Minggu Sore,
*** 16.42 ***
Aku mencoba menelponnya lagi. Kenapa dia mematikan telponnya tanpa menunggu aku menyebutkan alasanku? Aku mendengar nada sambung tapi setelah beberapa kali mencoba menelponnya dia sama sekali tidak menjawabnya.
Dia kemana ya? Bukankah dia baru saja menelponku, apakah secepat itu dia meninggalkan ponselnya. Aku masih bingung, dan tercetus sebuah ide di kepalaku.
"Ahaa.. aku bakal nelpon rumah sakit, biar di sambungin ke ruang kerjanya" batinku senang.
Aku mencari nomor rumah sakit itu di ponselku yang memang di simpan oleh Bunda dan mecoba menelponnya.
"Hallo dengan rumah sakit Gangnam Severence, apa ada yang bisa kami bantu?" Suara di sebrang terdengar halus dan sopan. Aku mulai gugup memikirkan alasan.
"Aku ingin di sambungkan dengan dokter Jennie Rubby Jane. Apa anda bisa menolong saya?" Aku merasa gugup sekali, baru kali ini aku terlibat dalam hal serumit ini.
"Maaf sebelumnya, dengan siapa saya bicara?" Seseorang itu menanyakan siapa aku, kalau aku menyebutkan identitas asliku, mungkin dokter Jennie tidak mau berbicara denganku.
"Bilang saja, dari saudara jauhnya di luar kota. Saya ingin bicara dengannya karena.. eemm.. kucingnya sedang melahirkan dan dia bilang padaku untuk memberi tahunya" aku berbohong sekena ku dan langsung menyesali ucapanku yang tidak masuk akal ini.
Tapi sudahlah yang penting aku bisa berbicara dengan dokter Jennie. Aku mendengar seseorang itu untuk menyuruhku menunggu, meskipun nada bicaranya terdengar terkejut dan aneh mendengar alasanku yang memang di luar ekspetasi ini.
Aku dengan sabar menikmati alunan nada sambung rumah sakit itu yang entah kenapa membuatku bersenandung mengikuti nadanya, hingga aku mendegar suara.
"Hallo" suaranya terdengar halus dan tenang.
Aku bingung harus bagaimana memulai perkataanku, aku takut dia langaung menutup telponku saat tahu aku yang menelponnya.
"Kamu mau sampe kapan diam terus? Dan gimana sama kucing aku? Apa kamu udah membawanya kerumah sakit?" Dia bertanya padaku, suaranya masih tetap tenang, tapi sukses membuatku panas dingin.
Aku harus menjawab apa?!
Aku memberanikan diri untuk mengakui yang sebenarnya padanya.
"Se..sebenarnya.." aku hendak berkata tapi langsung di potong olehnya.
"Kenapa kamu bikin cerita bohong yang enggak masuk akal? Kamu tau, aku di ketawain disini. Lain kali buatlah cerita yang lebih bagus, paling enggak aku enggak jadi bahan candaan disini" dia mengatakan itu dengan sangat lugas membuatku kehabisan kata-kata.
"Emm..maafin aku..aku" ucapku terbata, aku bingung harus menjawab apa.
"Yaudah bilang apa mau kamu?" Dia seperti tak sabaran mendengar jawabanku yang tak kunjung keluar.
"Kenapa kamu nutup telpon aku, aku coba nelpon lagi tapi enggak ada jawaban. Jadi aku terpaksa nelpon kamu kesini, apa kamu kangen sama aku?" Ucapku bertanya padanya dengan sungguh-sungguh, aku tidak peduli dia akan marah atau tidak.
"Aku tadi harus menangani pasien, dan aku enggak kangen sama kamu" dia menjawab dengan nada serius dan jawaban terakhirnya membuat aku terdiam.
"Ohh.. yaudah.. kayanya aku yang terlalu percaya diri. Hahaha.. kalau gitu aku bakal tutup telponnya" aku terdiam sejenak.
"Kayanya aku yang udah kangen kamu sekarang, secepat ini ya?" Aku mengatakan apa yang sekarang aku rasakan.
Aku menunggu jawabannya tapi dia masih terdiam. Oh God. Dia menguras emosi ku.
KAMU SEDANG MEMBACA
♡ Typa Girl ♡ • [JENSOO] •
Fiksi PenggemarCinta pertama anak SMA & Dokter Spesialis Tulang