34 - Perjuangan Akhir PKL

140 40 14
                                    

Ada banyak kejadian dalam satu part ini. Semoga kalian enggak pusing😭. Enjoy aja ya. Selamat membaca!

~ Tisya dan Tisyu ~

Akibat sindiran media sosial itu, Liza membuat kubunya semakin kuat tak tertandingi.

Mbak Sri menjadi lebih berpihak ke Liza, setelah cewek itu curhat sambil menangis di tengah jam kerja.

"Ya ngapain tanggapin orang yang nyindir di medsos? Coba langsung di depan muka bilangnya." Itulah inti kalimat yang diucapkan Mbak Sri ke Liza.

Di ujung ruang kantor, Liza terlihat sedang duduk di kursi meja kerjanya Pak Adam, sebelah Mbak Sri. Mereka berbincang, sepertinya sedang membahas masalah pribadi Liza yang dibawa ke kantor itu. Tisya lantas menghampirinya, kepo juga, siapa tahu bukan dia yang dibahas. Dia menyimak ceramah wanita berusia 23 tahun itu.

Namun, pikiran Tisya melanglang buana. Jelas sekali, penyebab Liza menangis kali itu karena Tisya. Masalah sesepele itu melibatkan semua karyawan muda ditambah Pak Adam dan Bu Nami di kantor. Tisya kalau sudah menjadi Liza bakal malu. Masalah sindiran media sosial itu bisa diselesaikan tanpa menangis di jam kerja bukan?

Gantian Tisya yang disindir-sindir oleh Mbak Sri. Hanya disindir. Katanya orang yang menyindir di media sosial itu tidak ada harga dirinya, tidak pantas dijadikan teman, dan lebih baik diajak komunikasi. Tisya akui, nasihat Mbak Sri benar, tetapi andai saja wanita itu tahu apa yang Liza perbuat pada dirinya.

Tisya bisa saja meneriaki Liza, merusak ponsel Liza juga yang sering diletakkan di sembarang tempat, atau mencelakai cewek itu sepulang PKL, tapi dia tahu diri. Liza saja ketika diajak komunikasi hanya menjawab, "Nggak papa," bagaimana bisa cewek itu diajak komunikasi?

Pak Adam yang ingin duduk di kursi meja kerjanya sedari tadi sudah garuk-garuk kepala. Bingung harus menyela percakapan dengan cara apa, tidak enakan. Kapan ceramah Mbak Sri ke Liza ini selesai? Dia mau kerja.

Tisya pun menegur, "Liz, Pak Adam mau duduk."

Liza yang masih bercucuran air mata itu pun berdiri, membuat senyum Pak Adam merekah.

Sejak saat itu, Tisya benar-benar merasa sendiri. Kak Fira saja sampai menjaga jarak, begitu juga Mbak Sri dan Mbak Azizah. Bahkan, sepertinya Liza juga melaporkan hal itu ke pembimbing perusahaan, Bu Kalyna, karena Tisya pernah memergoki Liza pernah pergi sendirian ke sana. Hanya dugaan saja.

Masa PKL-nya semakin kelam. Fisiknya yang kata seantero sekolah itu cantik tidak memiliki pengaruh apa-apa di kantor, percuma. Namun, Tisya tak mau menyerah, masih ada karyawan senior di sana. Masih ada empat ibu-ibu karyawan yang baru selesai cuti bergantian, masih ada Pak Abdul pembimbingnya yang sangat santai juga tidak peduli gosip, masih ada Pak Susilo kepala departemen yang minum teh di meja makan saat pagi dan sore hari, dan bapak-bapak akuntan lainnya.

Tisya terkadang memilih duduk di sebelah Pak Susilo di meja makan, karena beliau sangat menerima kehadiran Tisya, tidak juga berprasangka buruk apa pun.

"Saya memang berteman baik sama bapaknya Mbak Tisya, Pak Setya. Nanti setelah lulus, usahakan kuliah ya Mbak Tisya, saya yakin Mbak Tisya ini punya potensi dan punya kesempatan besar. Tapi kalau mau langsung kerja juga boleh. Memasuki dunia kerja memang harus ekstra sabar, kita harus melapangkan dada. Banyak hal yang bakal terjadi di dunia kerja Mbak. Habis lulus mau ambil Jurusan Akuntansi lagi?"

Tisya menjawab, "Iya Pak."

"Saya sarankan mendaftar beasiswa aja Mbak. Bapaknya Mbak Tisya, kan, umurnya baru empat puluhan, mampu saja itu Mbak. Kalau Mbak sendiri ragu di Jurusan Akuntansi, Mbak pilih jurusan sesuai minat aja, karena kuliah itu bakal berat juga. Jalan terakhir, jadi guru aja Mbak, perempuan itu bakal cocok kalau jadi guru, karena kadang pulang siang, bisa urus keluarga. Kalau kerja jadi karyawan, kadang bisa pulang jam sepuluhan malam, tapi bagus juga jadi karyawan itu, keren. Semua pekerjaan mulia. Saya dulu ingin anak-anak saya jadi guru, tapi nggak ada yang mau, alhasil jadi akuntan semua. Haduh, pening kepala saya, buah jatuh tak jauh dari pohonnya," nasihat Pak Susilo saat berbincang dengan Tisya.

Tisya dan TisyuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang