49 - Si Dia yang Lebih Nekat

176 34 19
                                    

"Tadi ada apa Tis?!" Baza terlihat panik begitu menghampiri Tisya di UKS. "Selama di kelas, gue sampai nggak bisa fokus belajar. Kenapa bisa? Coba sini, cerita."

Tisya hampir menangis lagi, terharu.

Seusai sikunya diobati dan diperban, mereka pergi ke ujung gedung Jurusan Multimedia untuk bercerita. Agar tidak menimbulkan kesalahpahaman apa pun, Tisya mengajak Haryan dan juga Shinka.

Dia pun bercerita secara lengkap. Apa yang disampaikan Patru ke guru BK, itu juga yang disampaikan sebagai saksi cerita. Patru memiliki masalah keluarga yang hampir sama dengan Tisya, kurang lebih. Bahkan bisa dibilang senasib.

"Oh jadi, alasan dia mau bunuh diri karena masalah keluarga?" Haryan menanggapi mengenai curhatan Patru itu. "Lah, kalau begitu, apa hubungannya sama lo, Tis? Kalau mau bunuh diri, jangan libatkan masalah putus juga kali, nggak jelas jadi laki!"

Tisya manggut-manggut. "Gue kaget banget tadi, perkara putus sampai segitunya. Ternyata dia punya masalah lain. Keluarganya sama hancurnya kayak keluarga gue yang sekarang. Yang gue lihat dulu itu cuman keadaan luarnya aja, di dalam lebih parah."

"Jadi, apa alasan dia nggak mau putus dari lo?" Gantian Shinka yang bertanya.

"Dia takut sendirian, kakaknya sudah pergi ninggalin dia, semuanya," jawab Tisya. "Dia memang punya teman, tapi teman-teman itu katanya... nggak sespesial gue. Haduh, jadi makin bingung."

"Terus, kenapa dia masih kasih lo uang segitu banyak?" Baza maju. "Dapat uang dari mana? Jangan bilang, mencuri."

Mendengar itu, Tisya bergeming, kepikiran.

"Udah, kalau tersiksa mending lo putus aja," saran Haryan, "cowok itu sudah kelihatan bahayanya Tis. Soal gantiin uang, bisa gue bantuin. Yang penting lo selamat dulu."

Shinka jadi ikutan pusing. "Emang paling bener ya jomlo aja, deh. Sudah, putus aja Tis."

"Kalau saran dari guru BK tadi, selama Patru masih ada niatan bunuh diri, usahakan jangan bahas itu dulu. Takutnya nanti ke-trigger lagi." Tisya mengusap kepalanya yang mendadak pening.

"Kalau gitu, selama cowok itu pikirannya masih tentang bunuh diri, lo jaga jarak, menjauh. Jangan sampe, setiap kali ketemu dan lo nggak turutin apa yang dia mau, ancamannya bakal sama," saran Baza. "Kalau ada apa-apa, langsung telepon aja. Kalau mau bilang putus, usahakan jangan sendirian."

Tisya menangis lagi, terharu.

Haryan memberikan tisu, kebetulan sekali stok tisunya Tisya untuk menangis sudah habis. "Udah, semuanya bakal aman Tisya, masih ada kita-kita."

"Gue sayang banget sama kalian, nggak ngerti lagi harus bilang apa. Please, secapek apa pun kalian, jangan tinggalin gue. Kalau ada sikap gue yang nggak kalian suka, tegur sepedes apa pun juga nggak papa," ungkap Tisya di tengah tangisnya.

"Nanti giliran ditegur sepedes apa pun, lo malah nggak mau dengerin." Shinka mengambil tisu di tangan Haryan dan mengusapkan ke wajah Tisya. "Gue, tuh, setakut itu kalau lo kenapa-kenapa, tau."

Dalam hati, Haryan dan Baza juga membenarkan omongan Shinka. Tisya itu memang keras kepala. Mau dinasihati seperti apa pun, kalau bukan Tuhan yang turun tangan langsung untuk memberinya peringatan, Tisya sulit goyah dari tindakan-tindakan anehnya.

* * *
 


Seharian itu, keceriaan Tisya menghilang. Dia kerap kali ditemukan Haryan dan Baza dalam keadaan menangis tersedu-sedu. Diajak pulang menangis, diajak makan bersama juga menangis, saat diantar sampai ke rumah pun menangis.

Kalau Haryan dan Baza itu bukan sahabat Tisya, mungkin keduanya sudah mengeluh bahwa Tisya ini perempuan yang merepotkan. Namun, untungnya mereka sabar. Mereka tetap duduk dan memperhatikan Tisya menangis saja. Tidak berniat menyuruh berhenti ataupun menghakimi. Sesekali mereka juga mendengar curhatan cewek itu.

Tisya dan TisyuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang