[Semua karakter, tempat, organisasi, agama, dan kejadian dalam cerita ini adalah fiksi]
●●●
Sehari, dua hari, tiga hari. Dua minggu telah berlalu. Nara duduk sendiri di bangkunya. Lelakinya kembali menghilang tanpa kabar. Dia telah menelepon lelaki itu ratusan kali, tapi tak diangkat. Terakhir kali dirinya bertemu lelaki itu saat mereka membolos di perpustakaan. Kata yang dia dengar terakhir kali adalah larangan untuk menunggu lelaki itu.
Nara benar-benar tak mengerti apa yang terjadi. Lalu siapa wanita yang waktu itu? Wanita itu tampak begitu dekat dengan lelakinya. Ke mana mereka pergi waktu itu? Kenapa Andra tak memberitahu apa pun padanya?
Jantungnya berdegup kencang ketika mengingat perihal Andra yang akan berhenti sekolah. Apa lelaki itu benar-benar akan berhenti sekolah? Apa itu sebabnya lelaki itu tak masuk sekolah dua minggu terakhir ini? Tapi bukankah setidaknya lelaki itu bisa memberinya kabar agar dirinya tak khawatir? Kenapa menghilang begitu saja?
“Ra” panggilan Tari membuat Nara tersadar dan menoleh.
“Masih belum ada kabar dari Andra?” tanya Tari.
Nara menggelengkan kepalanya.
“Belum, ditelpon gak diangkat. Dua hari ini nomornya gak aktif”“Gue juga nelpon tapi sama aja” sahut Jovan yang bingung dengan sahabatnya.
“Gimana kalo nanti kita ke rumahnya?” usul Tari.
“Ide bagus, siapa tau dia ada di rumah” jawab Jovan setuju.
Nara tersenyum pada kedua sahabatnya yang selalu membantunya.
“Makasih, ya”Di tempat lain, Arman sedang berada di kantornya. Pekerjaannya begitu banyak bahkan tak memberinya kesempatan untuk beristirahat. Beberapa hari ini dia marah-marah di kantor walau hanya untuk masalah kecil. Semua pegawai telah mendapat bagian dari kemarahannya. Maka dari itu mereka semua menghindari kesalahan sekecil mungkin agar tak kena amukan dari sang bos.
Arman duduk di kursinya sembari menyandarkan tubuhnya. Dia benar-benar dipusingkan oleh berbagai masalah. Tak ada waktu untuknya menenangkan pikirannya sejenak. Terdengar suara ketukan pintu. Dia pun menyuruh siapa pun yang ada di balik pintu itu untuk masuk. Ternyata sekretarisnya, pria itu mendengar sekretarisnya yang mengatakan bahwa Indah ingin bertemu.
Pria itu menghela nafasnya. Dia menyuruh sekretarisnya untuk mengizinkan Indah masuk. Wanita itu sering menemuinya dan memohon untuk mengeluarkan Andra. Pasti kali ini wanita itu akan mengatakan hal yang sama. Dilihatnya wanita yang sedang berdiri di depan mejanya.
“Ada apa?” tanya Arman tanpa minat.
“Saya dapat kabar dari rumah sakit, Andra mencoba bunuh diri lagi. Tangannya luka dan dapat 8 jahitan” jelas Indah tanpa basa-basi.
Rahang pria itu mengeras mendengar penjelasan Indah. Nafasnya tertahan beberapa detik.
“Terus?”“Om, Andra gak betah di sana. Dia gak suka ada di tempat itu. Itu memperburuk keadaannya” jawab Indah dengan tegas.
“Itu salah kamu. Saya udah kasih kamu waktu, tapi apa? Gak ada hasilnya” ucap Arman sembari membolak-balik berkasnya.
“Tapi Andra udah jauh lebih baik sebelum om masukin dia ke rumah sakit jiwa lagi. Dia udah punya semangat hidup, dia udah mau makan teratur, dia udah bisa tidur walau sebentar, dia udah—“
“Kamu liat sendiri gimana gilanya dia waktu itu. Kamu bilang kaya gitu membaik?”
Indah terdiam sejenak. Dia menatap pria yang entah bagaimana cara berpikirnya. Menurutnya Arman yang seharusnya berada di rumah sakit jiwa, bukan Andra. Pria itu bahkan terlihat tak peduli bahkan setelah mendengar kabar anaknya melakukan tindakan percobaan bunuh diri. Indah tak mengerti lagi bagaimana dirinya berbicara pada pria ini agar melepaskan Andra dari tempat itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Keluarga
Fiksi RemajaIni sebuah kisah. Tentang tiga manusia yang melalui berbagai rintangan dalam perjalanan hidupnya. Arti Keluarga masih menjadi tanda tanya besar yang belum dapat mereka pecahkan. Mereka kehilangan rumah untuk pulang. Namun, mereka menemukan 'rumahnya...