25. Berjuang

2 0 0
                                    

[Semua karakter, tempat, organisasi, agama, dan kejadian dalam cerita ini adalah fiksi]

●●●

Ini pagi yang indah di rumah sakit. Pagi ini, semua pasien diajak bersenam layaknya anak TK. Andra hanya mengikuti kegiatan tanpa membuat keributan. Setelah senam selesai, lelaki itu meminta untuk dibuatkan bubur bayi yang diberi oleh Nara. Dia menyantap bubur itu di taman sembari melihat pemandangan. Ternyata memakan bubur bayi bisa membuatnya teringat pada Nara.

Lelaki itu tersenyum senang. Dia menoleh pada sosok ibunya yang tersenyum padanya sembari membelai rambutnya. Ini adalah hari yang indah. Pikirannya dipenuhi oleh janji Nara yang akan mengeluarkannya dari tempat ini. Hal itu membuatnya tak sabar untuk segera keluar dari sini.

“Wih, apa tuh? Minta, dong” ucap pria yang biasa bersama Andra.

Andra langsung menjauhkan mangkuknya dari jangkauan pria itu. Dia langsung menghabiskan bubur itu agar tak diminta oleh pria itu. Dilihatnya pria yang duduk di sebelahnya. Sepertinya pria itu sedang waras. Pantas saja menyebalkan.

“Kira-kira sampe kapan gue di sini terus, ya?” tanya pria itu sembari menatap langit yang cerah.

“Nanti juga keluar” jawab Andra acuh.

“Haha... semoga aja, ya”

Andra memperhatikan pria itu. Dia merasa pria itu sedikit aneh dari biasanya. Apa sesuatu sedang terjadi? Atau hanya perasaannya saja yang berlebihan? Andra pun memperhatikan pria itu dari atas sampai bawah, mencoba meneliti apa yang berbeda.

“Lo kenapa?” tanya Andra bingung.

“Kayanya nyokap gue bentar lagi jemput gue” jawab pria itu yang menatap kosong langit biru.

Baiklah, ini sedikit membingungkan.
“Maksudnya?”

Pria itu tersenyum penuh makna. Dia menoleh pada Andra sembari tersenyum.
“Gue sakit, jadi kayanya gue bakal keluar duluan dari sini”

Andra menatap pria itu tak percaya. Dia menggelengkan kepalanya.
“Sakit apa lo? Sejak kapan? Selama ini lo baik-baik aja. Jangan bercanda, gak lucu”

Tawa renyah terdengar dari pria yang tampak pasrah itu. Dia menepuk bahu Andra sembari tersenyum.
“Lo jangan lupain gue. Sering-sering dateng kalo gue udah ditanem”

Ditepisnya tangan pria itu dengan kasar. Andra berdiri dari duduknya. Dia menatap pria itu marah. Lelaki itu berjalan pergi sembari membanting mangkuknya. Paginya yang indah telah rusak dengan kabar itu. Dia tak suka itu. Pria itu teman satu-satunya selama dia berada di sini.

Andra masuk ke kamarnya, duduk di sudut ruangan sembari menutup telinganya. Dia takut, sangat takut. Kalimat tentang kematian selalu terngiang-ngiang di telinganya. Lelaki itu tak takut dengan kematiannya sendiri, tapi dia takut dengan kematian orang lain. Menurutnya, orang yang pergi dengan cara seperti itu sangat tidak bertanggung jawab.

Sementara itu di tempat lain, Nara sedang memperhatikan guru yang sedang mengajar. Kekhawatirannya terhadap Andra membuatnya tak bisa fokus pada pelajaran. Dia menanti-nanti jam istirahat yang terasa sangat lama tibanya.

Begitu bel istirahat berbunyi, dia langsung keluar dari kelas. Menuju tempat dimana biasanya Andra menyendiri. Gadis itu duduk di bawah pohon besar itu sembari membuka ponselnya. Dia mencari nomor Arman yang sebelumnya telah dia dapat dari Indah. Seakan tak mengenal rasa takut, dia menelepon Arman dengan tekadnya yang bulat.

“Halo, om. Ini saya, Nara” ucap Nara setelah panggilannya diangkat.

Oh, Nara. Ada apa?” tanya Arman dari seberang sana.

KeluargaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang