13.73 Almost die

38 5 6
                                    


Tama diam terpaku dengan pandangan lurus kedepan, menatap tajam layar elektrokardiogram yang grafik nya masih menunjukkan garis lurus. Satu dokter dan dua perawat ada di dalam ruangan Kanara, berusaha mengembalikan detak jantung Kanara yang tiba-tiba berhenti.

Tama menghela napas gusar, kakinya mengetuk ngetuk lantai tidak sabaran. Tangannya mengepal erat sampai buku-buku tangannya memutih. Sekitaran Tama dengan cepat menjadi penuh dengan teman teman dekat Kana. Mereka semua menatap cemas, berharap dapat melihat dan mendengar kabar baik.

"She will be fine Adyatama." Tama masih terpaku, dia bergumam tanpa menengok, "lo bisa jamin itu Rakshan?" Sekertaris Kana, yang sejak beberapa puluh menit yang lalu ada disana, mengangguk mengiyakan. "Gue bisa jamin itu."

Tama menghela napas gusar, pandangan Rakshan berpindah pada Tama. "Lo nggak pernah segusar ini selama kita kenal." Tama melirik Rakshan dengan mata tajam. "Lo lebih gusar dari gue Rakshan, because you've fallen more deeply."

Sekitar Tama menjadi senyap setelah Tama membungkam Rakshan dengan kata-katanya, semua orang terfokus pada Kanara sampai suara derap langkah kaki terburu buru terdengar kian mendekat ke arah Tama.

Sena memukul bahu Aksa, "anjing, lihat, buruan!" Aksa yang masih serius menatap dokter terpaksa mengalihkan perhatiannya karena kepalanya diputar Sena ke arah kiri. Aksa mendengus pelan, "cari mati kalau dia kesini sekarang."

Felix mengalihkan perhatiannya kala mendengar derap langkah terburu-buru itu, "Candra," Felix diam ditempatnya, matanya menatap Candra yang mengatur napas memburunya lalu menatap kaca ICU dengan pandangan kalut. "Kana,"

Telinga Tama mendadak sensitif begitu mendengar suara Candra. Laki-laki itu berbalik lalu menatap Candra dengan raut keruh. "Siapapun bawa orang asing ini keluar dari sini."

Candra merangsek maju, menyentuh kaca dan menatap Kanara yang sedang diberi pertolongan. Gigi Tama bergemeletuk penuh amarah diikuti senyum miring. "You choose wrong move, bastard."

-00-

Nabastala menjadi orang yang terakhir tau kalau Kana sekarang tengah dirawat di rumah sakit karena overdosis obat tidur. Mulutnya sejak tadi melontarkan makian, kakinya menginjak dalam pedal gas mobil.

Satu tangannya mendial nomor seseorang, di dering ke tiga, panggilannya diterima.

"Apa?"

"Theonald Bagaskara, lo inget ini baik baik, kalau sampai adik gue yang sekarang sekarat di rumah sakit karena overdosis obat tidur gara gara makian adik sampah lo itu, kalau sampai adik gue nggak bangun, sumpah demi tuhan Theo, bakal gue bunuh adik lo sampai lo nangis darah."

"Kana di rumah sakit? Di rumah sakit mana? Adik kita sekarang masih kritis?"

Nabastala mendengus remeh, "kalau mau pura-pura peduli jangan ke gue, Theo. Lo udah ambil nyokap, bokap gue, jangan berharap gue bakal bisa dibegoin sama suara penuh simpati lo yang palsu."

"Dan satu lagi Theonald, Kana bukan adik kita, dia adik gue. Cuma adik gue."

-00-

Tama meraih kerah baju Candra, mendorong laki-laki itu ke belakang sampai membentur tembok dengan keras. Tangan Tama naik dan melingkar di leher Candra. Candra meringis pelan lalu meremat lengan Tama karena cekikan Tama mengerat.

Bugh!

Pukulan pertama Tama layangkan pada pipi Candra, keras sekali sampai bibir Candra berdarah.

"Karena ulah lo, Kana sekarat di dalam sana!" Tama kembali melayangkan pukulan, dua kali, satu di perut dan satu di pipi. Candra mulai kesulitan bernapas, laki-laki itu berusaha berontak tapi kekuatan Tama lebih besar ketika marah.

Aksa menahan Felix yang akan merangsek maju untuk melerai keduanya. Segara yang posisinya paling dekat masih diam menonton, sisanya tidak peduli pada Candra dan lebih fokus pada dokter yang sedang menangani Kanara.

"Lo yang bunuh Harris, lo yang buat Kana sekarat. Lo! Mati lo anjing!"

Mata Tama berkilat penuh amarah, tangannya makin terkepal erat. Dipukulnya Candra berkali-kali sekuat tenaga sampai tangannya dipenuhi bercak darah.

"Kalau sampai Kana nggak bisa lewatin masa kritisnya nanti malam, Candra, inget baik baik, Arunika bakal jadi orang pertama yang gue bunuh. Gue bersumpah bakal bunuh Arunika, dua kakak lo, nyokap bokap lo kalau gue sampai kehilangan Kana." Desis Tama penuh penekanan, ditatapnya mata Candra yang terlihat sayu. "Dan lo bakal gue buat sekarat dulu sekarang kalau detak jantung Nara nggak balik."

Candra tidak lagi melawan, membiarkan mukanya babak belur karena badannya lemas kesusahan bernapas. Napas Tama memburu, matanya menatap nyalang Candra. Tangannya merogoh saku jaket dan secepat kilat mengambil pistol kaliber 45 dari sana lalu menekan dahi Candra dengan moncong pistolnya.

Candra sibuk meraup oksigen dengan rakus karena lehernya tidak lagi dicekik. Laki-laki itu terbatuk pelan, tidak berani bergerak lagi saat ditodong senjata. Segara menghela napas lalu berjalan memutar setelah berkode mata dengan Aksa untuk melumpuhkan Tama bersama sama. Aksa mendekat, memukul pergelangan tangan Tama sekuat tenaga sampai pistolnya terlempar ke atas dan jatuh di tangan Aksa sementara Segara dengan cepat mengunci pergerakan Tama.

Candra jatuh terduduk diikuti ringisan kesakitan. Felix mendekat, meraih bahu Candra lalu membawa Candra duduk di kursi terdekat. Pandangan Tama masih terkunci pada Candra dengan pandangan buas, badannya berusaha berontak dari kuncian badan Segara.

"Fuck! Lepas!"

Aksa ikut membantu Segara mengunci pergerakan Tama. Tama sudah seperti orang kesetanan yang melawan sekuat tenaga sampai Segara kewalahan. Felix menghela napas pelan lalu membuka kotak obat yang memang kebetulan baru saja dia gunakan sebelum berlari kesini.

Candra masih mengatur napasnya susah payah, matanya yang merah menatap sayu felix, "gue keterlaluan banget ya Lix?" Felix membersihkan darah dan luka luka di muka Candra perlahan kemudian mengangguk pelan.

"Iya, Candra gue nggak tau masalah lo sama Kana serumit apa, tapi itu nggak jadi pembetulan buat lo bisa lukain Kana setiap hari. Lo coba rasain ada diposisi Kana sebentar aja, biar lo tau apa yang Kana mau. Lo tau kan apa yang Kana mau?"

Candra mengangguk samar lalu menatap ruang icu dengan mata makin merah dan berkaca-kaca. "Kalau diantara kalian berdua ada kesalahpahaman, diselesaiin pelan pelan. Tanpa ngatain. Lo manusia, Kana juga manusia. Sama sama bisa sakit hati. Juga, Kana kan saudara lo Can, mau diputus kayak gimanapun juga kalian tetap terikat darah. Lo pasti juga pernah kan mikir kalau lo keterlaluan?"

Candra menunduk, menutup mukanya lalu terisak tanpa suara. "Gue salah, gue keterlaluan. Cara gue salah, gue nyesel banget karena gue baru sadar sekarang Lix. Gue mau minta maaf ke Kana, buat semua luka-luka yang bahkan gue sendiri nggak inget seberapa banyak gue ikut andil buat luka itu."

Tama terkekeh, penuh sarkasme mendengarkan Candra. "Telat, lo telat Candra." Tama menggeram marah.

"LO TELAT ANJING! LO TELAT!"

Napas Tama memburu, merasa sedikit puas setelah berteriak dan memukul Candra sampai laki-laki itu babak belur. Darren mendekat dengan raut yang sudah berubah drastis, tangannya menepuk pelan bahu Tama dan membisikkan sesuatu yang membuat badan Tama melemas.

-00-

Tertanda,
Nalovzz
06122022

Meredup [00line]✓✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang