagi."

Lupakan soal menjadi pasangan Haryan. Bagaimana kalau seandainya dia nanti malah mengecewakan Haryan sama seperti dia mengecewakan Baza dulu? Bagaimana jika dia bablas selingkuh tidak tahu adab ketika Haryan sudah menjadi pasangannya? Bukankah itu lebih jahat dan akan menghancurkan persahabatan mereka hingga ke tulang-tulang?

Tisya masih berpikir bahwa dia memiliki penyakit itu. Ya, penyakit yang Rilda bilang. Takut saja, itu akan kambuh ketika dia jatuh cinta atau memiliki hubungan dengan orang baru. Maka Tisya putuskan untuk JANGAN SAMPAI dirinya jatuh cinta ke salah satu dari dua sahabatnya. Dia mencap dirinya bahaya.

Tisya dan TisyuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang