Melihat kepergian Rilda, Tisya terdiam sejenak. Ada perasaan iri ketika mendapat satu fakta bahwa ada kemungkinan Rilda menyukai Haryan, begitu juga sebaliknya. Rilda beruntung sekali, itulah yang muncul dalam pikiran Tisya.
Namun, di ujung sana, seorang cowok berjalan dengan tergesa-gesa, membuat Tisya lantas memalingkan wajah. Itu Patru yang berjalan dengan langkah panjang dan pandangan lurus ke depan.
Tisya malas sekali bila harus bertemu dengan cowok itu, takut kegalauannya kembali. Sembari memalingkan wajah ke lapangan, cewek itu mengeluarkan ponsel, bertingkah seperti orang sibuk sedunia.
Tiba-tiba Patru berdiri di sampingnya, menarik pergelangan tangannya kuat-kuat.
"Tisya, aku mau ngomong sesuatu sama kamu," katanya dengan nada memohon.
Tisya yang masih kaget tentu menarik tangannya ke arah sebaliknya. "Eh, buat apa?"
"Ada sesuatu, ikut aja dulu." Tak tahu malu, Patru semakin menarik pergelengan tangan Tisya.
"Dih, ogah." Tisya tetap pada pendiriannya sambil menarik diri. "Lepasin!"
"Nggak mau, sebelum kamu ikut aku untuk ngomong berdua."
"Ogah!" Tisya merasakan pergelangan tangannya semakin kuat digenggam oleh Patru. Dia tidak bisa melepaskan diri, tenaga cowok di hadapannya ini terlalu kuat. "Lepasin atau gue teriak maling?"
Patru tetap mengabaikan dan memilih untuk menyeret Tisya ke arah tangga menuju lantai bawah.
Tisya yang sudah setengah mati menahan diri pun menyahut, "Lo kenapa lagi, sih, Pat? Nggak malu apa kalau ini ketahuan pacar sendiri?"
"Aku udah putus."
Tawa menyembur dari mulut Tisya. "Dih, cewek itu pelampiasan doang ya?" tanyanya dengan nada merendahkan.
Genggaman tangan Patru melemah, membuat Tisya bisa memanfaatkan kesempatan ini dengan menarik kembali pergelangan tangannya dan kabur.
"Sorry, cari cewek lain aja buat dengerin cerita sedih lo, terima kasih," tandas Tisya sebelum berlari kencang masuk ke dalam pintu, menutupnya, dan menambahkan kursi sebagai sanggahan.
Kelas yang sebagian siswanya sedang sibuk memakan camilan saat itu lantas menjadi sepi dan menoleh ke arah sumber suara, ya, Tisya. Mereka sudah tidak heran dengan drama-drama yang dibuat Tisya setiap hari. Namun, untuk yang kali ini, wajah serius Tisya cukup membuat mereka bertanya-tanya.
"Kenapa Tis?"
"Ada kadal lewat."
Satu kelas menyahut, "Alah."
* * *
Sudah waktunya pulang sekolah, tetapi Tisya tidak berniat sama sekali untuk keluar dari kelas. Sebenarnya, perasaan patah hati sehabis putus dengan Patru memanglah masih tersisa, begitu juga dengan harapan akan balikan. Namun, semenjak Patru mulai punya pacar baru, rasanya Tisya sudah tidak sudi bila harus diajak balikan lagi dengan cowok itu, walaupun dia masih ada rasa.
Aneh saja kesannya, bagaikan seorang pelampiasan. Sangat tidak elit bagi Tisya. Sejak kapan dirinya bisa dijadikan pelampiasan? Duh, mau ditaruh di mana wajahnya nanti? Yang ada, Tisya yang menjadikan para cowok pelampiasan.
Tisya mengintip ke pintu dan mengamati seluruh balkon kelas-kelas Jurusan Akuntansi di lantai dua. Sudah terdeteksi tidak ada Patru lagi, kemungkinan dia sudah aman. Daripada semakin sakit hati bukan? Lebih baik dia menghindar untuk bertemu cowok itu langsung. Takutnya, perasaan dia semakin tidak jelas. Mau balikan, tapi tidak mau jadi pelampiasan; masih ada rasa, tapi malas berkutat dengan dinding perbedaan agama dan harapan yang jelas hanya akan berakhir sia-sia nantinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tisya dan Tisyu
Roman pour AdolescentsSemua orang tahu bahwa Tisya suka memainkan perasaan laki-laki dengan memanfaatkan kecantikannya. Tisya selalu membuat mereka merasa diangkat tinggi-tinggi lalu dijatuhkan hingga tak berarti. Yang ganteng dia patahkan, yang baik dia buang, yang kaya...