17 - Gus Ku!

2.3K 116 0
                                    

>> H A P P Y R E A D I N G <<

Menikah bukanlah soal siapa yang paling cepat, melainkan siapa yang paling tepat.

Jangan sampai kelelahan menghadapi pertanyaan ‘kapan menikah?’ membuatmu terburu-buru dalam mengambil keputusan.

Pernikahan adalah sebuah ikatan yang menyatukan dua jiwa untuk saling menemani, bukan hanya untuk satu atau dua hari, melainkan seumur hidup.

🌷🌷🌷🌷

"Benci, marah, dan dendam itu wajar dan manusiawi.
Tapi kamu pasti tahu, jika Allah tidak menyukai perbuatan itu, jadi lupakan saja perasaan itu...

Dan mulailah kehidupan mu dengan kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya."

- Muhammad Zakir Hussain -


***
Ulfa duduk di sofa ruang tamu bersama umi Ana, mereka berdua menghabiskan waktu mereka dengan menonton acara Televisi.

"Nduk?" Panggil umi Ana, yang membuat lawan bicaranya menoleh kearahnya.

"Kamu masih belum mempertimbangkan perjodohan itu?" Tanya umi Ana.

Ulfa mengangkat alisnya sebelah, saat mendengar uminya membahas perjodohan itu secara tiba-tiba.

"Kenapa umi kok tiba-tiba nanya perjodohan itu ya?" Batinnya yang terheran-heran.

Disaat ia termenung, tiba-tiba pikirannya tertuju pada kejadian beberapa tahun lalu.

"Apa jangan-jangan umi sudah gak sanggup lagi ngerawat aku?" Batin Ulfa yang sudah tidak bisa lagi untuk berpikir positif.

"Astaghfirullah, gak boleh suudzon Ulfa!" Batinnya, mengingatkan dirinya sendiri.

"Nduk?" Panggil umi Ana yang menyadarkan lamunan Ulfa.

"E-eh iya kenapa mi?" Sahut Ulfa.

"Gimana sama perjodohannya?" Tanya umi Ana.

"Maaf mi, bukannya kemarin umi pernah ngomong ya sama Ulfa kalo Ulfa harus fokus buat sekolah dulu?" Tanya Ulfa.

Umi Ana tersenyum lembut, "nduk, kamu tau ndak kenapa umi nyuruh kamu buat cepet-cepet nikah?" Tanya umi Ana.

Ulfa menggelengkan kepalanya pelan.

"Suatu saat kamu akan tau sendiri kenapa umi nyuruh kamu buat cepet-cepet nikah" ucap umi Ana, mengusap lembut kepala Ulfa yang berbalut hijab.

Ulfa menghela nafasnya gusar, "baiklah, kalo gitu tolong, kasih Ulfa waktu sampai hari kelulusan untuk menentukan keputusan tentang perjodohan itu, mi." Jawabnya.

"Umi, sama abah akan menunggu keputusan mu, kapanpun itu nduk." Ucap umi Ana.

Ulfa menganggukkan kepalanya pelan.

Entah kenapa setelah pembahasan tentang perjodohan itu, tiba-tiba mood Ulfa menjadi rusak.

Ia yang tak ingin uminya mengetahui kegundahannya pun mulai berpamitan untuk kembali ke kamarnya dengan alasan tidur.

***
Didalam kamar sana, Ulfa mulai mengeluarkan tangisannya.

"Kenapa aku merasa, aku menjadi orang yang serba salah?" Tanyanya kearah dirinya yang berada di pantulan cermin sana.

"Kenapa akhir-akhir ini banyak sekali ujian yang datang di kehidupanku?" Tanyanya.

Ulfa mulai berjalan kearah meja belajarnya, dan ia mulai mengambil buku dan juga bolpoin untuk meluapkan amarah dan juga kesedihannya di atas kertas.

"Ya Allah, kenapa engkau mengambil nyawa mas Ali secepat itu??"

"Kenapa bukan nyawaku saja yang engkau ambil?" Tulis Ulfa di kertas sana.

Disaat dirinya tengah menulis, tiba-tiba rasa kantuk mulai menyerangnya. Dan dirinya pun mulai tertidur di meja belajarnya.

Allahu Akbar... Allahu Akbar...

Ulfa terbangun, karena mendengar adzan subuh.

"Sudah subuh?" Gumamnya yang sudah terduduk ditepi ranjangnya.

Ulfa melamun sejenak, kemudian ia melihat kearah jam dinding yang ada di kamarnya. Setelah itu, Ulfa mulai bangkit dari tempat duduknya dan memutuskan untuk pergi ke kamar mandi.

Setelah menghabiskan beberapa menit, Ulfa pun keluar dari kamar mandi dengan wajah segarnya. Dan setelah itu, Ulfa mengambil mukenah dan sajadahnya, lalu bergegas untuk pergi ke masjid sebelum Iqamah berkumandang.

***
Suara kicauan burung mulai terdengar, dan matahari mulai menampakkan dirinya.

Kini Ulfa sibuk berkutat di dapur bersama para abdi ndalem dan juga beberapa santri yang kebetulan mendapatkan piket ndalem.

"Ning?" Panggil seorang santri yang baru saja datang. Dia adalah Layla Alisya, Layla.

Semua mata tertuju dengan santri yang memanggil Ulfa.

"Iya, ada apa mbak?" Sahut Ulfa yang tengah memotong wortel.

"Njenengan di timbali abah" ucap Layla.

Ulfa yang mendengar itu pun bergegas untuk mencuci tangannya, "mbak, saya kedepan dulu ya." Ucap Ulfa kearah mereka yang masih sibuk bertugas.

"Inggeh, Ning" sahut mereka.

"Duluan mbak." Ucap Ulfa kearah Layla, sebelum melewatinya.

Layla menganggukkan kepalanya pelan, "inggeh, monggo ning." Jawabnya.

Sesampainya di ruang tamu, ia melihat abah Hasan sudah rapi, dengan koper yang ada disebelahnya.

"Loh, abah mau kemana? Kok udah rapi aja?" Tanya Ulfa.

"Nduk, abah mau ke Surabaya satu Minggu," pamit Abah Hasan.

"Kamu jaga umimu ya, nanti sore mas-mas mu bakalan nginap disini juga kok selama satu Minggu." Lanjutnya.

"Tumben kok dadakan banget bah?" Tanya Ulfa.

Abah Hasan tersenyum kearah putrinya, "ada kepentingan mendadak, nduk" jawab abah Hasan.

Abah Hasan menatap kearah jam tangannya, "sudah jam tujuh,"

"Udah ya nduk, abah pergi dulu." Ucap abah Hasan kearah putrinya.

"Loh, gak pamitan ke umi juga bah?" Tanya Ulfa.

Disaat yang bersamaan umi Ana berjalan kearah mereka berdua, "ini bah, bekal sama minumannya jangan lupa di makan ya nanti." Ucap umi Ana yang baru saja datang dari dapur.

"Inggeh, matur nuwun nggeh, mi." Ucap abah Hasan menerima pemberian istrinya itu dengan senang hati.

Umi Ana menganggukkan kepalanya pelan.

"Yasudah kalo gitu abah pamit pergi dulu ya ..."

"Kalian jaga diri baik-baik disini." Ucap abah Hasan kearah istri dan juga putrinya.

Mereka mulai menyalami abah Hasan secara bergantian.

"Inggeh, bah." Jawab mereka.

Kini abah Hasan mulai berjalan kearah halaman rumah dengan menyeret kopernya. Ulfa dan umi Ana mengikuti langkah abah Hasan.

Kang Ridwan, selaku supir ndalem mulai memasukkan koper itu kedalam mobil hitam itu.

Sebelum abah Hasan masuk kedalam mobil, ia menyempatkan diri untuk menatap kearah dua perempuan yang sudah ia sayangi semenjak masuk kedalam hidupnya.

Mereka berdua membalas senyuman itu.

"Abah pergi ya, assalamualaikum" ucap abah Hasan.

"Wa'alaikumussalam." Sahut mereka.

Kini mobil hitam itu mulai berjalan keluar dari halaman pesantren Nurul Jadid.



BERSAMBUNG

Gus Ku! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang