07. Hujan

5 0 0
                                    

[Semua karakter, tempat, organisasi, agama, dan kejadian dalam cerita ini adalah fiksi]

●●●

Nara telah bangun di pagi yang cerah ini. Dia telah bersiap untuk sekolah. Gadis itu pergi ke meja makan untuk sarapan. Di sana telah ada Ayah, Ibu, dan adik perempuannya. Dia kemudian duduk di samping adiknya.

"Selamat pagi" sapa Nara dengan senyum manis di wajahnya.

Tak ada balasan dari keluarganya. Nara masih tersenyum manis. Dia tidak terlalu mengambil hati tentang itu karena setiap hari seperti ini. Gadis itu mengambil piringnya.

"Kata ibu, kemarin lusa kamu pulang sekolah sampe malem" ucap Guntur, sang ayah, yang fokus pada korannya.

Nara menoleh pada ayahnya. Dia mengangguk sambil menjawab, "Iya, Yah. Nara jengukin temen di rumahnya"

"Kenapa gak minta izin dulu?" tanya Guntur yang bahkan tak menatap putrinya.

Nara yang hendak mengambil nasi itu mengurungkan niatnya. "Yah, waktu itu Nara udah mau telpon ibu tapi HP-nya lowbatt"

"Udah berani ngeles sekarang?" Guntur melipat korannya lalu menatap putrinya.

"Kan bisa pulang dulu" sambungnya.

"Maaf, Yah" cicit Nara.

Gadis itu menunduk sambil memilin jarinya. Dia sudah tidak nafsu makan. Dia berdiri dan menggendong tasnya. Kemudian berpamitan pada keluarganya untuk sekolah. Tina, ibunya, sempat menyuruhnya untuk sarapan terlebih dahulu, namun Nara beralasan jika dia piket hari ini dan harus berangkat lebih awal.

Di sekolah, Nara hanya duduk dan melamun sejak dia datang. Bahkan dia tidak memperhatikan guru yang sedang mengajar. Namun kesadarannya kembali saat guru di depan kelas menyebut nama seseorang.

"Andra, jam berapa ini kok baru dateng?" ucap pria paruh baya yang merupakan guru matematika.

Seperti biasa, Andra tidak menjawab. Dia berdiri di depan kelas sambil menatap gurunya. Pandangannya beralih pada Nara yang menatapnya.

"Udah, sana duduk" titah sang guru.

Guru itu kembali menuliskan sesuatu di papan. Nara menatap Andra dari tempat duduknya. Dia melihat lelaki itu yang sepertinya enggan melihat dirinya. Andra berjalan menuju meja guru. Kemudian dia duduk di kursi guru. Tentu saja membuat seisi kelas terheran. Guru matematika itu menoleh pada Andra dan membulatkan matanya.

"Kamu ngapain duduk di situ?" tanya guru itu.

Andra menoleh dan menjawab, "Bapak yang nyuruh duduk"

"Duduk di bangkumu sendiri, bukan kursi saya!" ucap guru itu dengan nada bicara yang sedikit naik.

"Kalo gitu suruh saya keluar" jawab Andra tanpa takut.

"Ya udah, sana keluar! Ganggu kelas saya aja" usir guru matematika itu.

Dengan senang hati, Andra keluar dari kelasnya. Nara sedikit kecewa karena lelaki itu keluar dari kelas. Dia merasa lelaki itu menjauhinya sejak dirinya datang menjenguk.

Sementara itu, Andra berjalan ke tempat biasa. Dia duduk di balik pohon sambil menyandarkan tubuhnya. Tangannya merogoh saku untuk mengambil earphone dan ponselnya. Dia memakai earphonenya lalu memutar sebuah rekaman dari ponselnya. Matanya terpejam meresapi suara yang dia dengar.

Tak lama setelah itu, Andra mendengar sebuah suara lain. Kelopak matanya terbuka. Dia melepas earphonenya lalu menoleh ke sekitar. Dia melihat dari balik pohon. Itu Nara yang sedang menangis. Kenapa teman sebangkunya itu menangis di sini? Sungguh membuat Andra terkejut dan berpikir yang tidak-tidak.

KeluargaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang