Part 3 - Gejala homesick

4.2K 287 4
                                    

"Yaelah udah deh Sar gak usah cemberut gitu. Kan ospek masih sisa 2hari lagi." Hibur Aruna yang melihat Sarah cemberut semenjak ia mengetahui kalo Aruna dapat tanda tangan ketua panitia ospek.

"Tapi kan susah Na dapet tanda tangannya. Banyak yang bilang kalo mesti nurutin perintah senior itu dulu kalo mau dapet tanda tangannya. Terus dingin banget lagi sikapnya kalo sama junior. Kayaknya lebih gampang dapetin tanda tangan rektor deh daripada tanda tangan ketua panitia ospek." Keluh Sarah sambil mengerucutkan mulutnya pertanda ia sebal dan bete.

"Ah apaan orangnya baik kok gak bersikap dingin sama maba." Elak Aruna.

"Udah deh gak usah menghibur aku. Udah banyak Na buktinya yang ketemu dan minta tanda tangan ketua panitia ospek." Bantah Sarah yang mulai kesal dengan Aruna.

Awalnya, memang Aruna tidak melihat lagi setelah buku tulisnya ditanda tangani oleh senior yang baru diketahuinya adalah ketua panitia ospek setelah Sarah membuka buku tulisnya tepat didepan mukanya. Dan tanggapan Aruna biasa saja. Karena memang tidak ada yang spesial, toh itu cuma tanda tangan menurutnya.

"Ye terserah. Dibilangi gak percaya, gue balik duluan ya. Daahh." Pamit Aruna begitu sampai di depan parkiran motor.

"Ati-ati Na, jangan ngebut!" Peringat Sarah. Karena waktu pra ospek ia pernah dibonceng Aruna dan Aruna sangat melaju motornya dengan kecepatan tinggi dan gemar nge-rem mendadak.

"Gimana mau ngebut? Motor tua nih. Bukan motor maticnya si Rio kayak kemarin."

"Hahahahah motor sapa tuh? Kok butut banget." Tawa Sarah muncul begitu ia melihat Aruna membawa keluar motor matic tua dari parkiran.

"Yaa diketawain. Motor ibu kos. Udah ah jangan ketawa mulu nanti berak lu dicelana." Peringat Una yang langsung dipelototi Sarah dan Aruna menstarter motornya meninggalkan Sarah.

=================================

"Buset baru sehari ospek udah bikin badan ancur." Keluh Aruna yang baru merebahkan badannya dikasur.

"Mbak Una capek ya pasti? Sabar mbak, ospek masih kurang 2hari lagi." Tanya Tiyas teman sekamar Aruna sambil memberi semangat.

Tiyas juga maba di kampus yang sama dengan Aruna, hanya saja berbeda jurusan dan fakultas. Tiyas berasal dari Jepara makanya ngomong bahasa Indonesianya kental banget dengan logat jawanya dan sopan bahkan memanggil Aruna dengan panggilan 'mbak', padahal mereka sepantaran. Aruna juga sudah melarang Tiyas untuk memanggilnya 'mbak' karena ia merasa tua jika dipanggil 'mbak', namun Tiyas masih berusaha mencoba meskipun yah kadang kelupaan seperti sekarang ini.

"Iya nih yas, tega banget seniornya masa tadi udah disuruh lari-larian dapetin tanda tangan panitia eh dibentak-bentak lagi sama panitianya. Huh!" Kata Aruna sebal.

"Yang sabar mbak, kan buat pengalaman juga ospeknya. Makan dulu yuk mbak."

"Yas kalo lu masih manggil gue mbak, gue gak mau makan deh sekalian gue gak mau sekamar sama lu." Aruna pura-pura cemberut dengan Tiyas.

"Jangan marah to mbak, maaf ya duh mulut saya kadang kelupaan." Ujar Tiyas sambil memegang pundak Aruna.

"Tuh kan panggil mbak lagi." Kata Aruna sambil melotot.

"Aduh lupa lagi... Maaf Una." Ralat Tiyas.

"Nah gitu dong, kan gue gak berasa tua kalo dipanggil nama. Yuk beli makan ke warung depan." Ajak Una.

=================================

"Na kamu mau makan pake lauk apa?" Tanya Tiyas saat tiba di warteg depan kos.

"Emm... Apa ya? Gue samaan aja deh kayak lu." Putus Aruna karena bingung melihat begitu banyak lauk yang terpampang dietalase warteg.

"Beneran?" Tanya Tiyas.

"Iyaaa." Jawab Una sambil duduk.

Tak berapa lama pesanan mereka datang dan mereka mulai menyantap makanan mereka.

"Eh berdoa dulu Una." Sergah Tiyas yang melihat Aruna akan melahap makanannya.

"Hehe iya lupa." Kata Aruna cengengesan.

"Aamiin." Selesai berdoa Aruna langsung menyendokkan makanan ke mulutnya.

"Umm mayan sih.. Makanannya kayak makanan rumahan. Tapi masih enakan buatan ibu." Saat Una berkata demikian, Tiyas langsung berkata dan air mata jauh disudut matanya.

"Ibu...." Lirih Tiyas.

"Yas? Kok nangis sih?" Tanya Aruna cemas.

"Hiks hiks hiks ibuuu." Tangis Tiyas mulai banjir dan orang-orang yang ada di warung mulai melihat mereka dengan tatapan bertanya.

"Yas jangan nangis dong, orang-orang ngeliatin nih. Dikiranya gue nyolok lu pake sendok." Aruna mulai panik.

Akhirnya Aruna mengusap-usap pundak Tiyas dan perlahan tangis Tiyas mulai reda.

"Aku kangen ibu Na." Ucap Tiyas saat tangisnya reda.

"Eh? Udah makan dulu yuk. Nanti makanannya keburu dingin." Saran Aruna.

Akhirnya mereka melanjutkan makan dengan hening dan Tiyas agak tidak napsu makan.

=================================

Selesai makan, mereka pulang dan salat isya'. Selesai salat mereka hanya diam di kamar karena yah kamar kos tidak ada tv atau radio dan tv hanya tersedia di ruang tamu dan pasti sudah dipenuhi anak kos yang lain yang sudah ribut sejak tadi menonton sinetron.

"Na." Panggil Tiyas.

"Hm?"

"Kamu kangen ibumu gak?" Tanya Tiyas.

"Kangen kok." Jawab Una.

"Emang kenapa?" Aruna bertanya balik pada Tiyas.

"Jangan nangis Yas." Ketika Aruna melihat mata Tiyas mulai berkaca-kaca.

"Sedih aja gitu, biasanya yang masakin makanan ibu sekarang kita harus beli di warteg." Tiyas bercerita.

Aruna hanya mengangguk membenarkan ucapan Tiyas. Meskipun ia susah banget makan sampek setiap hari ibunya mengomel karena Aruna yang tidak mau makan entah karena alasan apa tapi bukan diet, Aruna menyukai masakan ibunya yang menjadi makanan favoritnya.

"Ibu kita juga pasti kangen sama kita. Mungkin lebih dari rasa kangen kita ke ibu." Kata Aruna.

"Telpon aja sama ibu kamu." Saran Aruna kepada Tiyas.

"Oh iya kenapa aku gak kepikiran ya?" Tiyas baru ingat kalo ia punya hp untuk komunikasi. Kenapa tidak dimanfaatkan?

Dan Aruna langsung tertawa melihat ekspresi Tiyas.

"Yahh tadi aku udah nangis malu-maluin di warteg lagi." Kata Tiyas mengingat kelakukannya menangis tadi.

"Hahahah baru nyadar lu? Dikira gue nyelakain lu tau Yas. Diiliatin orang-orang di warteg.

"Heheheh maaf Na." Ujar Tiyas cengengesan.

Aruna mendengarkan sedikit percakapan antara ibunya Tiyas dan Tiyas. Aruna memutuskan untuk tidur duluan.

Sebenarnya ia juga merindukan ibunya, ingin rasanya ia menangis juga namun ia memilih untuk menyimpan emosinya dan menenangkan Tiyas.

Ibunya seorang yang cerewet dan suka mengomel kalo melihat Aruna tidak mau makan. Tapi sekarang, rasanya ia memerlukan omelan ibunya hanya untuk mengingatkan ia untuk makan.

Ia terlalu malu untuk mengatakan bahwa ia merindukan ibunya, tipikal yang tidak bisa berkata manis dan romantis Aruna itu.

Semoga kita cepat bertemu bu. Doa Aruna setelah ia berdoa sebelum tidur dan ia langsung memasuki alam tidur.

=================================

27-06-2016

Mana yang anak kos suaranya??? Atau yang akan jadi anak kos?

Siap-siap homesick ya, bawaannya kalo udah di kos pengen pulang aja.

Udah dapet belum feelnya Aruna jadi anak kos yang homesick? Tulis dicomment yaa..

Ditunggu vommentnya. Love you readers:)

Kisah Kasih KampusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang