Prolog.

257 19 12
                                    


Aku benci petrikor. kebencian itu dimulai pada hari kematian Ayah. Saat itu aku menunggu Ayah dengan boneka beruang seraya menatap percikan air hujan yang baru saja membasahi pekarangan rumah setelah melewati kemarau panjang. Ayah pulang diantar oleh mobil ambulans kemudian lbu berteriak histeris. Kukira tangisan Ibu adalah tangisan kehilangan, tapi ketika aku dewasa barulah kutahu ada makna lain dari jatuhnya air matanya hari itu.

Semenjak hari itu, aroma tersebut menjelma menjadi kutukan. Dia selalu hadir dengan menggandeng kejutan yang tak pernah kuminta di hari-hari setelahnya.

Kukira kutukan itu akan sirna ketika aku dewasa. Nampaknya tidak! Hari ini aku kembali sial. Ketika aku membuka mata di pagi hari, bukan saja indra penciumanku saja yang disuguhi oleh hal yang kubenci selepas hujan tadi malam, mataku juga tak luput dari jamuan.

Lelaki yang kutemui dua pekan yang lalu. Lelaki yang sama gilanya dalam menggurat masa depan. Kulihat ia sedang terbujur kaku, telanjang, bersimbah darah dengan alat kelamin terputus. Di samping jasadnya tertulis tanda titik bagian atas dan koma di bagian bawah. Tulisan itu diukir menggunakan darah oleh jari seseorang yang ... entah siapa.

Aku butuh beberapa menit untuk bisa mengembalikan kesadaran. Setelah kerja otakku kembali bekerja, isi kepala ini mencoba merajut ingatan malam tadi. Namun tak kutemukan satu pun ceceran kolase yang berhasil kurangkum.

Hanya satu yang pasti dan kuingat jelas, bahwa ... bukan aku pelakunya.

SemicolonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang