LINGGA sampai di kosannya hampir larut malam. Ia melempar tasnya dengan asal, dan menghempaskan bokongnya di atas kasur. Gadis itu mengusap kedua tangannya yang membeku karena hampir satu jam berperang dengan udara dingin.
"Njir dingin banget," keluhnya sambil bergidik. Begitu ia hendak membuka pakaian yang ia kenakan, Lingga baru menyadari bahwa dirinya masih mengenakan jas Rafandra yang diberikan laki-laki itu padanya.
Gadis itu menyentuh bagian lengan jas tersebut. Pria itu juga pernah melakukan hal semacam ini padanya di masa lalu, memberikan jaket yang ia kenakan untuk membantu menutupi pahanya karena roknya sekolahnya pendek.
Andaikan Rafandra tidak menimbulkan masalah baginya di masa lalu, mungkin Lingga akan merasa terkesan dengan kebaikannya. Tapi apa gunanya per-andaian, jika itu tidak bisa mengubah apa pun?
***
Sebenarnya Lingga ingin mengembalikan jas Rafandra keesokan paginya, tapi menyadari kalau kurang sopan memberikan jas laki-laki itu tanpa men-laundry dulu, akhirnya Lingga mengurungkan niatnya.
Sungguh menakjubkan, bukan?
Kalau hubungan mereka masih seperti pertama kali bertemu, sudah dipastikan jas itu sudah lebih dulu diinjak-injak sampai kotor oleh Lingga, kemudian dilemparkannya ke depan wajah Rafandra.
"Kenapa lo pagi-pagi udah bengong? Stress gegara lembur kemaren?"
Lingga tersentak kaget begitu merasa seseorang menepuk bahunya dengan cukup kencang. Kepalanya memutar ke arah Dessy yang berjalan menuju kursinya.
"Lagi ngayal gimana jadi kaya tanpa kerja," kata Lingga asal.
"Open BO?" kata Dessy memberi saran.
"Open BO juga kerja anjir, perlu stamina itu," cetus Lingga dongkol. Temannya ini suka sekali memberikan saran tanpa solusi.
"Iya juga ya," gumamnya sambil mengangguk-ngangguk.
"Kalau ngepet?" tanya Dessy.
Lingga mengusap dagunya, tampak berpikir. "Bisa sih, tapi elo jadi babi-nya mau?"
"Terus elo yang jaga lilin gitu? Kagak adil anjir. Lu selamat, gue bonyok," sahut Dessy merasa tidak sudi Lingga yang bagian enaknya.
"Makanya kan, dibalik jadi konglomerat, pasti ada yang dikorbankan,"kata Lingga seraya mendesah putus asa.
"By the way, lo beneran resign berarti ya? Cuma nunggu pengganti lo doang?" tanya Dessy mengalihkan pembicaraan.
Lingga mengubah pandangannya ke arah Dessy. "Kalau gue ganti divisi, bisa gak ya? Yang penting gue masih kerja di sini gitu, Des," kata Lingga.
"Gue kurang tau sih," sahut Dessy dengan nada ragu. "Coba aja tanya-tanya. Cuma palingan lo harus kuat-kuat mental aja, soalnya rumor lo resign udah kesebar luar. Terus lo tiba-tiba pindah divisi? Yaa bakal malu banget sih," lanjutnya.
Lingga menganggukan kepala membenarkan. "Satu-satunya cara emang pengganti gue gak boleh dateng," gumamnya kepada diri sendiri.
"Berdoa aja," balas Dessy.
Tak lama setelah itu, terdengar suara pintu terbuka tanda ada orang masuk, dan ternyata orang itu adalah Rafandra.
"Pagi," sapanya singkat tanpa menatap mata siapa pun yang tengah melihatnya.
"Pagi, Pak."
Pria itu melenggang begitu saja dengan langkah lebar menuju ruangannya. Tidak seperti yang biasa ia lakukan. Tidak ada senyum indah yang membuat para perempuan di ruangan itu berdebar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Spring Romance (END)
General FictionLingga Paramitha dikenal sebagai biang gosip paling top di bagian divisi pemasaran. Semua gosip dari golongan A sampai golongan Z, ia tahu sepenuhnya. Meskipun begitu, ia sangat menyukai kehidupannya. Kalau bisa dibilang, ia memang suka mendengar ki...