30 (Zedith)

473 51 6
                                    

Kukecup kening Istriku dengan penuh cinta. Kutatap wajahnya lalu kukecup lagi keningnya dan kukecup perutnya dengan perlahan, aku takut Trixy terbangun.
Kubiarkan Trixy beristirahat untuk satu hari ini. Aku mengurungkan niat untuk mengajak ia berkeliling Dubai hari ini dan mengenalkannya kepada Ayahku, Ibu Tiriku serta Kakekku.
Usia Kandungan Trixy sudah terhitung tua dan aku tidak tega melihatnya kelelahan seperti kemarin, apalagi tampaknya ia sangat terkejut dengan kultur Arab yang memang tidak pernah kukenalkan sebelumnya.
"Selamat pagi Pangeran Zedith, aku mengantarkan sarapan untukmu dan Istrimu,"Aku menghela napas Panjang Ketika mendengar suara pelayan berteriak lantang untuk mengumumkan maksud kedatangan mereka ke kediamanku pagi ini.
"Masuk,"Jawabku sambal mengikat jubah yang kukenakan lalu berjalan menuju ke arah pintu dimana para pelayan sibuk memasukkan meja portable beserta sarapan yang menurutku terlalu mewah dan banyak. Ini bukanlah porsi srapan, ini porsi makan siang.
"Aku Ibraheem selaku pelayan pribadimu untuk beberapa bulan ke depan, jika Pangeran butuh sesuatu jangan sungkan memanggilku melalui jam tangan pintar yang kau kenakan di lenganmu Pangeran," Jujur, aku sangat benci dipanggil gelarku. Karena, aku bukanlah Pangeran sungguhan. Aku hanya anak haram, anak yang lahir di luar ikatan dan hanyalah anak buangan. Namun, karena masih terlalu pagi untuk berdebat terkait gelar, aku hanya mengangkat jariku menandakan bahwa aku mengerti kepada Ibraheem.
"Oh, iya Sultan Jalal Al-Farissi ingin menemuimu Pagi ini,"
"Jaddi?"
"Betul Pangeran, aku sudah menyiapkan pakaian untuk kau dan Istrimu untuk menemui Sultan Jalal Al-Farissi, jika kau siap, panggil saja aku untuk mengantarmu," Aku menggeleng pelan.
"Trixy... maksudku... Istriku untuk hari ini tidak akan ikut dulu Ibraheem... dia terlalu Lelah, bisakah kau mengirimkan pelayan Wanita untuk membantunya jika ia terbangun nanti? Seperti menyiapkan air panas untuk mandi atau sekedar membantunya berpakaian dan memakai hijab misalnya?" Ibraheem tersenyum lalu mengangguk.
"Akan kukirimkan Farah kemari untuk menemani Tuan Putri, Yaa Pangeran Zedith," Setiap Ibraheem memanggilku Pangeran entah sudah berapa kali bola mataku berputar karena kesal mendengarnya.
"Syukran," Kataku perlahan. Ibraheem menggeleng pelan.
"Jangan berterimakasih, itu sudah tugasku Pangeran,"
***
Sudah sangat lama sekali aku tidak memasuki Istana utama. Dimana Jaddi tinggal. Istana utama memang terasa sangat dingin, padahal suhu dan udara Dubai sangat panas dan pengap. Rasanya juga sangat aneh berjalan sendirian disini tanpa Trixy. Serta sudah sangat lama juga aku tidak mengenakan Thawb (gamis) dan keffiyeh layaknya Emirati disini.
Setelah sampai di lantai kedua dari Istana utama kemudian terdapat pintu tinggi menjulang dengan penuh goresan puisi arab dan potongan ayat suci Al-qurán serta terdapat tulisan Arab yang bertuliskan nama dari Kakekku Salman Jalal Al-Farissi terpampang besar di kedua samping pintu kamarnya.
Terdengar ketukan tongkat yang keras kemudian ,"Masuk," Suara berat dan serak Kakekku memintaku masuk ke dalam kamar tidurnya. Ibraheem memberikan tanda bahwa ia akan menunggu di depan kamar dan tidak menemaniku masuk. Dengan dada berdebar serta langkah yang pelan sedikit ragu, aku masuk ke dalam kamar lalu melihat seorang Salman Jalal Al-Farissi duduk bersandar pada punggung tempat tidurnya yang besar tidak memakai pakaian kebesarannya atau pakaian Sultan miliknya. Ia hanya memakai pakaian tidur lengan panjang berwarna emas. Jenggot, kumis serta rambutnya yang sudah seluruhnya putih. Wajah yang penuh guratan usia dan menandakan bahwa ia sudah sangat Tua dan melalui banyak hal di dunia ini.
Aku perlahan mendekati tempat tidurnya lalu Kakekku memberi isyarat kepada seluruh penjaga kamarnya untuk meninggalkan kami berdua di kamar.
Aku mendekat ke arahnya memberikan salam dengan mencium tangan lalu pipi kanan dan kirinya lalu ia memintaku untuk duduk di dekatnya.
"Mashallah..." Katanya perlahan sambil melihatku dengan suara yang sangat serak dan berat. "Mashallah..." Kini terdengar getaran di dalam suara Kakekku. Jika dilihat dari jarak sedekat ini, ia tidak tampak seperti seorang Sultan, dia hanyalah seorang Kakek Tua yang sedang sekarat.
"Alhamdulillah, sungguh besar kekuasaan-Nya... sungguh nyata nikmat-Nya... sunggguh Bahagia bahwa Allah Subhannallahu wa taála benar-benar mengabulkan doa pria Tua ini untuk dipertemukan Kembali dengan... cucuku..." Kini Jaddi mengambil tanganku lalu mengusapnya secara perlahan dan tersenyum ke arahku.
"Betapa kejamnya aku dan Ayahmu telah membuangmu begitu saja," Seumur hidupku, belum pernah kumelihat Jaddi menangis. Ia pria terkuat, tertegar, tertegas dan menakutkan yang pernah aku tahu. Ia belum pernah menangis seperti ini di hadapanku dengan wajah yang tampak seperti penuh penyesalan. Namun, aku tidak tahu apakah itu penyesalan atau hanya sebuah kesedihan karena ia tahu bahwa penyakit yang ia derita sudah menggerogoti seluruh tubuhnya.
"Zedith... Bin Omar Al-Farissi," Kata Jaddi menyebut namaku dengan sangat lengkap. "Aku sebentar lagi akan... menyusul Nenekmu, kau pasti sudah mengetahui hal itu, waktuku tidak lama lagi," Shit, aku sangat membenci keadaan seperti ini. Karena aku sangat membenci kematian dan perpisahan, walaupun  aku tidak mengenal Jaddi dengan dekat tetapi ia adalah Jaddiku. Ia satu-satunya orang yang berpihak kepadaku, walaupun apa yang ia lakukan di masa lalu sulit untuk dimaafkan bagi Sebagian orang. Ia mengusir Christine, menyuruh Omar membuangku dan tidak mengakui Christine dan aku sebagai bagian dari keluarga kerajaan mereka. Namun, setiap tahun, Jaddi mengirimkan kartu beserta parsel berisikan uang tunai dan pakaian untuk merayakan hari rayaku.
"Aku hanya ingin memberitahumu bahwa, jangan sekali-kali kau menandatangani surat yang akan diserahkan Hameed kepadamu, atau Omar kepadamu... ingat itu..." Keningku mengerenyit.
"Kenapa dengan surat itu Jaddi?" Jaddi hanya menggeleng.
"Ada banyak mata dan telinga di kamarku. Aku tidak bisa menjelaskannya kepadamu, yang jelas aku sudah lega menyampaikan hal ini kepadamu, lalu..." Kemudian Jaddi melepas tanganku dan merogoh sesuatu dari saku pakaian tidurnya. Lalu ia menyerahkan tas serut kecil beludru berwarna hijau. "Bukalah," Katanya. Aku hanya mengikuti perintahnya, dan membuka serutan tas tersebut. Di dalamnya terdapat cincin emas tanpa batu dengan ukiran tulisan arab kuno yang sedikit sulit untuk kubaca.
"Cincin ini, kusimpan diam-diam. Tidak ada yang tahu bahwa ini sudah berada di tanganmu," Jaddi menggenggam lagi tanganku lalu menepuk punggung tanganku.
"Simpanlah, maka kau akan tahu apa maksud dari pernyataanku tadi dan cincin ini. Serta perlu kau ingat...jangan sampai cincin ini jatuh ke tangan orang yang salah atau ke Ayahmu dan Hameed," Tak lama kemudian Jaddi batuk-batuk dengan sangat kencang, dan beberapa perugas masuk ke dalam kamar. Lalu Jaddi meminta beberapa pelayannya untuk mengambilkan minum dan memanggil dokter yang berjaga di Istana.
"Jagalah dirimu dengan baik Nak, jaga pula Istrimu... karena hanya dia yang dapat kau percaya di dunia ini..." Ketika Jaddi mengatakan demikian, pelayan datang dan membantu Jaddi yang terbatuk hebat hingga mengeluarkan darah, lalu pelayan peribadi Jaddi memintaku untuk segera Kembali ke kediamanku. Kemudian aku keluar dari kamar dan melihat pintu kamar Jaddi tertutup tepat di depan wajahku.
Kemudian aku bertanya-tanya, jika tidak salah baca tulisan arab kuno tersebut yang tertulis di cincin, apakah tertulis 'Sultan Penerus Takhta?'
Atau aku salah baca dan menafsirkannya?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 23, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SHIT HAPPENED (#5 THE SHIT SERIES)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang