Sampai di rumah Tisya, Haryan dikejutkan dengan beberapa perkara. Yang pertama, perkara rumah Tisya yang gelap gulita. Kedua, Haryan melihat beberapa perabotan ada yang rusak parah. Ketiga, dia semakin menganga begitu mengecek halaman sebelah rumah Tisya yang penuh dengan sampah keributan kedua orang tuanya. Ada begitu banyak barang-barang rusak yang dibuang, dibungkus di dalam plastik merah besar.
"Kenapa lo nggak pernah cerita?" Haryan berusaha mengatur napas. "Tisya!"
Yang sibuk meletakkan sembako di dalam dapur tidak menghiraukan, memilih sibuk sendiri.
Haryan diam dan mengamati sekeliling. Pemikiran di kepalanya mulai bermunculan mengenai alasan Tisya ke rumahnya, mungkin terkait dengan ketidaknyamanan suasana rumah. Haryan menyesal tidak pernah mencurigai atau mempertanyakan itu selama ini. Dia hanya membiarkan Tisya masuk ke dalam rumahnya, tanpa bertanya masalah apa yang terjadi pada cewek itu. Lihatlah sekarang, rumah Tisya yang setengah hancur saja dia baru tahu.
"Lo kebanyakan sembunyiin cerita di belakang gue Tis, sementara gue udah terbuka sama lo," kata Haryan lagi di ruang tamu begitu melihat Tisya kembali.
"Gue lagi nggak mood cerita," balas Tisya lemas. "Lo mau langsung pulang?"
Haryan menggeleng. "Gue mau tau ceritanya."
"Kalau begitu, gue ceritanya di bioskop."
"Hmmm." Haryan berdeham bosan.
Ada-ada saja Tisya itu, menceritakan masalah keluarga malah harus di tempat yang elite. Mereka pun pergi berdua ke rumah Baza dan memaksa cowok itu untuk ikut.
Di bioskop, sembari menunggu penayangan film, Tisya bercerita kepada dua sahabatnya. Sesekali saat menonton bersama, dia juga mencuri waktu untuk membahas semuanya. Mulai dari Patru yang sering kali melakukan tindakan gila, hingga kedua orang tuanya yang akan pisah sebentar lagi. Mau tidak mau, Tisya harus menapaki jalan hidupnya sendiri.
Haryan jadi mengerti perasaan Tisya. Dia sering kali memohon Baza dan Tisya untuk jangan berbalikan atau melakukan hal apa pun yang pada akhirnya akan mengakibatkan persahabatan mereka rusak, karena Haryan tidak mau ditinggal sendirian. Sama halnya dengan Tisya yang tidak ingin orang tuanya melakukan tindakan yang bisa membuat mereka berpisah, sampai pernah memohon kepada mereka untuk berdamai saja dalam waktu yang lama dan harus tetap bersama. Bedanya ini lebih serius terkait dengan orang tua, cewek itu juga tidak mau ditinggal sendirian dan merasa lebih baik menyaksikan keduanya terpaksa bersama.
Kedua sahabat Tisya akhirnya mengerti. Mereka pun berencana untuk membantu Tisya sekiranya ada hal mendadak yang terjadi. Hubungi saja jika perlu, di waktu mendadak sekalipun. Kalau sesuatu terjadi pada Tisya, mereka tidak segan akan meninggalkan kegiatan saat itu juga.
"Kalau ada apa-apa, selalu bilang aja Tis, jangan dipendam sendiri," kata Baza.
"Ya, soalnya kami gabut juga," timpal Haryan yang kemudian menaikturunkan alis.
"Gombal lo basi Yan!" Tisya dan Baza mendorong bahu cowok berambut ikal itu lalu tertawa serempak.
Tuhan memang Maha Baik telah mempertemukan Tisya dengan dua orang yang selalu memperlakukannya dengan baik tanpa niat buruk apa pun. Baza dan Haryan memang sudah seperti keluarga kedua baginya. Setidaknya, karena ada dua sahabat itu, Tisya percaya hidupnya tidak akan seburuk yang dia kira. Minimal, ada uluran pertolongan walau tidak harus menjadi pasangan.
"Kalau masalah Patru, gue curiganya itu karma karena lo selingkuhin Baja." Perkataan Haryan membuat Tisya langsung lupa dengan rasa syukur barusan. Sontak cewek itu menatap malas, sementara Haryan dan Baza tertawa sambil saling bertepuk tangan.
Mulai. Haryan mulai mengajak Tisya untuk berdebat lagi seperti biasa.
"Ya bener!" Baza juga ikut tertawa. "Lagian, dapet yang kayak gue malah milih pangeran berkuda."
"Hih!" Secara refleks Tisya menjewer keduanya sampai nyaris berteriak di dalam bioskop. Mereka sudah tidak fokus lagi menonton film, melainkan film yang menonton mereka sekarang.
Kebetulan dia duduk di tengah keduanya, karena tadi tujuan mereka memang ingin mendengarkannya bercerita. Semakin gampalah tangannya menggapai dua daun telinga dua orang itu.
"Ampun Tisya, ampun!"
"Minta maaf dulu udah ngomong begitu!" tegas Tisya.
"Maaf Tisya."
"Maaf Yang Mulia Ratu, coba, gue mau denger." Permintaan Tisya semakin aneh, membuat kedua sahabatnya ogah-ogahan dan berujung mendapat jeweran lebih kuat.
"Ma-aaf Yang-Yang M-mulia." Baza akhirnya pasrah daripada daun telinganya copot.
Sementara Haryan masih kukuh tidak mau mengalah dan semakin mengajak Tisya berdebat sampai membahas zaman Kerajaan Majapahit.
~ Tisya dan Tisyu ~
Untuk sementara update segini dulu ya. Aku berusaha up walau ada kerjaan. Maaf juga hari Rabu kemarin lupa update. Oh ya, besok aku usahan update lagi. Terima kasih. See you!
KAMU SEDANG MEMBACA
Tisya dan Tisyu
Fiksi RemajaSemua orang tahu bahwa Tisya suka memainkan perasaan laki-laki dengan memanfaatkan kecantikannya. Tisya selalu membuat mereka merasa diangkat tinggi-tinggi lalu dijatuhkan hingga tak berarti. Yang ganteng dia patahkan, yang baik dia buang, yang kaya...