Bab 11 : Tak Diperlukan

280 70 10
                                    

Setelah sebulanan penuh anak kelas dua belas disibukkan oleh segala macam ujian praktek. Kini, mereka bisa bernafas lega.

Selama sebulan itu juga Jihyo jarang sekali pergi dengan Mingyu. Apalagi, Jaehyun. Mereka hanya bertemu di kelas. Setelahnya sudah.

Mereka sama-sama sibuk.

Seingat Jihyo, ia dan Mingyu terakhir kali pergi ke pasar malam saat minggu karena Jihyo yang jenuh dengan kerja kelompok membahas praktek.

Mingyu jelas setuju, karena tampaknya laki-laki itu tak berusaha untuk melakukan uprak dengan serius. Istilahnya, yang penting selesai.

Ya, hanya itu saja.

Dan sama Jaehyun, sama sekali tidak. Yang mengantar makanan di hari libur hanya asisten rumah tangga keluarga Jihyo.

Sebenarnya, hal itu juga membuat Jaehyun bertanya-tanya.

Tapi ingat, gengsi lebih tinggi dibanding segalanya. Mau ditaruh mana mukanya bertanya tentang Jihyo. Akhirnya, rasa penasaran itu juga terjawab sendiri.

Jihyo terlalu fokus pada ujian prakteknya.

Malam ini, Jaehyun memutuskan menghubungi Jihyo setelah dapat informasi dari Ayahnya kalau ia harus datang ke acara pameran seni di Jakarta. Penyelenggara pameran itu memang ada kerja sama dengan bisnis mereka, pantas saja mereka harus datang untuk setidaknya mengisi daftar hadir.

Di tempat lain, Mingyu dan Jihyo malah asik memakan ramen sambil menikmati pemandangan malam ibu kota yang terlihat cantik dari atas sini.

Tempat lain itu, lebih tepatnya apartemen Mingyu. Mereka memang lebih sering menghabiskan waktu disini, karena kalau diluar apalagi di kawasan Jakarta yang padat ini Jihyo akan bertemu saudara atau rekan bisnis Papanya yang kenal dengannya, lalu jangan lupakan soal pacar Mingyu yang katanya banyak.

Yang ada mereka akan sibuk waspada dengan orang-orang daripada berbincang.

"Gyu, lulus nanti kamu mau kemana?" tanya Jihyo setelah meneguk air meredakan rasa pedasnya.

"Jadi sampah ibukota Jakarta."

Jihyo tertawa. "Yang bener. Kamu mau gimana? Kuliah? Kerja?"

"Gue gak punya masa depan, Hyo. Gue gak tau mau melangkah kemana," ucap Mingyu sambil menatap mata Jihyo. "Lo sendiri mau kemana?"

"Aku mau kuliah!" seru Jihyo. "Di Universitas Indonesia."

Mingyu tersenyum. "Gue iri lo punya semangat lanjut pendidikan. UI lagi. Mau apa lo disana sampai semangat empat lima gitu?"

Tadinya Jihyo sempat berfikir, namun rasanya tetap tidak ada jawaban yang tepat kecuali yang akan dia ucapkan ini.

"Karena lumayan dekat."

Tawa Mingyu pecah, laki-laki dengan kaos hitam itu sudah menaruh mangkuknya di atas meja karena takut tumpah. "Karena masih disekitaran Jakarta?" tanya Mingyu.

Jihyo mengangguk. "Emangnya selucu itu, ya?" tanyanya heran.

"Tempat setinggi UI dengan alasan simpel kayak gitu cukup buat kaget aja sih." Mingyu lagi-lagi tertawa.

"Biasanya orang yang kuliah disana mimpinya tinggi-tinggi, kayak karena itu kampus nomor satu, karena itu UI, karena gengsi juga termasuk." Tangan Mingyu kembali mengambil mangkuknya dan meneruskan makannya.

"Tapi serius, aku kayaknya gak bisa kalau kost sendiri. Aku penakut," ujar Jihyo kesal.

"Ya, gue setuju untuk itu. Lo penakut, payah, sama film horror yang hantunya bohongan aja takut. Gimana sama yang betulan," ejek Mingyu membuat Jihyo merengut.

Forever OnlyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang