Entah apa maksud Novan tapi Aruna memutuskan untuk bohong agar tidak terjebak disituasi yang sama saat bersama Dion. Pikirannya kacau. Padahal ini bukan waktu yang tepat baginya untuk memulai hubungan apapun melebihi pertemanan.
"Na, udah selesai?" Tanya Tyas setibanya dia di kos.
Aruna menunduk lesu, "udah tapi capek banget hari ini."
Tyas memberi semangat, "bisa kok Aruna. Kan tatak!" (Tatak: sat set sat set. Kuat tahan banting gitulah)
"Thanks Yas." Aruna tersenyum simpul.
"Non Arunaaa!!" Ara menghambur ke kasur Aruna. Tidak perduli si empunya juga ingin rebahan di kasur.
"Minggir lo gue mau tidur." Usir Aruna.
"Ck judes banget. Udah tau belom kalo matkul akbi (akuntansi biaya) dosennya siapa?" Tanya Ara seperti ngasih tebak-tebakkan.
"Gak tau gue, bodo amat." Aruna sudah lelah untuk meladeni pertanyaan Ara.
"Pak Raden." Jawaban singkat dan penuh penekanan, membuat Aruna yang semula tidak minat dengan topik Ara, jadi agak kaget.
"Ha sumpah lo??"
"Eh emang kita sekelas?" Tanya Aruna, sepertinya mereka berdua tidak satu kelas.
"Emang gak sekelas. Tapi tiga kelas fix matkul akbi dipegang sama pak Raden semua."
Badan Aruna sudah tengkurap dikasur, untung Ara buru-buru berguling minggir biar gak ketindihan badan Aruna.
"Na, kamu sakit?" tanya Tiyas agak khawatir.
"BENCANA INI RAAA. Bencana satu semester!!!" Suara teriakan Aruna masih terdengar keras walau wajahnya teredam dikasur.
"Akbi hari apa Na?" Tanya Tiyas.
"Besok, kelas pagi." Jawab Aruna lesu.
"Waduh, sabar ya." Ara memberi puk-puk dibahu Aruna.
"Lah kan kamu juga kena kelas pak Raden." Tiyas mengingatkan Ara.
Ara menepuk jidatnya, lalu menghembuskan napas berat, "oooooh iyaaa. Kamu gak mau puk-puk aku juga Yas?"
"Ora nggenah (gak jelas)." Tiyas malah menoyor Ara.
====================================
Satu semester awal kemarin, angkatan Aruna terbebas tidak kena kelas pak Raden. Karena memang pak Raden hanya mengajar kelas konsentrasi atau kelas semester 6 sampai 8. Begitu desas-desus dari teman-temannya. Nyatanya sekarang baru semester dua dan Aruna sudah kena kelas pak Raden.
Memang kenapa dengan pak Raden?
Aahh gak kenapa-kenapa. Cuma irit senyum aja. Salah. Gak pernah kelihatan senyum malah. Kalau disapa cuma jawab "ya", "yook", "pagi/siang". Yang ini masih bisa ditahan Aruna. Mungkin lagi badmood. Tiap hari masa badmood?
Tapi semester lalu ada kabar, kakak tingkat yang mengulang kelas pak Raden sampai 3x. Tiga kali, sudah termasuk ikut semester pendek yang bayar diluar UKT??? Sesusah itu kah kelasnya?
Entah. Pak Raden dibayangan Aruna seperti pak Raden diacara si Unyil. Berbadan besar, punya kumis tebal, pake baju adat- eh gak mungkin lah, kan bukan lagi acara kartinian atau kondangan.
"Pagi paaak." Sapa anak-anak kelas, saat dosen sudah masuk. Ternyata pak Raden berbeda dengan bayangan Aruna. Pak Raden tubuhnya kurus, pendek dan tidak berkumis. Berumur sekitar pertengahan 30an. Berkacamata kotak. Hari ini beliau mengenakan kemeja kotak-kotak dan celana bahan warna coklat tua. Sepatunya nampak kinclong seperti disemir setiap hari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Kasih Kampus
Fiksi RemajaJadi anak kos, maba, adaptasi, homesick, jatuh cinta, sakit hati, individual, persaingan itu semua dirasakan Aruna saat resmi menjadi mahasiswa. "Mau pulang, kangen kasur kamar di rumah." - Aruna, maba gak tau apa-apa.