43 15 51 15 33 44 15 15 33

8.8K 575 39
                                    

Pak Andra memasuki kelas didikannya, kebetulan pagi ini ada mata pelajaran Perbankan Dasar dan dialah guru dari mata pelajaran tersebut. Melihat ke segala sudut kelas X AKL 1, Pak Andra sedikit menyunggingkan senyum. Benar-benar seperti kuburan. Semua muridnya menyilangkan tangan mereka di meja dan menatap Pak Andra serius, padahal pelajaran belum dimulai oleh guru laki-laki berkemeja hitam tersebut.

Ralat, tidak semuanya, karena Riyan memilih untuk melipat kedua tangannya di depan dada dengan punggung bersandar pada dinding kelas yang mana tubuhnya duduk menyerong.

Menghela napas pelan, Pak Andra mulai menyapa ana-anak didiknya, "Selamat pagi, anak-anak."

"Selamat pagi, Pak."

"Baiklah. Sebelum saya mulai KBM-nya, alangkah baiknya kita berdoa sesuai kepercayaan masing-masing, baru setelah itu saya lanjut mengisi absensi. Berdoa ... mulai."

Beberapa murid mengatupkan tangan mereka di depan dada, memejamkan mata untuk memohon kelancaran pembelajaran hari ini. Beberapa yang lain menengadahkan tangan sebatas bawah dada, juga ada yang menyatukan kedua tangannya membentuk sebuah kepalan setelah membuat tanda salib dengan menyentuhkan jemari tangan pada dahi, dada atau perut, dan kedua bahu diiringi pengucapan rumusan.

Pak Andra sendiri melakukan cara berdoa yang terakhir.

Tidak lama, guru laki-laki tersebut membuat tanda salib kembali dan menggumamkan kata 'amen'. "Berdoa ... selesai," ucap Pak Andra setelahnya. Ia mulai membuka absensi dan menyebutkan nama muridnya satu per satu.

Siswa-siswi yang hadir mengangkat tangan seiring Pak Andra memanggil nama lengkap mereka. Tiga menit sudah dilalui, kini Pak Andra menyebut nama satu siswa yang sudah ia yakini tidak masuk sekolah karena tidak melihat batang hidungnya.

"Ananda Raden Egi Rafranza?" Mengedarkan pandang, benar dugaannya bahwa siswanya satu itu tidak masuk sekolah. Akhirnya, ia mengalihkan pandang ke arah Pangeran. "Ananda Pangeran, apa kamu tahu di mana Ananda Raden? Kamu kembarannya, 'kan? Sama sekali tidak ada kabar apalagi surat izin."

Pangeran mengedikkan bahu. "Maaf, Pak. Saya gak tahu."

"Satu rumah tapi tidak tahu di mana kembarannya?"

Mencoba tersenyum tipis, Pangeran berkata sejujurnya dan ini memang sudah banyak yang tahu, "Pak Andra pasti tahu kalau saya dan Raden gak dekat sekalipun kami saudara sekandung, kembar, dan tinggal satu rumah. Jadi, untuk lebih jelasnya, Pak Andra bisa hubungi sendiri nomor Raden."

Pak Andra mengangguk sekali. Bukan lagi rahasia memang ... jika Pangeran dan Raden tidak akur. Sejak pertama masuk SMK Nusa Bina pun bisa dilihat keduanya seakan tidak saling kenal, padahal memiliki wajah yang pahatannya hampir sama.

Lanjut, Pak Andra memanggil nama siswinya, "Ananda Ratu Ezz Queilona? Ada?"

Bukan Ratu yang menjawab, melainkan Jilo yang kebetulan duduk di sebelah kursi kosong tetapi ada tas milik Ratu di sana. "Ratu gak ada, Pak."

"Ke mana dia?"

Kembali menjawab, Jilo mengedikkan bahunya. "Tadi sih sempet ke kelas, Pak. Tapi gak tau deh sekarang ke mana."

"Siapa ketua kelas?"

Riyan Adigara, si ranking satu itu dengan malas mengangkat tangan. Ya, Riyan menjadi ketua kelas karena NEM-nya sempurna. Aneh, tapi itulah kenyataannya. Tidak ada pemilihan suara, tetapi saat semester satu kemarin, Pak Andra langsung memilihnya sebagai ketua kelas dan seisi kelas setuju.

"Saya minta tolong sama kamu, Ananda Riyan. Tolong cari Ananda Ratu dan bawa balik ke kelas. Kita akan mulai KBM sebentar lagi. Jangan coba-coba untuk bolos di pelajaran saya," pinta Pak Andra yang segera diangguki Riyan.

The Crazy ClassTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang