123.55 2H dan 1A

70 22 0
                                    

Pagi ini Kanara berangkat menuju sekolah hanya dengan Adyatama karena Haidar dan Harris kompak bilang bahwa mereka akan datang masing-masing dengan motor. Kanara tidak ambil pusing karena sudah cukup dibuat pusing untuk mata pelajaran hari ini yang begitu merepotkan.

Kanara memasang earphone begitu dirinya menerima soal latihan ekonomi. Padahal sebenarnya tanpa earphone pun dirinya bisa berkonsentrasi karena kelasnya begitu hening, tapi dia memilih memakai earphone dan mendengarkan lagu-lagu buatan Haidar.

Kanara suka semua karya Haidar, semuanya tak terkecuali.

Selama sisa hari itu sebenarnya Kanara berulangkali kehilangan fokus, soal tempo hari menyangkut Arawinda dan Cantika, soal diamnya Harris dan Haidar. Kanara berpikir keras, apa kesalahan yang sekiranya dia lakukan belakangan ini? Tidak ada. Dia tidak menemukan jawabannya, jadi sepuluh menit sebelum bel berbunyi, Kanara mengabari Adyatama untuk pulang terlebih dahulu dan dia sendiri harus segera mengobrol dengan Haidar dan Harris.

Kanara sudah berpikir matang, dia sudah menyusun segala argumentasi dan juga pembelaan jika sekiranya Haidar dan Harris marah karena tau rahasia Kanara yang masih disembunyikan rapat-rapat oleh gadis berambut sebahu itu. Tapi saat bel pulang sekolah, Haidar dan Harris terburu-buru keluar, memperjelas kalau mereka menghindari Kanara.

"Gue ada salah apa? Jawab jangan lari, kenapa milih ngehindar?" Pertanyaan itu menuntut jawaban jelas.

Harris menjawab tanpa membalik badan, "salah apa Na? Gue cuma mau buru-buru soalnya mau belajar."

"Oh ya? Kalau gitu coba lihat gue sekarang, tatap mata gue." Haidar berbalik badan sebentar, "gue balik duluan ya Na, mau ada belajar bareng sama Arawinda."

Harris ikut berbalik badan, "gue juga, udah janji mau belajar bareng sama Cantika."

"Kalian beda tingkatan, beda jurusan. Kalo gue ada salah bilang, jangan lari gini."

Sejak kapan kedua figur itu dekat dengan Haidar dan Harris? Kanara yang tidak memperhatikan atau memang mereka melakukan gerakan bawah tanah?

"Gue duluan ya Na, udah ditunggu Arawinda di parkiran."

"Gue juga Na, duluan. Lo hati-hati pulangnya."

Tanpa menunggu jawaban dari Kanara, kedua laki-laki itu langsung melangkah menjauh meninggalkan Kanara yang mendengus kasar kemudian melangkah menuju ke arah yang berlawanan dengan keduanya. Pembohong yang buruk, Kanara kesal tapi yang lebih penting saat ini adalah, dia harus ke perpustakaan dan belajar, bukan merasa kesal.

Tapi tetap saja, dia kesal.

—00—

Jam sudah hampir menunjukkan pukul lima ketika Kanara merasa harus memakan sesuatu karena mulai lapar. Gadis itu melangkah diantara koridor yang cukup lengang karena sebagian besar siswa yang masih tinggal akan berdiam diri di perpustakaan.

"Baru aja mau gue samper, ternyata sadar diri ya kalau laper?" Kanara mendengus pelan lalu menerima snack box dan minuman ion dari Adyatama.

"Lo belajar di mana deh? Katanya belajar bareng Sena?" Adyatama menampilkan cengiran, "gue main bola di lapangan, udah lama nggak main bola."

"Lo di Korea ngapain aja sampe nggak sempet?"

Adyatama mengendikkan bahu, "main, tapi beda. Bukan bola yang gue buat main. Oh iya, ayo pulang, udah jadwal lo buat ke psikiater."

"Tau dari mana?"

"Gue kenal Bang Samudra." Kanara menunjukkan raut tidak percaya.

"Ah masa? Bohong kali lo."

"Gue pernah bohong?"

"Sering dulu. Lo sering bohong, sebelas dua belas sama Candra."

"Gue nggak suka disamain apalagi sama Candra." Nadanya datar, tidak terlihat terusik namun cukup mengintimidasi.

"Tapi kita masih berbagi aliran darah yang sama."

Adyatama merotasi bola matanya, "jangan coba-coba ngalihin pembicaraan, sekarang ayo ke psikiater sekalian tebus obat."

"Enggak ah, besok aja."

"Nggak, sekarang."

"Gue nggak akan bersikap kayak orang sakau cuma gara-gara enggak minum obat semalem."

"Sekarang."

"Nggak mau."

Disinilah Kanara sekarang, dengan wajah masam karena Adyatama berhasil menyeretnya menuju ruang konsultasi dengan Samudra.

Adyatama menunggu di luar ruangan Samudra setelah Kanara menolak keras untuk ditemani, jadi Adyatama tidak ada kegiatan lain selain menatap sekitar dengan mata tajamnya kurang lebih 40 menit.

Pintu ruang konsultasi terbuka, menampakkan Kanara dengan secarik kertas berisi resep obat. Keduanya melangkah dalam senyap menuju apotek rumah sakit, Kanara sibuk dengan pikirannya dan Adyatama sibuk memperhatikan sekitarnya. Setelah selesai menembus obat, Tama menggenggam sebelah tangan Kanara, "ayo kita cek tumor di kepala lo."

"Tumor apaan deh anjir?"

"Kanara, nggak ada gunanya bohong ke gue. Gue tau semuanya, kalau lo nggak percaya, kita bisa ambil rekam medis lo."

Kedua kaki Kanara terpaku, "gimana lo bisa tau?"

"Gue agak menyeramkan kalau soal orang-orang terdekat gue. Gue harus tau semua tentang mereka supaya gue tau kapan gue harus ngelindungin mereka."

—00—

Hari-hari selanjutnya berjalan seperti biasa, ah, tidak, tidak biasa bagi Kanara dan kedua teman laki-lakinya yang masih saja bersikap dingin.

"Na gimana?"

"Huh?"

Adyatama menghela napas pelan, "tumor di kepala lo udah bisa diangkat, lo juga udah memenuhi standart buat dioperasi. Jadi lo mau operasi kan?"

Kanara mengangguk, "urus surat ijin gue ya, manipulasi, jangan sampe orang-orang tau kalau gue di rumah sakit."

Adyatama melakukan pose berpikir, "kalau gue nggak mau?" Kanara melambaikan tangannya dengan raut meremehkan, "lo pasti mau."

Adyatama terkekeh, merasa tertantang. "Oh ya?" Dia mengeluarkan ponsel miliknya dari saku lalu mengetikkan pesan.

"Coba lihat dulu," Adyatama mengarahkan ponselnya pada muka Kanara lalu tertawa saat Kanara menampilkan raut panik. "Yah main nya cepu-cepuan! Nggak seru! Hapus nggak?"

"Lagian kenapa orang lain nggak boleh tau bahkan itu abang lo sendiri?"

"Eksistensi gue udah cukup merepotkan, Tama. Gue nggak mau nambah beban Kak Bas, lagian gue bisa atasin diri gue sendiri."

"Lo hampir gagal, nggak sekali dua kali, lo hampir gagal pegang kata-kata yang keluar dari mulut lo sendiri."

"Mangkannya jangan deket-deket gue Tam. Bingung gue kenapa lo selalu ada di saat titik terendah gue dan selalu hilang saat gue ada di titik tinggi gue."

Adyatama mengetikkan pesan lain, "nggak bisa gitu dong, cara gue sama Candra kan beda."

"Maksudnya?"

"Simple nya, gue bakal selalu muncul saat Candra ilang, tapi gue nggak akan ilang kalau suatu saat nanti bumi berputar."

"I don't get you Tam."

Adyatama mengendikkan bahu tidak peduli. "Udah gue urus ijin lo ke Darren, besok gue urus ijin lo ke kepala sekolah sekalian."

"Thanks Tam."

"Gue nggak butuh kata terimakasih."

"Terus lo butuh nya apa?"

"Lo tetep hidup dan bahagia."

—00—

14-06-2021
Tertanda,
Nalovzz

Meredup [00line]✓✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang