Bab 27 : Berhenti dan Pergi

212 48 9
                                    

Jihyo terburu-buru mencari ruang dimana Mingyu di rawat dengan sebuah buket bunga dan sebuah paper-bag ditangannya yang lain.

Wajahnya tampak gusar, membayangkan keadaan laki-laki yang berstatus sebagai pacar pura-puranya itu.

Ruang 607 tempat Mingyu di rawat. Ruangannya terlihat tepat setelah lift rumah sakit ini terbuka. Jihyo berlari dan membuka pintu ruangan itu dengan cepat.

Mingyu yang sedang bersandar di ranjang rumah sakit, merenungi sesuatu yang mengganggu pikirannya itu kini menatapnya.

Gadis yang masih mengenakan seragam sekolah itu berhambur, memeluk tengkuk Mingyu dengan sangat perlahan. Seolah laki-laki itu adalah boneka rapuh yang bisa patah kapan saja.

"Gyu! Kamu kenapa gak bilang aku!" teriak Jihyo.

Air matanya memaksa keluar melihat keadaan Mingyu yang bagi otaknya sudah sangat parah. Hatinya sakit melihat Mingyu seperti ini.

"Iya aku tahu, aku cuman pacar pura-pura kamu. Tapi ... aku juga punya hak tau, setidaknya untuk sekadar teman kamu, Mingyu!"

Jihyo benar-benar merajuk sekarang ini.

Mingyu hanya diam, mendengar bagaimana gadis itu mencak-mencak tepat di kupingnya. Menghirup wangi rambut hitam legam milik gadis cantik ini yang baginya sangat menenangkan dan wangi yang selalu dirindukannya.

"Gue gak apa-apa," ujar Mingyu, mencoba menenangkan Jihyo yang sedang menghapus air matanya. Gadis itu melepaskan pelukannya, tangisannya makin pecah melihat bagaimana tangan Mingyu dilapisi oleh perban.

"GAK APA-APA GIMANA!" teriak Jihyo marah, dia terduduk di kursi di samping ranjang yang memang disediakan untuk menjaga yang sakit itu.

"Kamu udah gila, ya? Kamu kebut-kebutan di Jalan atau gimana sih sampai kayak gini? Emangnya kamu remaja labil yang suka kebut-kebutan? Kamu gak sayang nyawa?" Jihyo membabi buta dengan segala pertanyaan dibenaknya, menyerbu Mingyu dengan pertanyaan tiada henti dan tak berujung.

Mingyu hanya tersenyum simpul.

"Lo khawatir?" tanya Mingyu, tapi tak ada sedetik dan tanpa ragu Jihyo sudah mengangguk. "Aku celingukan nyari kamu ke kelas kamu, kayak orang bego gak tau pacarnya sakit. Patah tulang lagi!"

Ada rasa bahagia sekaligus sedih bersamaan.

"Kamu udah makan, Gyu?" tanya Jihyo.

Laki-laki yang terbalut baju pasien rumah sakit itu hanya menggeleng. "Belum nafsu-"

"Memang gak akan nafsu, tapi biar cepat sembuh harus makan sama minum obat. Kepala kamu sakit?" tanya Jihyo, sambil mengeluarkan sesuatu dari dalam paper-bagnya.

"Kamu boleh makan dimsum gak? Aku tadi beli dimsum di dekat tempat aku beli bunga ini," ucap Jihyo sambil menunjuk buket bunga yang dia beli untuk menghias kamar rumah sakit ini.

"Boleh, tapi kenapa beli buket bunga? Gue kan gak lagi wisuda atau seenggaknya menang lomba." Mingyu sedikit terkekeh. Masalah boleh atau tidak makan dimsum itu, Mingyu hanya bicara asal. Terserah, gadis ini sudah membawanya sampai kesini.

"Hmm, buat naruh di vas bunga. Aku biasanya kalau di rumah sakit minta Mbak buat beliin bunga biar kelihatan hidup aja ruangannya," ucap Jihyo sambil membuka kotak coklat berisi dimsum itu.

Tangannya sibuk membuka plastik pembungkus sumpit dan menyuapi Mingyu.

"Kamu dari tadi sendiri?" tanya Jihyo.

Mingyu mengangguk. "Iya, gue selalu sendiri."

"Tapi, sekarang kan ada aku." Jihyo menghibur Mingyu dengan senyuman manisnya.

"Kita ... teman?" tanya Mingyu mengingat ucapan Jihyo saat Ia baru datang.

Gadis itu hanya diam, sepertinya dia juga bingung hubungan ini bisa dinamakan apa.

"Kita pacar," ucap Jihyo tampak acuh tak acuh.

Mingyu bergeser, kemudian menepuk kasur rumah sakit. Mengkode Jihyo agar duduk disana. Jihyo menurut, memangku kotak dimsum itu dan menatap Mingyu setengah bertanya.

"Jaehyun atau gue?"

Suasananya tiba-tiba hening. Jihyo menatap Mingyu dalam diam tapi seperti enggan menanggapi karena tangannya sudah mencapit dimsum bersiap untuk kembali menyuapi Mingyu.

Tapi, tangan Mingyu segera menghentikan Jihyo.

"Jaehyun atau gue?" tanya Mingyu sekali lagi.

Hening.

Mingyu tertawa pelan. "Kita sudahi aja semuanya, sebelum terlambat."

"Putusin gue di Sekolah," lanjut Mingyu.

Gadis di depannya sontak menatapnya dengan linglung. "Kamu bicara apa, Gyu?"

"Kita di ambang kesakitan, Jihyo. Bahkan sekarang gue udah bingung sama perasaan gue, sedangkan lo sendiri juga gak bisa ambil keputusan, 'kan? Kalau dilanjut, ini semua makin gak beres."

"Aku ... juga bingung," gumam Jihyo yang masih bisa Mingyu dengar.

Laki-laki itu memaksa Jihyo untuk menatapnya.

"Kita udah gak jelas dari awal. Lo punya tunangan dan gue punya pacar. Tapi, makin kesini gue semakin pengen milikin lo. Gue seolah tutup mata sama telinga tentang fakta lo tunangan sahabat gue. Tapi ... tadi siang, pacar gue datang. Gue sadar, kalau semuanya makin rumit untuk dilanjut. Gue mau berhenti."

Mingyu menatap Jihyo dalam, manik mata gadis itu juga mengikuti pergerakan maniknya.

"Lo boleh pulang."

Tepat setelah Jihyo pergi, ruangan ini seperti makin hampa dan rasanya Mingyu seperti tertarik ke alam kesepian.

"Kalau aja kita ketemu bukan saat itu, kalau aja kita ketemu dengan latar belakang yang berbeda, bukan semata-mata ada maksud belaka. Mungkin takdir juga akan berbeda."

Suasana malam itu seperti menertawainya, mengungkungnya dalam kesepian tak berarti. Tanpa gadis berambut hitam panjang yang sepertinya, hampir berhasil menariknya ke kehidupan normalnya.

Tapi, gadis itu sudah pergi. Dan dia yang menyuruhnya pergi.

Suasana gelap sore itu benar-benar membuat Mingyu tak nyaman, pikirannya terus mencari-cari keberadaan Jihyo. Apakah gadis itu sudah pulang? Apakah dia sedang kedinginan di sekolah? Atau malah tengah ketakutan karena suara gemuruh yang bersahut-sahutan.

Mingyu akhirnya nekat, di tengah hujan menerobos dengan motor hitam miliknya yang dijalankan dengan kecepatan tinggi.

Jihyo tak mengangkat panggilannya atau bahkan sekedar membalas pesannya, itu yang membuat Mingyu kalang kabut, pontang-panting dengan isi kepalanya sambil mengurus pacarnya yang terserang flu.

Nasibnya tak baik sore itu, karena motornya tergelincir dan membuatnya terbanting hingga kepalanya mencium kerasnya trotoar yang basah karena hujan deras.

Sayup-sayup, malaikat kematian seperti hampir mendekat tapi seperti berkata 'Kamu belum mati, Mingyu.'

Tidak masalah, tidak masalah kalau dia mati. Asal sebelum mati, Mingyu ingin tahu apakah Jihyo baik-baik saja, karena perasaannya sangat tidak enak semenjak hujan turun.

Sebelum matanya menggelap, Mingyu hanya berharap  gadis itu baik-baik saja.

-TBC-

Forever OnlyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang