44 15 33

8K 592 15
                                    

Plak!

"Kenapa kamu gak kasih uangmu ke mereka, Fhania!" sentak Papa Fhania setelah menampar pipi mulus anaknya.

Mata Fhania terlihat memerah, menahan tangis melihat perlakuan keras sang papa. "Fhania gak ada uang, Pa!" balas Fhania dengan nada tinggi.

"Bohong!"

"Beneran, Fhania gak bohong!"

Bugh!

Bukannya simpati melihat tetesan bulir sudah mulai turun dari pelupuk mata sang anak, Papa Fhania melanjutkan aksinya memukuli anaknya itu. Namun, tak ada perlawanan dari gadis yang kini sudah berbeda 180 derajat dari gadis kuat yang melawan para pria berbadan besar di Gramedia tadi.

Fhania menjadi gadis lemah saat papanya memukulinya, meninju, bahkan membanting tubuh rapuh gadis tersebut. Tanpa perlawanan, Fhania menerima semua caci dan maki, serta perlakuan fisik dari sang papa. Walau wajahnya harus lebam dan tubuhnya rusak sekali pun.

Lo kuat, Fhan. Jangan lawan papa lo, batin Fhania, menerima segala bogeman dan pukulan dari papanya.

Rasanya, tingkat Kuro Obi Fhania sama sekali tidak berguna ketika gadis itu berhadapan dengan papanya. Selalu saja begini, Fhania berakhir tergeletak di lantai di mana papanya sudah pergi meninggalkan gadis itu yang babak belur. Fhania tidak membalas karena ia tidak berani menyakiti sang papa. Fhania tidak membalas karena ia takut, takut jika dirinya akan menjadi pembunuh yang mana Fhania bisa saja membunuh papa kandungnya sendiri.

Satu fakta yang tidak banyak diketahui, Fhania adalah anak kandung Bu Anya, kepala sekolah ESENBI. Fhania dan papanya yang dulunya kaya raya, menjadi miskin karena Bu Anya. Wanita materialistis itu mengambil semua harta Papa Fhania setelah bercerai. Mau diproses hukum pun Papa Fhania tidak memiliki bukti kuat.

Alhasil, Papa Fhania memasukkan anaknya ke SMK Nusa Bina untuk membalaskan dendamnya terhadap Bu Anya. Papa Fhania ingin Fhania mampu menyingkirkan posisi Mentari yang terus menduduki ranking satu sejak kelas 10, hingga di kelas 11, Fhania benar-benar bisa merebut posisi itu, sebab Mentari sudah tidak ada di dunia.

Memegangi perutnya dengan memuntahkan darah bercampur lendir dari dalam mulut, Fhania mengingat kejadian satu tahun lalu. Ia terbatuk dan menyandarkan tubuhnya ke dinding untuk meredakan rasa sakit di perut serta tubuhnya yang terasa remuk. Setelah itu, menghela napas berat dan terus mengeluarkan cairan merah dari mulutnya.

Satu tahun lalu, Fhania memundurkan langkahnya dengan mulut dan mata yang membulat sempurna. Melihat seorang Mentari gantung diri di kelas XI AKL 1, membuat Fhania terkejut setengah mati. Jantungnya berdegup tidak keruan, meneguk saliva kasar dengan tatapan sulit diartikan.

Karena rasa deg-degan yang begitu membara dan takut disalahkan, akhirnya Fhania dengan cepat meraih tas sekolahnya dan keluar dari ruang kelasnya itu. Air mata seketika terjatuh dari pelupuk mata si gadis.

"Nggak. Nggak mungkin," gumam Fhania sembari berlari menjauhi kelas XI AKL 1, hingga--

Brugh!

--Fhania terjatuh karena menabrak bahu seseorang dengan keras. Sebuah tangan terulur yang mana terlihat dari jarak pandang Fhania, membuat gadis yang terjatuh tersebut mendongakkan kepalanya. Laki-laki berseragam jas merah mengangkat sebelah alisnya sembari mengulurkan tangan di depan Fhania. Ada tiga laki-laki lain, yang mana dua di antaranya memakai baju SMP.

"Fhan? Lo kenapa?" tanya Dewangga, laki-laki yang setia mengulurkan tangan walau belum juga dibalas, hingga Fhania akhirnya bangkit sendiri tanpa bantuan lelaki itu.

Fhania dengan wajah paniknya menjawab sedikit terbata, "M-Mentari! Mentari, Ngga!"

"Mentari kenapa?"

The Crazy ClassTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang