Di kelas, Tisya memiliki teman perempuan yang cukup banyak pastinya. Satu kelas terdiri dari tiga puluh perempuan dan dua laki-laki. Untuk bertahan hidup di kelas yang pelajarannya sedikit membuat kepala pusing, Tisya membuat lingkaran pertemanan. Terdiri dari Shinka, Lora, Kania, dan Liza.
"Masih sama Novan, Tis?"
"Nggak, dia nyerah."
Serempak para cewek yang bangkunya berada di sekitaran Tisya itu menyahut. "Woh, Tisya? Jomlo?"
"Tisya jomlo?"
"Keajaiban dunia keberapakah ini?" Shinka kemudian tertawa sambil menyenggol cewek yang rambutnya dikucir kuda itu. "Pacarnya Naya, yang namanya Ronaldo itu, nggak mau lo ambil?"
Tisya terkekeh mengingat pasangan satu itu. Naya dulunya pernah bertanya soal Baza, tapi percuma saja, cewek itu tidak akan mendapatkannya. Kemudian, cowoknya sendiri yang bernama Ronaldo, ternyata juga mencari pelampiasan lain, dan rencananya dia menginginkan Tisya mengisi posisi itu.
"Nggak mau gue. Biarkan pasangan itu bermain sendiri di dalem lingkaran mereka. Gue nggak mau ikutan," jawabnya santai yang membuat semua temannya menyahut.
"Insaf-insaf sudah Tis, saatnya nikmatin hidup jomlo dan rasain semua momen di SMK," nasihat Liza.
"Omongan lo kayak temen gue aja Liz."
"Si Haryan itu ya?"
"Iya." Kemudian Tisya berakting berbicara seperti Haryan dengan mulut yang dimonyong-monyongkan. "Nikmati masa SMK, rasakan sensasi SMK, warnai masa SMK. Halah, gue udah kebal sama kalimat itu. Mau seberapa lama pun gue nikmatin sama SMK, tetep aja rasanya pas..." Omongan Tisya menggantung.
...pas balik ke rumah rasanya sama. Penuh permainan perasaan, cinta yang nggak jelas, dan kesepian, sambungnya dalam hati.
"Kenapa? Pas apa?"
"Nggak." Tisya kontan meraih pulpen di dalam kotak pensil dan mulai mengerjakan tugas yang sempat tertunda. "Dah, ah, lanjut. Banyak soal jurnal umum yang belum kita kerjain. Pusing, deh, gue di jurusan ini. Udahlah cowok bikin pusing, ini lagi tambahannya!"
* * *
Dia tahu rasanya saat menginjakkan kaki di rumah. Dia juga paham rasanya ketika mendapati kedua orang tuanya membawa pasangan yang berbeda-beda masuk ke dalam rumah. Tisya juga paham betul rasanya dikhianati pasangan sendiri, apalagi saat sudah terpaut ikatan suci.
Sudah menjadi makanannya sehari-hari. Tisya paling benci ketika didiamkan oleh semua orang. Bahkan orang tuanya sendiri.
Ketika menatap rumahnya dari ujung jalan, mendadak pikiran Tisya berubah, membuat langkah kakinya juga berbalik arah.
"Gue mau main Wi-Fi di rumah Haryan aja kalau begitu," katanya pada diri sendiri.
Namun, belum sempat berjalan, dia sudah menubruk seorang cowok yang baru saja keluar dari rumah tetangga.
Cowok itu kontan meminta maaf. "Sorry, sorry."
"Ya, nggak papa." Tisya menghindari kontak mata dengan cowok yang ketahuan sekali sedang terpana itu.
Nggak dulu, gue lagi males maen laki, batinnya.
"Lo yang waktu itu nangis di halte, kan?"
Tisya pura-pura tidak mendengar, memilih untuk lanjut berjalan saja daripada harus terjebak permainan lagi.
Terkadang, memainkan perasaan orang memang ada serunya, tetapi kalau keseringan, Tisya bisa lelah juga. Seperti kata Novan, sudah-sudah, nanti menyesal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tisya dan Tisyu
Novela JuvenilSemua orang tahu bahwa Tisya suka memainkan perasaan laki-laki dengan memanfaatkan kecantikannya. Tisya selalu membuat mereka merasa diangkat tinggi-tinggi lalu dijatuhkan hingga tak berarti. Yang ganteng dia patahkan, yang baik dia buang, yang kaya...