Bab 12

18 3 2
                                    

Kai meremas kertas hingga benda putih tipis itu kusut. Tangannya terkepal sampai buku jarinya memutih. Berkali-kali ia mengirup napas panjang guna mengendalikan emosi yang berada di kepala. Detak jantungnya terpacu menimbulkan degup tak beraturan. Perjuangan untuk bisa bertemu dengan Seza ternyata sia-sia. Wanita itu pergi beberapa jam sebelum kedatangannya.

Kai mengacak kasar rambutnya, bertolak pinggang kemudian membungkuk dengan tangan bertumpu pada lutut. Napasnya naik turun menahan amarah. Berkali-kali Kai memukuli salah satu pahanya. Tawa remeh terdengar dari bibir pria itu. Senyuman yang terukir seperti ekspresi kesedihan bercampur marah dan kecewa.

Lutut yang melemas membuat pertahanan Kai goyah. Ia menelungkup pada kedua kaki yang terlipat. Tangannya terus menerus bergerak mengacak bulu tebal coklat di kepala. Percampuran emosi yang tak terbendung, mendatangkan bulir bening yang menggumul hingga pandangan Kai memburam. Segenggam tanah terkepal erat dengan jemari yang gemetar.

Membuangnya secara asal dan itu Kai lakukan berkali-kali. Tanah kering tak tidak bersalah menjadi pelampiasan amarah pria itu. Seakan tak merasakan apa pun, Kai meninjunya hingga beberapa lecet tercipta. Kemudian tangan itu beralih pada dada. Pria itu memukuli diri sendiri secara ganas, pikirannya sudah kalut.
Ia tak bisa berpikir jernih sekarang.

Kalimat-kalimat yang tertera pada surat yang ditinggalkan Seza, terbayang di ingatan. Tak ada harapan lagi bagi Kai untuk bisa bersama dengan wanita itu. Huruf-huruf indah yang tertulis berbanding terbalik dengan jejeran kata yang berhasil menyakiti hati.

"Aku tak ingin bersamamu lagi. Kau adalah mimpi buruk yang membuatku memutuskan untuk berhenti mencintai siapa pun."

Satu paragraf yang berhasil menohok Kai hingga ke tulang. Menebus jantung mengoyak perlahan menghilangkan semua udara yang berada di rongga dada. Jeritan tertahan membuat wajah Kai memerah. Urat-urat pada rahangnya tercetak jelas. Menandakan pria itu benar-benar berusaha untuk mengendalikan emosi yang memuncak.

Pandangan Kai berubah. Iris hijau itu menunjukan pandangan penuh kehampaan. Suara pekikan pun tak lagi terdengar. Tubuh pria itu mematung dengan pikiran yang entah ke mana. Degup jantung yang terpacu, seakan terhenti tiba-tiba.

"Kai," panggil David. Pria itu berlarian mendekat ke arah Kai. Keterlambatan yang terjadi pada David, mengakibatkan ia lalai menjaga anak sahabatnya itu.

Kekhawatiran menjalari hati pria berpostur tinggi besar dengan rambut hitam legam itu. Pasalnya, Kai meninggalkannya untuk bisa sampai di tempat ini. Hati Kai yang dipenuhi gemuruh emosi membuat pria itu tak dapat berpikir dengan baik. Ia hanya terus memenungkan bagaimana cara agar dapat bertemu dengan kekasihnya.

"Ayo kita pergi," ucap David yang tidak mendapat tanggapan apa-apa dari pria yang kini memasang ekspresi wajah yang merenung. Wajah Kai terlihat pucat dengan keringat sebesar biji jagung mengalir dari dahi hingga leher.

Dapat dipastikan jika apa yang diharapkan pria itu tidak berjalan dengan baik. Temperatur suhu tubuh Kai berubah dingin. David menopang Kai yang seakan tak memiliki tulang. Satu tangannya melingkar pada pinggang pria itu dan satunya memegangi tangan Kai yang berada di bahunya.

***
Langkah kaki terasa berat, rasa sesak yang menyekik leher, begitu menyiksa. Dini hari itu pula, Kai memutuskan untuk kembali ke London. Tak ada gunanya juga ia berlama-lama di tempat asing yang hanya akan mengingatkan dirinya tentang sosok Seza. Semua harapannya sudah pupus, bersamaan dengan hati yang hancur lebur.

Tujuannya saat ini bukan rumah tetapi gedung besar bertuliskan NHS Tayside. Tempat di mana sosok yang ia butuhkan ada di sana. Sirine ambulan yang berdengung, hingga langkah-langkah kaki yang berisik tak membuat Kai berhenti melangkah. Panggilan David yang berkali-kali pun pria itu abaikan. Kai seakan menulikan telinganya dari semua suara di sekitar.

Arah kedua kaki pria itu pergi ke ruang paling ramai yang ada di rumah sakit. Lalu lalang para perawat dan dokter, tak membuat Kai melepaskan niatnya untuk bertemu Kia. Sesampainya di tempat itu, pandangan Kai menyusuri setiap wajah wanita memakai seragam putih. Tiba-tiba kepalanya berdenyut nyeri. Bayang-bayang sekitar terlihat samar. Pertahanan pria itu melemah, tubuhnya melorot pada dinginnya lantai. Kepala Kai tertunduk dengan posisi berjongkok.

"Astaga, Kai! Apa yang terjadi padamu?" Suara yang terdengar panik itu datang dari Kia. Wanita itu terkejut melihat sosok pria yang malam tadi keluar dari rumah sakit, datang kembali dengan kondisi yang tampak tidak baik. Kia mengenali punggung kekar itu karena pakaian yang dipakai oleh Kai sama seperti sebelumnya.

Berarti pria itu belum juga sampai ke rumah. Apa yang terjadi kepadanya lagi saat ini?

"Aku bantu kau bangun," ucap Kia yang segera merangkul pinggang Kai, memapahnya ke salah satu ranjang kosong. Kia mengeluarkan stetoskop mengecek degup jantung pria itu, kemudian beralih pada pergelangan tangan Kai. Suhu tubuh pria itu terasa dingin. Kia meraih selimut untuk menutup tubuh Kai sebatas dada, lalu melangkah pergi untuk mengambil tabung infus. Namun, sebelum itu terjadi, genggaman Kai membuat Kia berhenti.

"Jangan tinggalkan aku," ucap Kai dengan suara parau.

"Sebentar saja. Aku harus menginfusmu." Kia melepas pegangan Kai lalu berlari mengambil tabung infus. Kai menutup matanya merasakan sakit pada perut yang berdenyut. Tangan besar itu bergerak naik dan turun secara pelan, guna membuat rasa nyeri itu mereda.

Kia kembali dengan semua barang untuk menginfus pria yang sedang terbaring saat ini. Tangan cekatannya menusuk urat di punggung tangan Kai lalu menutupnya dengan plester. Kia mengatur tetesan air yang keluar dari tabung infus agar berjalan lancar. Kemudian ia meraih suntikan lalu mengambil sampel darah Kai.

Kia terduduk menatap Kai yang masih terpejam. Kia mengusap jemari besar pria itu berkali-kali berharap dapat mengantarkan rasa hangat padanya. Tangan Kia terulur meraih termometer lalu menekan benda itu pada telinga Kai. Kia mengembuskan napas panjang. Entah apa lagi yang terjadi padanya kali ini.

****
Kia terjaga hingga pagi menjelang. Kepalanya mulai berdenyut karena lelah mendera tubuh. Ia pun tak dapat waktu tidur kemarin. Seharusnya sudah waktunya ia berganti shift dengan yang lain dan pulang ke rumah. Namun, karena kedatangan tak terduga dari Kai, membuat Kia membatalkan kepergiannya.

Pikirannya juga tak tenang melihat pria itu kembali. Tangan Kia mengusap dahi Kai yang berkerut. Ia seperti Dejavu melihat pria itu yang tersentak berkali-kali dalam tidurnya. Rasa kantuk semakin memberatkan kelopak mata Kia. Sebisa mungkin wanita itu berusaha terjaga. Namun, gagal Kia merebahkan kepala pada ranjang Kai tepat di samping tangan Kai yang terinfus. Kedua mata Kia akhirnya tertutup dan perlahan napasnya teratur.

Tepat setelahnya, iris hijau itu terbuka. Seketika pandangan Kai menoleh melihat Kia yang tertidur pulas di sampingnya. Kai menyingkirkan anak rambut yang menutupi wajah wanita itu, kemudian menatap Kia dalam. Perasaan Kai membaik saat melihat wajah Kia. Pergerakan tangan Kai yang terus-menerus mengelus kepala Kia membuat Kia terusik dari tidurnya.

"Kau sudah bangun? Apa yang kau rasakan sekarang?" Terdengar nada kecemasan dari suara Kia. Wanita itu meraih pergelangan tangan Kai lalu mengeceknya. Seolah hal itu sudah menjadi kebiasaan mengingat Kai yang selalu dalam kondisi tidak sehat.

Kai memutar tangannya hingga kini jemari Kia terbungkus dalam genggaman Kai yang besar.

"Seza. Aku kehilangan dia selamanya."

Kia hanya diam sambil membalas remasan yang terasa di tangannya. Ia menepuk genggaman itu dengan tangan lainnya kemudian menatap Kai penuh.

"Sudah-sudah jangan pikirkan hal lain. Kau harus tenangkan dirimu."

"Dia pergi. Dia tak akan kembali."

Melihat Kai yang bergulat dengan emosinya, Kia memeluk pria itu dengan erat. Ia mengusap lembut rambut pria itu, berusaha menenangkannya. Kai meletakan tangannya di punggung Kia. Tanpa sadar ia meremas baju wanita itu hingga Kia susah payah menahan ringis kesakitan. Kepala Kai menelusup pada ceruk leher Kia. Napas hangat pria itu membuat darah Kia berdesir. Posisi yang sangat buruk bagi, karena saat ini degup jantungnya terpacu sangat cepat. Ia berharap Kai tidak bisa mendengarnya.

***
Bab 12 update
Gimana sama cerita hari ini?
Moga kalian makin suka yaa.

Jangan lupa vote dan komennya

Enjoy the story'
Happy reading.

My Auntumn (End)✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang