Rasa laparku menjadi-jadi ketika usia kandunganku memasuki usia lima bulan. Kami melakukan perjalanan menuju Dubai dengan kehamilan seperti ini. Aku melakukan pengecekan disana dan disini karena akan melalukan penerbangan jarak jauh yang lumayan riskan dilakukan.
Tetapi dokter kandunganku menyatakan bahwa kondisi bayi kami baik-baik saja. Aku mengandung bayi laki-laki yang membuat suamiku Zedith meneteskan air matanya ketika ia melihat bayi kami melalui hasil sinar ultra 3D yang kami miliki di rumah sakit Ayahku. Walaupun aku cepat lelah namun kebahagiaan yang tidak bisa kututupi menutupi kelelahan ini.
Selama perjalanan menuju Dubai, aku tidak berhenti mengunyah, dan tidur. Sedangkan Zedith, tampak begitu resah dan gelisah karena ia akan menemui Kakek, Ayah dan beberapa saudaranya.
"Semua akan baik-baik saja Zed, tenanglah..." Zedith hanya mengangguk dengan pelan kemudian ia mengucapkan beberapa kalimat arab yang aku tidak mengerti.
"Aapakah itu berdoa atau kau bergumam sesuatu Zed?"
"Berdoa agar aku diberi kekuatan,"
"Sejak kapan kau menjadi sangat religious?"
"Sejak... aku takut akan bertemu Baba dan Ammi,"
"Apakah mereka berdua tidak menerimamu dengan tangan terbuka?"
"Baba kemungkinan akan lumayan tersenyum melihatku namun Ammi? Sama sekali tidak, karena Ibuku tidak dinikahi secara resmi dan ia tidak memeluk kepercayaan yang sama dengan keluarga mereka seperti aku, aku memeluk kepercayaan yang sama dengan mereka sedangkan Ibuku membebaskan anak-anaknya untuk memlih apa yang terbaik bagi kami sendiri," Aku hanya mengangguk pelan.
Aku tidak begitu paham dengan kepercayaan yang dianut oleh Zedith, walaupun beberapa kali Zedith menjelaskan secara perlahan-lahan kepadaku. Ia juga tidak memaksaku untuk mempercayai yang menciptakan kami semua, karena aku tidak percaya dengan adanya sang pencipta.
"Apakah aku harus menutupi rambutku atau bagaimana?"
"Ah, nanti akan ada Abdullah, dia asistenku disini, aku sudah bertahun-tahun tidak bertemu dengannya. Ia akan menyiapkan Abaya untukmu, karena saat kita memasuki kediaman Baba dan Ammi kau wajib memakai Abaya,"
"Ah, sekaligus rambutku?"
"Jika kau tidak nyaman tidak perlu, kau hanya perlu mengenakan Abaya-nya saja,"
"Bisakah aku mencobanya?" Zedith mengusap rambutku kemudian mengecup keningku.
"Sure,"
***
"Mashallah Yaa Zedith!" Aku melihat seorang pria berkulit hitam dengan tubuh besar dan kekar menghampiri kami kemudian ia memeluk Zedith dengan erat.
"Abdullah!" Balas Zedith dengan senyum yang lebar kemudian mereka saling mencium pipi kanan dan kiri lalu berpelukan.
"Abdullah, perkenalkan ini Istriku Trixy,"Kata Zedith dengan Bahasa Arab dan Bahasa Inggris.
"Mashallah... Mashallah..." Kata selanjutnya aku tidak begitu paham apa yang diucapkan oleh Abdullah.
"You look bery bretty!" Katanya kemudian. Aku hanya tersenyum.
"Terima Kasih Abdullah, kau juga tampak menarik," Abdullah hannya tertawa dengan kencang kemudian ia memberikanku abaya berwarna hitam dan sehelai selendang. Ia mengangkat koper-koper kami lalu memasukkannya ke dalam mini van Mercedes.
"Drixy, welcome to Dubai!"
***
"Hampir sebagian besar kekayaan disini adalah milik keluarga Zedith, Drixy," Kata Abdullah dengan bahasa Inggris yang terbata-bata.
"Kau sangat beruntung telah menikah dengan Zedith, kalau kita sudah di Istana, aku harus memanggilnya Pangeran atau Tuan, tetapi Zedith tidak menyukai keduanya,"
"Aku sangat membenci gelar, atau sebutan apapun itu Abdullah,"
"Ya, aku sangat tahu kau membenci hal-hal tersebut namun ada sumpah yang aku pegang di depan Kakekmu dan Allah subhanahu wata'alla," Aku hanya mengangguk-angguk atas semua penjelasan Abdullah serta percakapan Zedith dan Abdullah yang dicampur menggunakan bahasa Inggris serta Arab.
Setelah melewati banyak bangunan tinggi yang tampak futuristik, serta melewati gedung tertinggi Burj Khalifa kami berjalan lebih jauh lagi dari pusat perkotaan, yang pada akhirnya mencapai sebuah jalanan buntu yang manampakkan pagar menjulang tinggi dengan warna emas.
"Inikah istana?" Bisikku kepada Zedith.
"Yeah, sekaligus rumah," Jawabnya dengan nada bergetar. Aku sangat paham, Zedith tampak gugup saat ini.
"Karena kalian berdua akan langsung bertemu dengan Sultan Jalal, Sultan Omar dan Kakakmu Zedith, maka akan kuturunkan kalian di Istana depan setelah itu baru kita akan menuju tempat singgah yang ada di paling belakang Istana," Walaupun Zedith tidak memaksaku untuk menutup rambut menggunakan kain, namun aku ingin mencobanya dan memakainya saat ini, agar aku terlihat sopan dan mengikuti aturan Istana.
"Wish me luck Abdullah,"
"Inshallah you'll be fine Al-Amiir,"
"Stop calling me that, Abdullah!"
"What? Al-Amiir itulah gelarmu!" Setelah mereka berdebat sedikit, Zedith menuntunku untuk berjalan menuju depan pintu Istana bagian terdepan.
"Kau sudah siap honeybunch?" Aku mengangguk pelan.
"Bagaimana hijab-ku?"Zedith tersenyum kemudian ia mengecup keningku.
"Mashallah tabdin Jamila istriku," Aku mengerenyitkan keningku.
"It means you look beautiful..." Kini bibirku tersenyum dengan lebar.
"Kau siap?" Tanya Zedith. "Aku lebih dari siap Zed, bagaimana denganmu?"
"Aku berusaha untuk siap," Aku terkekeh kemudian mengambil tangan kananannya dan mengecupnya.
"Semua akan baik-baik saja, percayalah padaku," Zedith memejamkan matanya kemudian mengembuskan napasnya dengan pelan lalu mendorong pintu lebar tersebut dan tampaklah sekumpulan manusia-manusia rupawan yang tidak pernah kulihat dimuka bumi ini.
"Alhamdulillah, kau telah sampai secara utuh Brother!"
HAI SEMUANYAA! TERIMA KASIH MASIH SETIA DENGAN TRIXY DAN ZEDITH!!
MAAFKAN FANA YANG SUDAH SANGAT JARANG UPDATE DI WATTPAD!! FANA SEDANG PROSES THESIS MOHON DOANYAA!!
MAAF JUGA DI BAB INI HANYA UPDATE SEDIKIT SEKALI
SEE U ON THE NEXT CHAPTER! LOVE YOU ALL!!
![](https://img.wattpad.com/cover/187867799-288-k10937.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
SHIT HAPPENED (#5 THE SHIT SERIES)
RomanceWARNING 21+++ (Due to some mature scene and content underage are not allowed) Trixy Nicholson, 30 tahun divonis usianya hanya bebrapa bulan saja. Dia tak ingin menyianyakan waktunya dan ingin terbebas dari ketidak bahagiaan yang selalu menghampiri d...